Manfaat Tekno-Meter Peran Lembaga Intermediasi dalam Perkuatan Hubungan Pemasok-Pengguna

81 1. Mendapatkan indikator antara 1-9 yang menunjukkan tingkat kematangan kesiapan teknologi untuk diterapkan, yang dapat menjadi informasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pemanfaatan dan program pengembangan teknologi. 2. Mengetahui riwayat historikal pencapaian suatu program pengembangan teknologi, bila pengukuran dilakukan secara berulang pada periode waktu tertentu. 3. Mengembangkan alat tool untuk mengukur TKT dan membangun kesepahaman persyaratan negosiasikonsensus TKT untuk teknologi tertentu antar pihak yang berkepentingan. Dengan diterapkannya atau dimanfaatkannya Tekno-Meter sebagai alat Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi hasil litbangyasa di Lembaga Litbangyasa maka akan diketahui tingkat kesiapan teknologi yang dihasilkan Lembaga Litbangyasa sehingga dapat diantisipasi rencana pengembangan terhadap teknologi hasil litbangyasa yang dibutuhkan oleh pengguna teknologi. Di samping itu pemanfaatan Tekno-Meter juga dapat meningkatkan interaksi yang lebih kuat dan kondusif diantara aktorpelakukomponen yang terkait.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Manfaat Tekno-Meter

Manfaat utama Tekno-Meter adalah sebagai alat atau sarana yang menggambarkan tingkat kesiapan teknologi secara terukur kuantitatif. Dengan peran ini dapat dijadikan acuan bersama antara Lembaga Litbangyasa sebagai pemasok teknologi dan industri sebagai pengguna. Sehingga terdapat bahasa yang sama dan terukur yang dapat dijadikan landasan berpijak bagi keduanya dalam menyatakan tingkat kesiapan suatu teknologi. Kesamaan pandangan terhadap ukuran kesiapan teknologi akan mempermudah dan memperlancar komunikasi dalam rangka proses difusi teknologi. Sehingga aliran teknologi hasil inovasi dari lembaga litbangyasa ke pengguna atau industri akan semakin lancar. Kondisi ini pada akhirnya akan menumbuhkan driving force bagi lembaga litbangyasa untuk mamacu melakukan riset. Aliran teknologi atau inovasi hasil riset lembaga litbangyasa ke industri sangat dimungkinkan tidak hanya pada hasil riset yang berada pada level atau TKT 8 atau TKT 9 saja. Dengan adanya Tekno-Meter, hasil riset yang masih di bawah TKT 5, bila terkomunikasikan dengan baik ke industri, bisa saja akan diadopsi oleh industri. Hal ini dapat terjadi karena industri telah paham resiko investasi yang harus ditanggung jika akan mengadopsi suatu hasil riset pada tingkatan TKT tertentu. Jadi kata kuncinya adalah bahasa dan definisi yang sama antara pemasok dan pengguna teknologi terhadap suatu tingkatan TKT mulai TKT 1 sampai dengan TKT 9 Oleh karena itu, manfaat lain dari Tekno-Meter adalah salah satu yang dapat mendukung upaya untuk mengurai stagnasi inovasi di Lembaga Litbangyasa. Selain itu, Tekno- Meter yang merupakan bahasa yang sama bagi Lembaga Litbangyasa dan industri akan berperan memperkuat hubungan antara pemasok dan pengguna teknologi.

