39 Dari catatan diatas, terlihat bahwa pendanaan masih didominasi oleh pemerintah,
namun ketika penelitian di lapangan, bahwa masalah birokrasi untuk mendapatkan sokongan pendanaan sangatlah sulit. Sedangkan pendanaan yang ideal adalah adanya keseimbangan
antara proporsi pendanaan dari pihak pemerintah, perguruan tinggi, maupun industri. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri sehingga sistem pendanaan riset bidang kesehatan di
Indonesia belum mendekati ideal.
Hal lain yang belum mendukung skema pendanaan riset yang ideal di Indonesia adalah belum terintegrasinya sistem pendanaan riset dengan fokus penelitian. Hal ini dapat terlihat
dari skema yang terjadi di PT Biofarma. Ketika PT Biofarma ingin bekerja sama dengan pemerintah dalam penelitian mengenai vaksin, hal tersebut terbentur skema pendanaan dari
pemerintah yang kurang fleksibel, dimana pendanaan yang ada harus terpecah menjadi penelitian tahunan sedangkan penelitian mengenai vaksin membutuhkan waktu minimal 12
tahun. Jika sistem pendanaan yang ada bisa fokus terhadap beberapa penelitian yang dapat dijadikan unggulan, bukan hal yang mustahil jika Indonesia dapat menghasilkan satu produk
inovasi yang berguna bagi kepentingan masyarakat dunia.
4.2 Strategi Pendanaan Riset Kesehatan Di Indonesia: Suatu Usulan Sementara
Mengacu pada temuan yang telah dipaparkan sebelumnya, selanjutnya dikemukakan usulan strategi pendanaan riset yang dapat dibangun pemerintah untuk mendorong inovasi
teknologi bidang kesehatan di Indonesia. Pertanyaannya adalah pada tahap mana pemerintah seharusnya lebih banyak menginvestasikan untuk mendukung inovasi di riset bidang
kesehatan?
Berdasarkan paparan sebelumnya terdapat beberapa resiko yang akan timbul akibat minimnya anggaran riset dari pemerintah di bidang kesehatan, seperti misalnya perguruan
tinggi yang cenderung memilih untuk bekerja sama dengan mitra asing sehingga memperbesar resiko kepemilikan data atau hasil produk dimiliki oleh pihak mitra. Ditambah lagi dengan sistem
pendanaan yang terpecah-pecah dan cenderung dengan birokrasi yang berbelit-belit membuat beberapa perguruan tinggi ataupun dari kalangan pemerintah sendiri akhirnya mengambil jalan
untuk berkolaborasi dengan mitra asing dalam melakukan riset. Alasan yang mereka berikan adalah sistem pendanaan yang diberikan oleh mitra asing cenderung lebih fleksibel dan dapat
mengikuti ritme penelitian di bidang kesehatan yang bersifat jangka panjang dan kontinyu.
Hal inilah yang membuat industri seperti PT Biofarma sulit untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah, hingga akhirnya mereka lebih memilih untuk melakukan kerja sama
dengan pihak asing karena proses birokrasi yang lebih mudah. Pada akhirnya networking dengan mitra di luar negeri yang memberikan kemudahan dalam melaksanakan kegiatan riset
di industri untuk menuju inovasi.
Resiko lain yang akan timbul bila tidak ada kesinambungan dalam riset dan akan berimbas terhadap output yang dihasilkan nantinya. Sebagian besar riset dalam bidang
kesehatan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk sampai pada inovasi. Vaksin misalnya, dibutuhkan waktu sekitar 12
– 15 tahun untuk menghasilkan vaksin yang berkualitas. Jika pendanaan tidak memadai maka hal tersebut akan berimbas terhadap vaksin yang
dihasilkan menjadi belum siap untuk dipasarkan atau bahkan dipergunakan. Resiko lainnya jika riset dilakukan secara terpecah-pecah adalah riset di lakukan akan
dengan mudahnya diambil alih manfaatnya oleh pihak asingswasta. Ketika mengalami kesulitan dalam pendanaan atau bahkan tidak mempunyai pendanaan sendiri maka kita
cenderung kehilangan bargaining position ketika melakukan kerja sama dengan mitra asing. Akibatnya, data yang kita dapatkan pun akan dengan mudahnya dimiliki oleh mitra
asingswasta karena kita tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Hal ini pun tidak menutup kemungkinan ketika dalam publikasi nama kita tidak akan diikutsertakan dalam nama
penulis.
