PENUTUP iP9V6BH6HscN27yO PROSIDING FORUM TAHUNAN 2013 ver 2A(1)

40 sedangkan saat ini belum ada kebijakan yang mengatur secara khusus mengenai standar upahgaji peneliti ketika bekerja sama dengan mitra asing. Untuk itu diperlukan suatu peraturankebijakan khusus yang mengatur mengenai standar upahgaji peneliti Indonesia ketika melakukan kolaborasi riset ini agar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Beberapa temuan di lapangan menunjukkan bahwa aspek focusing dan coordinating masih menjadi isu tersendiri dalam strategi pendanaan riset bidang kesehatan di Indonesia. Di negara lain, seperti Malaysia dan Cina misalnya, mereka fokus akan riset yang dijadikan unggulan pada bidang kesehatan hingga akhirnya mereka berhasil menghasilkan sesuatu. Perbedaan dengan riset bidang kesehatan yang terjadi di Indonesia adalah tidak fokusnya pendanaan riset terhadap bidang yang saat itu dijadikan unggulan. Fokus menjadi kata kunci yang dapat menjadikan riset di bidang kesehatan terorganisir dengan baik. Selama ini para penggiat inovasi di sektor kesehatan merasa belum menemukan koordinator yang sesuai dalam hal pendanaan. Belum adanya koordinator antara lembaga pendanaan riset terkait, sehingga beberapa kegiatan riset tidak mendapat sokongan pendanaan yang mencukupi dan juga tidak mendapat dukungan dalam pendanaan riset yang berjangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan koordinator yang dapat mengakomodir para pelaku inovasi di sektor kesehatan yang melibatkan unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi. Keterlibatan unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi akan sangat membantu tahapan demi tahapan pada sektor kesehatan untuk mencapai inovasi, dimana setiap unsur mempunyai peranan masing-masing. Hal ini terkait dengan pertanyaan pada tahap mana pemerintah seharusnya lebih banyak menginvestasikan. Usulan sementara yang diberikan oleh penulis terhadap peran pemerintah adalah sudah selayaknya pemerintah memberikan pendanaan di tahap awal penelitian tahap pre-dicovery yang dapat membiayai penelitian untuk jangka panjang. Karena pada tahap pre-dicovery institusilembaga yang melakukan penelitian sangat membutuhkan dana untuk jalannya riset. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Mengapa? Karena ketika riset dilakukan dengan bantuan dana dari pihak lain, maka resiko kepemilikan data diambil oleh pihak lain pun sangat besar. Kenyataan yang ada saat ini, sistem anggaran untuk riset di Indonesia lebih menekankan kepada sistem anggaran jangka pendek. Dimana setiap tahun nama kegiatan penelitian haruslah berbeda. Dengan kata lain sistem pendanaan untuk sebuah riset di bidang kesehatan cenderung terpecah-pecah dan tidak kontinyu, sehingga hasil riset tidak bisa menghasilkan produk inovasi. Usulan sementara yang diberikan adalah harus ada roadmap yang jelas dari pemerintah dalam menyesuaikan diri dengan riset-riset di bidang kesehatan yang berjangka panjang dan berkelanjutan. Jika saja pemerintah lebih memperhatikan anggaran untuk riset, maka hal tersebut akan menambah kemudahan bagi para peneliti di Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya dan meningkatkan jumlah publikasi, baik nasional maupun internasional.