3.2 Peran Lembaga Intermediasi dalam Perkuatan Hubungan Pemasok-Pengguna

Beberapa kali pengujian Tekno-Meter dilakukan dengan cukup ketat baik di tingkat litbang maupun industri, namun masih memiliki kelemahan dalam dokumentasi. Dalam penilaian TKT terhadap Teknologi yang dihasilkan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Lemlitbang menggunakan Tekno-Meter baik di Lemlitbang ataupun di Industri maka banyak Lemblitbang atau Industri yang tidak cukup memberikan datadokumen dari teknologi yang akan diukur TKT nya. Biasanya riwayat teknologi hasil litbang tidak terdokumentasi dengan baik. Dalam hal ini Lembaga Intermediasi dapat membantu Lemlitbang atau industri dalam rangka kesiapan data atau dokumen riwayat teknologi yang dihasilkan Lemlitbang atau industri, seperti memberikan gambaran pentingnya dokumentasi dan pendokumentasian dari suatu teknologi hasil litbang. 82 Untuk dapat memaksimalkan manfaat dari Tekno-Meter diperlukan optimalisasi peran dari lembaga intermediasi. Lembaga intermediasi yang berperan sebagai penghubung antara lembaga litbang dan industri pengguna selama ini lebih banyak meng-intermediasi-kan hasil riset lembaga litbangyasa yang telah memiliki tingkat kesiapan di atas TKT 8 Gambar 1. Sementara untuk TKT 5 ke bawah sebenarnya bisa jadi memiliki potensi untuk dikembangkan sampai tahapan produksi. Namun karena keterbatasan sumber daya atau perubahan kebijakan seringkali tidak dilanjutkan tahapan penelitiannya. Hal ini yang dapat menimbulkan adanya “kelesuan” dalam riset dan berinovasi. Oleh karena itu, peran lembaga intermediasi harus dioptimalkan dengan memperhatikan dan mengkoneksikan hasil riset tidak hanya TKT tinggi saja tetapi juga untuk TKT rendah Gambar 2. Karena mungkin saja TKT yang rendah dapat menarik industri untuk mengadopsi, tentunya dengan pemahaman resiko investasi yang telah diperhitungkan yang mengacu pada ukuran TKT yang telah dicapai. Gambar 1 Keterbatasan Peran Lembaga Intermediasi Gambar 2 Optimalisasi Peran Lembaga Intermediasi 4. KESIMPULAN Tekno-Meter sebagai Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi dapat mendukung Penguatan Sistem Inovasi Daerah dan dapat dimanfaatkan untuk mengukur TKT hasil litbangyasa di Perguruan Tinggi ataupun Lembaga Litbangyasa dan kalangan Industri. Dengan mengetahui TKT dari hasil litbangyasa maka akan dapat diketahui proses pengembangan teknologi lebih lanjut guna mencapai pemanfaatan teknologi yang optimum. Lembaga Intermediasi dibutuhkan untuk menjembatani antara pemasok dan pengguna teknologi, untuk itu penguasaan tentang TKT dan cara pengukurannya dapat bermanfaat dalam penyampaian informasi hasil litbangyasa dan pengembangan teknologi lebih lanjut. Selain itu, Lembaga Intermediasi juga dibutuhkan bagi Lemlitbangyasa dalam pendampingan dan penyampaian informasi tentang hasil-hasil teknologi tidak hanya di hilir ketika hasil penelitian memiliki TKT yang tinggi tapi juga di hulunya ketika hasil-hasil litbang masih memiliki nilai TKT rendah. 83 DAFTAR PUSTAKA Suhendri, D., dkk., 2011. Tingkat Kesiapan Teknologi TRL, technology readiness level Hasil Riset Lembaga Litbang LPNK Ristek, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. --------. 2010. Pengukuran TRL Hasil Riset BPPT, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Prayitno, K. B., dkk., 2012. Sosialisasi TRL Technology Readiness Level Hasil Riset untuk Mendukung Kemampuan Inovatif Lembaga Litbang Daerah Dalam Penguatan Sistem Inovasi Daerah, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Prayitno, K., B., dkk, 2011. Tekno-Meter: Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi, BPPT, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Prayitno, K. B., 2008. Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. --------. 2007. Direktori Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT --------. 