66 akademisi dan industri, sebenarnya telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Hal tersebut
dapat dilihat dari dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia MP3EI 2011-2025. Dalam dokumen tersebut terdapat program penguatan iptek
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Tidak hanya itu saja, pemerintah pun bertanggung jawab untuk memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan
lembaga litbang dalam rangka kerja sama internasional di bidang iptek. Kerja sama yang dilaksanakan haruslah saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional,
serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002.
Salah satu syarat susksesnya kerja sama akademisi dan industri dalam mencapai inovasi adalah kapasitas dari masing-masing aktor, termasuk kapasitas akademisi dalam
menghasilkan iptek yang dibutuhkan oleh industri dalam rangka memenuhi tuntutan pasar. Banyak strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas iptek, salah satunya
adalah kolaborasi ilmiah internasional Schubert Sooryamoorthy, 2010. Hal tersebut diperkuat oleh beberapa kajian yang menunjukkan bahwa kolaborasi ilmiah internasional dapat
meningkatkan output baik yang bersifat ilmiah seperti publikasi internasional maupun produk inovasi Sooryamoorthy, 2009; Veugelers, 2010; Katerndahl, 2012; Kim and Park, 2008; Van
Riejnsoever Hessels, 2011.
Kajian mengenai keterkaitan akademisi dengan industri telah banyak dilakukan. Eun, et all 2006 dan Fiaz 2013 mengkaji bagaimana perguruan tinggi dan lembaga penelitian di
China dalam mengkomersialisasikan hasil risetnya dan berkolaborasi dengan industri, Youtie and Shapira 2008 menerangkan evolusi peran perguruan tinggi dari yang hanya melakukan
riset dan pendidikan secara konvensional menjadi pendukung inovasi. Selain itu, Siegel, et al., 2004, Gilsing, et al., 2011, dan Fiaz 2013 menjelaskan mengenai transfer teknologi dari
akademisi ke industri. Kajian-kajian tersebut lebih menitikberatkan bagaimana suatu institusi akademik dapat berperan dalam inovasi di industri, tetapi bagaimana institusi akademik dapat
meningkatkan kapasitas iptek melalui kolaborasi ilmiah internasinal dan dapat berkontribusi sebagai pengungkit inovasi di industri, khususnya industri berbasis ilmu pengetahuan science-
based industry. Inovasi berbasis ilmu pengetahuan dicirikan dengan penggunaan komersial dari knowledge yang umumnya merupakan sesuatu yang terkini yang dihasilkan dari kegiatan
penelitian dan pengembangan Coriat, et al., 2003.
Makalah ini akan membahas bagaimana kolaborasi ilmiah dapat menjadi pengungkit inovasi di industri berbasis ilmu pengetahuan. Kajian mengambil studi kasus pada
pengembangan stem cell yang melibatkan satu perguruan tinggi yaitu Universitas Airlangga, satu lembaga penelitian dan pengembangan yaitu Badan Atom Nasional Batan, satu industri
manufaktur yaitu PT Kimia Farma Persero Tbk. dan satu rumah sakit yaitu RS Dr. Soetomo. 2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kolaborasi Ilmiah
Kolaborasi ilmiah merupakan hal yang menyangkut perilaku manusia, antara dua atau lebih ilmuwan, dimana terjadi pertukaran pengetahuan dalam penyelesaian tugas yang dibagi
secara bersama untuk mencapai sasaran Sonnewald, 2007. Sementara itu, Katz and Martin 1997 memberikan batasan kolaborasi riset dengan lebih luas lagi, yaitu tidak hanya
menyangkut pencapaian sasaran tetapi juga kontribusi input.
Batasan mengenai kolaborasi riset mengacu pada Katz and Martin 1997, yaitu seseorang atau institusi yang mecakup 1 bekerja sama dalam proyek penelitian baik dalam
keseluruhan waktu ataupun hanya sebagian dari waktu yang ada,ataupun orang-orang yang memberikan kontribusi secara keseluruhan ataupun hanya sebagian; 2 namanya terdapat
dalam proposal penelitian; 3 bertanggung jawab terhadap satu ataupun lebih dari elemen penelitian misalnya terhadap elemen dari desain penelitian, analisis dan interpretasi data, atau
yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir penelitian; 4 bertanggung jawab terhadap setiap kunci tingkatan misalnya: ide asli penelitian, hipotesis; dan 5 Pengusul proyek danatau
penggalangdana.