5. PENUTUP

Indonesia menghabiskan dana yang sangat kecil untuk Anggaran Iptek dan Belanja Litbang hanya 0.08 terhadap PDB. Angka ini sangatlah kecil dibandingkan dengan anggaran belanja litbang di negara berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya terdapat 19 Kementerian dan LPNK yang memiliki minat terhadap litbang, yang terbesar adalah Kemenristek, dengan hanya mengelola 29 dari total pengeluaran litbang pemerintah. Jadi sangat disayangkan jika minat yang begitu besar terhadap riset harus terhalang oleh masalah sistem pendanaan yang kurang fleksibel dan tidak mendukung lingkungan penelitian. Skema pendanaan yang kurang fleksibel bukan hanya satu-satunya hal yang menjadi masalah dalam riset kesehatan, minimnya anggaran untuk riset kesehatan pun menjadi permasalahan tersendiri guna mendukung keberhasilan riset menuju inovasi. Dalam prosesnya, ketika terjadi kolaborasi riset dengan mitra dari negara lain, Indonesia seringkali mendapatkan hibah peralatan dimana proses kepemilikannya pun cenderung dipersulit. Padahal berdasarkan PP No. 93 2010 jo. PMK No.762011 menyatakan bahwa hibah dan 41 belanja untuk riset dan fasilitas pendidikan diperbolehkan sebagai pengurang, sepanjang dana tersebut disalurkan langsung pada institusi resmi yang relevan dan sesuai dengan ketentuan berlaku. Jadi sebetulnya tidak perlu lagi birokrasi yang berbelit-belit yang dapat mempersulit terjadinya kolaborasi riset di Indonesia. Indonesia begitu kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas, jadi sudah selayaknya jika pemerintah mendukung pendanaan riset di bidang kesehatan untuk mencapai inovasi. Pemerintah perlu untuk mengkaji ulang kembali skema pendanaan yang ada saat ini agar permasalahan yang ada terkait dengan dengan pendanaan di bidang kesehatan dapat diminimalisir. Pemotongan jalur birokrasi dalam proses pengajuan proposal riset di bidang kesehatan serta terintegrasinya sistem pendanaan riset antar institusiunsur pemerintah, perguruan tinggi, dan industri akan mendukung riset di bidang kesehatan untuk mencapai inovasi. Selain itu pemerintah Indonesia pun harus dapat menentukan fokus penelitian apa yang ingin di capai dalam riset kesehatan sehingga mempermudah jalannya riset dan tujuan besar yang ingin dicapai nantinya. Kaji ulang sistem pendanaan di bidang kesehatan ini tentu saja terkait dengan perencanaan awal penelitian atau ketika proses pembuatan kebijakan. Para pembuat kebijakan harus ikut serta aktif ke dalam desain pembuatan instrumenyang bertujuan meningkatkan pengaturan kerja sama ilmiah melalui evaluasi dampak yang ada dalam tahap perencanaan evaluasi ex-ante. Sebagian dari keterbatasan penelitian di lapangan adalah karena kurangnya desain evaluasi ex-ante. Hal ini dikarenakan sifat dari proses pembuatan kebijakan memerlukan terus-menerus belajar dari pengalaman yang dapat dilihat dari proses evaluasi kebijakan, sama seperti riset di bidang kesehatan yang bersifat kontinyu dan terus menerus hingga ke inovasi. Beberapa paparan di atas membawa penulis terhadap beberapa kesimpulan terkait sistem pendanaan riset pemerintah yang dapat dipertimbangkan untuk mengurai stagnasi inovasi di bidang kesehatan, yakni: a Dibutuhkan roadmap yang bersifat long-term dan kontinyu dalam perencanaan anggaran riset disesuaikan dengan sektor yang ada di Indonesia, khususnya sektor kesehatan, sehingga penelitian yang dilakukan akan menghasilkan produk hingga ke inovasi. b Ada pengaturan yang jelas secara nasional untuk mengatur standar penggajianupah peneliti Indonesia yang melakukan kolaborasi riset dengan mitra asing. c Sistem pendanaan riset sebaiknya dibuat berbasis program, bukan program berbasis anggaran. d Melibatkan peran BUMN, BUMD, Pemda dan Swasta dalam melakukan riset dengan memperhatikan pembagian tugas dan wewenang dengan jelas. e Adanya koordinator yang dapat memotori dan mengakomodir hubungan antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri yang bergerak dalam riset bidang kesehatan. Dalam hal ini Kemenristek dan Kemenkes lah yang harus mampu menjadi motor penggerak riset di bidang kesehatan ini. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kami ucapkan kepada Pappiptek LIPI yang telah memberikan dukungan secara finansial terhadap penelitian ini. Terima kasih turut pula kami haturkan kepada semua pihak, baik dari pihak pemerintah BATAN, perguruan tinggi UGM, UNAIR, dan UNHAS, maupun industri PT Biofarma yang telah membantu memberikan dukungan dan waktu untuk berdiskusi terkait dengan penelitian ini. 42 DAFTAR PUSTAKA Altenburg, Schmitz, Stamm, 2008. Breakthrough? China’s and India’s Transition from Production to Innovation. 362: 325 –344 Ernst, dan Young, 2000. Convergence:The Biotechnology Industry Report 2000. Diakses dari www.ey.comindustryhealth . Pada tanggal 29 September 2013. Drug Discovery and Development., 2007. Drug Discovery and Development: Understanding the RD Process. Diakses dari http:innovation.org . Pada tanggal 29 September 2013. Grace, N., Wijayanti, R., Mardiana, E., Handayani, T., Rahmaida, R., dan Nadhiroh, IM., 2011. Indikator Iptek Indonesia 2011. Jakarta: Pappiptek LIPI. Katz, J.S., dan Martin, B.R., 1997. What is research collaboration?.Research Policy vol. 26: 1- 18 Meiningsih, S., et. al., 2006. Indikator Iptek Nasional : Survei Litbang Sektor Perguruan Tinggi 2006. Jakarta: LIPI Press. Moleong, J.Lexy., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Roche., 2013. Research Development Overview. Diakses dari Roche: http:www.roche.comresearch_and_developmentr_d_overview.htm . Pada tanggal 29 September 2013. Sonnenwald D.H., 2007. Scientific Collaboration: Annual Review of Information Science and Technology.Volume. 4: Pp. 643-681. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Diakses darihttp:jdih.ristek.go.id. Pada tanggal 20 September 2012. Winarno, Budi, 2012. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS. 43 THE QUADRUPLE HELIX MODEL UNTUK SISTEM INOVASI LOKAL DALAM PENANGGULANAN KEMISKINAN: STUDI KASUS PROYEK INOVASI EKSPLORASI SUMBER AIR SUNGAI BAWAH TANAH MASYARAKAT DESA KARANGREJEK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Sri Rahayu Pusat Penelitian Perkembangan Iptek- LIPI rr.srirahayugmail.com Abstrak Saat ini masih banyak perdebatan apakah Triple Helix Model jaringan iptek antara Universities, Academic, Entreprises, the Government telah menjadi sebuah model ideal untuk sistem inovasi di negara miskin dan berkembang. Hal ini menjadi wajar sebab negara berkembang memiliki wacara khas, yakni bagaimana sistem inovasi dapat melahirkan teknologi, inovasi ataupun pengetahuan sebagai solusi pengentasan kemiskinan. Dalam tataran ini Triple Helix Model dianggap belum sempurna karena kurang memiliki satu elemen, yakni pelibatan aktif masyarakat atau community. Lebih jauh model ini juga mengisyaratkan masyarakat lebih sebagai objek dari hasil inovasi. Padahal, masyarakat juga memiliki potensi sebagai subjek atau penghasil atau pemberi idepengetahuanteknologi dalam sebuah sistem inovasi. Oleh karena itu, belakangan ini beberapa ekonom mulai memperkenalkan model sistem inovasi baru yang mengena untuk masyarakat kecil, yang disebut dengan Quadruple Helix Model. Berdasar uraian tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menguraikan sejauh mana aplikasi Quadruple Helix Model dapat dijadikan sebagai sebuah kerangka sistem inovasi lokal yang efektif untuk program pengentasan kemiskinan. Studi kasus yang diambil dalam tulisan ini adalah proyek pendirian perusahaan penyedia air bersih mandiri di desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, tulisan ini mendapatkan temuan bahwa Quadruple Helix Model bisa diaplikasikan secara efektif untuk menggambarkan kondisi sistem inovasi lokal yang menyokong terbentuknya inovasiteknologi baru untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan akses air bersih di desa Karangrejek dengan beberapa indikasi antara lain: 1. Inovasiteknologi didesain dan dilahirkan dari kebutuhan dan ide masyarakat; 2. Terbentuknya jaringan yang kuat dan terus-menerus antara masyarakat, pemerintah, penyedia teknologi dan sektor usahabisnis; dan 3. Adanya fungsi dan tugas yang jelas antara masing-masing aktor. Kata Kunci: Triple Helix, inovasi, Desa Karangrejek

1. PENDAHULUAN