2006. Buku Model Difusi Hasil RUK, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi – BPPT. Mankins, John C., 1995. Technology Readiness Levels: A White Paper. Advanced Concepts Office. Office of Space Access and Technology. NASA. April 6, 1995. NASA, 2001. NASA Technology Commercialization Process: NASA Procedures and Guidelines. NPG 7500_1. NASA - Commercial Technology Division. Dari http:nodis3.gsfc.nasa.govlibrary Nolte, William, 2005. Technology Readiness Level Calculator. Presented at Assessing Technology Readiness Development Seminar. April 28, 2005. Smith, Jim., 2004. An Alternative to Technology Readiness Levels for Non-Developmental Item NDI Software. Integration of Software-Intensive Systems Initiative. CMUSEI-2004- TR-013. ESC-TR-2004-013. April 2004. Smith II, James D., 2004. ImpACT: An Alternative to Technology Readiness Levels for Commercial-Off-The-Shelf COTS Software. Carnegie Mellon Software Engineering Institute. Taufik, Tatang A., 2004. Penyediaan Teknologi, Komersialisasi Hasil Litbangyasa, dan Aliansi Strategis. P2KDT – BPPT dan KRT. 2004. Taufik, Tatang A., 2003.TRL: Konsep dan Isu Kebijakan, Workshop Pemetarencanaan Teknologi dan Pengukuran Teknologi, P2KT-PUDPKM, PKT-BPPT. 84 BUDAYA INOVASI SEBAGAI ELEMEN UTAMA PEMBENTUK SISTEM INOVASI DAERAH: KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DAN KALIMANTAN SELATAN Anugerah Yuka Asmara 1 Pusat Penelitian Perkembangan Iptek PAPPIPTEK-LIPI Email: yukaasmara1987gmail.com ABSTRAK Budaya inovasi menjadi faktor penting dalam menumbuhkan inovasi di daerah. Di Indonesia, budaya inovasi belum menjadi perhatian utama bagi pihak pemerintah, perguruan tinggi, maupun pelaku ekonomi. Implementasi program inovasi di daerah terkesan dilakukan secara top down oleh pemerintah. Tujuan studi ini ialah mengembangkan konsep untuk menumbuhkembangkan budaya inovasi pada masyarakat di daerah. Pendekatan dalam studi ini ialah deskriptif-kualitatif dengan mengambil tempat penelitian yang di lakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Hasil temuan studi ini ialah, budaya inovasi belum menjadi elemen utama bagi pelaksanaan SIDa di dua area tersebut Akibatnya, program SIDa di lapangan belum memberikan kontribusi positif signifikan di daerah tersebut. Dengan demikian, upaya pemerintah daerah, lembaga litbang, pelaku ekonomi, dan lembaga pendidikan mutlak diperlukan dalam menumbuhkan budaya inovasi pada masyarakat di daerah. Kata Kunci: budaya inovasi, sistem inovasi daerah, pemerintah, masyarakat 1. PENDAHULUAN Budaya masyarakat untuk berinovatif merupakan faktor yang belum diberi perhatian penuh oleh negara-negara sedang berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis inovasi. Teori-teori inovasi dan kebijakan inovasi yang ada saat ini cenderung menekankan pada pentingnya dukungan kegiatan riset dan pengembangan, pembenahan kebijakan fiskalanggaran, infrastruktur fisik penunjang, faktor kedekatan geografis, keberadaan industri utama dan industri kecil menengah anchor industries and small-medium industries serta regulasi yang mengaturnya Manual, 2005; World Bank, 2010; OECD, 2011; OECD, 2013. Cara-cara pendekatan seperti itu juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengarahkan program-program pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi. Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI, strategi 1-747 yang digunakan sebagai inisiatif inovasi belum menunjukkan penguatan budaya inovasi masyarakat sebagai faktor utama dalam mewujudkan inovasi di Indonesia 2 . Studi budaya inovasi pada masyarakat yang dilakukan di Indonesia masih belum banyak ditemui. Beberapa peneliti dari negara lain justru telah memberi perhatian terhadap pentingnya budaya inovasi pada masyarakat bagi pembentukan iklim inovasi dan ekonomi. 