67
2.2. Evolusi Peran Perguruan Tinggi
Youtie and Shapira 2008 membagi evolusi peran perguruan tinggi menjadi tiga tahapan Gambar 1. Pada mode pertama atau disebut mode tradisional, perguruan tinggi
berperan sebagai akumulator pengetahuan. Pada tahap ini universitas memiliki jarak yang sangat jauh dengan masyarakat bahkan dianggap kaum sangat elit. Tahapan berikutnya
adalah perguruan tinggi sebagai ‘knowledge factory”. Tahapan ini terjadi setelah Perang Dunia II yang ditandai dengan pertumbuhan industri dengan produksi massal mass production. Pada
tahapan ini perguruan tinggi banyak melakukan penelitian untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pelatihan teknis pada mahasiswa untuk memenuhi
kebutuhan industri. Tahap tiga dari evolusi peran perguruan tinggi adalah “knowledge hub”. Tahapan tersebut terjadi saat ini dimana kondisi ekonomi lebih digerakan oleh ilmu
pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Pada tahapan ini perguruan tinggi dituntut untuk terlibat langsung dalam sistem inovasi dan aktif berinteraksi untuk dapat mengaitkan penelitian dengan
aplikasi dan komersialisasi.
Tahap 1
Storehouse of knowledge
Economic context Craft Production
University is clerical or elitist “above
society”
Tahap 2
Knowledge factory Economic context
Industrial mass production
University is “supplier” of inputs
and outputs, a technology
developer
Tahap 3
“Knowledge hub” Economic context
Post-industrial age, knowledge-driven
University: integrated institution in an
intelligent region. Promotes indigenous
development, new capabilities
Gambar 1 Evolusi Peran Perguruan Tinggi Youtie and Shapira, 2008
Dalam perkembangannya, integrasi antara perguruan tinggi dengan dunia industri kemudian melahirkan konsep ‘triple helix” Eun, et al., 2006, yaitu interaksi antara akademisi,
industri, dan pemerintah yang merupakan faktor kunci dalam inovasi dan pembangunan pada era ekonomi berbasis pengetahuan Etzkowitz, 2008. Akan tetapi tidak semua ilmuwan setuju
dengan konsep kedekatan akademisi dengan industri, beberapa ilmuwan menentang hal tesebut dan menyatakan bahwa kebijakan jangka pendek untuk merubah sumber daya menjadi
aplikasi komersial dari ilmu pengetahuan akan merusak kapasitas negara dalam mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan Eun, et al., 2006.
2.3.
Peran Akademisi dalam Transfer Iptek Terdapat beberapa cara bagi akademisi berperan dalam transfer iptek pada industri
untuk menciptakan inovasi. Dalam kerangka yang dibangun oleh Eun, et al. 2006 terdapat dua dimensi, pertama secara vertikal menggambarkan apakah akademisi memiliki peran dalam
entrepreneurial atau tidak. Dimensi kedua secara horizontal, menggambarkan cara yang dipilih akademisi apakah lebih hierarki atau diserahkan ke pasar Gambar 2.
Secara vertikal peran akademisi mulai dari hanya sebagai tempat proses belajar, kemudian ke atas ditambah dengan peran penelitian, dan yang paling atas sudah dapat
berperan dalam entrepreneurial dari hasil penelitian yang dilakukan. Secara horizontal, ketika akan melakukan transfer iptek, apabila baru berupa ilmu dasar maka hanya dapat dilakukan
melalui conference. Ketika sudah ada yang berpotensi untuk diaplikasikan, akademisi dapat memilih apakah diserahkan pada pasar dengan mekanisme paten, lisensi atau penjualan
teknologi. Cara lain adalah dengan membangun sendiri lingkungan industri dengan mekanisme science park, incubator, spin-off aray university run entreprise Eun, et al., 2006.
68
Less Entrepreneurial More Entrepreneurial
Efficiency concideration H
is to
ri c
a ll
y fo
rm e
d s
o c
ia l
c o
n ttr
a c
t
Ma rke
t- like
H ie
ra rch
ica l
Teaching Univ. Research Univ.
Entrepreneural Univ.
Education More pedagogical
More applied Joint
research Center
Joint research
Joint Conference
Tech Sales
Patent license
Sp in-
off Incubator
Univ, Run Enterprise
Sci en
ce pa
rk
Sumber: Eun, et al. 2006 Gambar 2 Kerangka Peran Akademisi Dalam Transfer Iptek
2.4. Industri Berbasis Ilmu Pengetahuan