1 Studi Svarc 2006 di negara-negara Eropa Tengah dan Timur Central and Eastern European CountriesCEECs, menyatakan bahwa re-desain kebijakan pengembangan di CEECs mensyaratkan konsensus kebijakan strategi komprehensif yang memungkinkan reformasi struktural di bidang bisnis, keuangan, kegiatan riset, dan pengembangan dan juga iklim budaya dan sosial, serta perubahan mindset negara. Perubahan sosial dan penciptaan masyarakat yang berpengetahuan merupakan tantangan nyata dalam menumbuhkan perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut 1 Peneliti kebijakan iptek dan inovasi di Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI. Email: a.yuka.asmaragmail.com 2 Dalam inisiatif inovasi 1-747, angka 7 pertama tentang 7 langkah perbaikan ekosistem inovasi yaitu: 1 sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk dalam negeri, 2 peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumber daya manusia, 3 pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM, 4 pembangunan klaster inovasi daerah, 5 sistem remunerasi peneliti, 6 revitalisasi infrastruktur RD, 7 sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi. Pada langkah nomor 1 tersebut terdapat kata- kata “budaya”, akan tetapi itu merupakan “budaya penggunaan produk dalam negeri”, bukan budaya masyarakat untuk inovasi. Hal ini akan berbeda makna, jika masyarakat kita harus mencintai produk dalam negeri, sementara produk itu diciptakan oleh perusahaan asing yang ada di Indonesia tanpa ada aliran pengetahuan dan teknologi baru bagi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, kunci inovasi tetap berada di negara perusahaan pemilik modal, sedangkan Indonesia hanya sebagai tempat produksi sekaligus pasar dari produk-produk mereka. 85 2 Vecchi and Brennan 2009 melakukan studi yang menemukan hubungan positif antara budaya inovasi dengan peningkatan inovasi di perusahaan manufaktur internasional 3 Skerlavaj et al., 2010 melakukan studi yang menyimpulkan bahwa adanya budaya inovasi pada masyarakat di Korea Selatan, khususnya mereka yang bekerja di dalam suatu perusahaanorganisasi, berdampak langsung pada terjadinya inovasi teknik dan administratif di perusahaan-perusahaan tersebut. 4 Tursyn et al. 2013 menguatkan bahwa budaya dan inovasi oleh Presiden Republik Kazakhstan dipandang sebagai modal sosial baru di negeri ini. Modal sosial tidak hanya karakter politik, melainkan juga budaya intelektual yang penting bagi bangsa. Saat ini, Kazakhstan ingin merangkul 30 top universitas dunia untuk pengembangan modal sosial di negaranya yang diarahkan sebagai modal pembangunan perekonomian bangsa. Di Indonesia, pemerintah memiliki landasan legal dalam menumbuhkembangkan budaya inovasi di masyarakat yang tercermin dalam UU RI No.18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek Pasal 14 yang menyebutkan “Pemerintah, pemerintah daerah, danatau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi danpertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan “budaya ilmupengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat”. Penanaman budaya inovasi pada masyarakat lokal menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan sistem inovasi daerah SIDa di Indonesia. Penerapan SIDa yang dilakukan di beberapa daerah ternyata belum memperhatikan budaya inovasi pada masyarakatnya. Kebijakan SIDa yang dibentuk oleh pemerintah 3 justru seringkali merupakan program-program unggulan daerah yang sudah dilakukan sebelumnya. Dua Provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat NTB dan Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan menjadi contoh bagi daerah lainnya yang saat ini memerlukan penanaman budaya inovasi pada masyarakat guna mendukung penerapan SIDa. Penulisan makalah ini berangkat dari adanya kendala dalam mewujudkan sistem inovasi daerah di Indonesia. Fokus tulisan ini adalah pentingnya budaya inovasi masyarakat sebagai elemen utama dalam penerapan SIDa di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan. Dan makalah ini akan menguraikan strategi untuk menumbuhkan budaya inovasi masyarakat di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan. 2. LANDASAN KONSEPTUAL

2.1 Budaya Inovasi