Resiko lain yang muncul akibat minimnya pendanaan untuk anggaran riset di bidang kebijakan adalah keinginan peneliti untuk lebih memilih bekerja sama dengan mitra asing,
40 sedangkan saat ini belum ada kebijakan yang mengatur secara khusus mengenai standar
upahgaji peneliti ketika bekerja sama dengan mitra asing. Untuk itu diperlukan suatu peraturankebijakan khusus yang mengatur mengenai standar upahgaji peneliti Indonesia
ketika melakukan kolaborasi riset ini agar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Beberapa temuan di lapangan menunjukkan bahwa aspek focusing dan coordinating masih menjadi isu tersendiri dalam strategi pendanaan riset bidang kesehatan di Indonesia. Di
negara lain, seperti Malaysia dan Cina misalnya, mereka fokus akan riset yang dijadikan unggulan pada bidang kesehatan hingga akhirnya mereka berhasil menghasilkan sesuatu.
Perbedaan dengan riset bidang kesehatan yang terjadi di Indonesia adalah tidak fokusnya pendanaan riset terhadap bidang yang saat itu dijadikan unggulan. Fokus menjadi kata kunci
yang dapat menjadikan riset di bidang kesehatan terorganisir dengan baik.
Selama ini para penggiat inovasi di sektor kesehatan merasa belum menemukan koordinator yang sesuai dalam hal pendanaan. Belum adanya koordinator antara lembaga
pendanaan riset terkait, sehingga beberapa kegiatan riset tidak mendapat sokongan pendanaan yang mencukupi dan juga tidak mendapat dukungan dalam pendanaan riset yang
berjangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan koordinator yang dapat mengakomodir para pelaku inovasi di sektor kesehatan yang melibatkan unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi.
Keterlibatan unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi akan sangat membantu tahapan demi tahapan pada sektor kesehatan untuk mencapai inovasi, dimana setiap unsur
mempunyai peranan masing-masing. Hal ini terkait dengan pertanyaan pada tahap mana pemerintah seharusnya lebih banyak menginvestasikan. Usulan sementara yang diberikan oleh
penulis terhadap peran pemerintah adalah sudah selayaknya pemerintah memberikan pendanaan di tahap awal penelitian tahap pre-dicovery yang dapat membiayai penelitian
untuk jangka panjang. Karena pada tahap pre-dicovery institusilembaga yang melakukan penelitian sangat membutuhkan dana untuk jalannya riset. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Mengapa? Karena ketika riset dilakukan dengan bantuan dana dari pihak lain, maka resiko kepemilikan
data diambil oleh pihak lain pun sangat besar.
Kenyataan yang ada saat ini, sistem anggaran untuk riset di Indonesia lebih menekankan kepada sistem anggaran jangka pendek. Dimana setiap tahun nama kegiatan
penelitian haruslah berbeda. Dengan kata lain sistem pendanaan untuk sebuah riset di bidang kesehatan cenderung terpecah-pecah dan tidak kontinyu, sehingga hasil riset tidak bisa
menghasilkan produk inovasi. Usulan sementara yang diberikan adalah harus ada roadmap yang jelas dari pemerintah dalam menyesuaikan diri dengan riset-riset di bidang kesehatan
yang berjangka panjang dan berkelanjutan.
Jika saja pemerintah lebih memperhatikan anggaran untuk riset, maka hal tersebut akan menambah kemudahan bagi para peneliti di Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi
dirinya dan meningkatkan jumlah publikasi, baik nasional maupun internasional.
5. PENUTUP
Indonesia menghabiskan dana yang sangat kecil untuk Anggaran Iptek dan Belanja Litbang hanya 0.08 terhadap PDB. Angka ini sangatlah kecil dibandingkan dengan
anggaran belanja litbang di negara berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya terdapat 19 Kementerian dan LPNK yang memiliki minat terhadap litbang, yang terbesar adalah
Kemenristek, dengan hanya mengelola 29 dari total pengeluaran litbang pemerintah. Jadi sangat disayangkan jika minat yang begitu besar terhadap riset harus terhalang oleh masalah
sistem pendanaan yang kurang fleksibel dan tidak mendukung lingkungan penelitian.
Skema pendanaan yang kurang fleksibel bukan hanya satu-satunya hal yang menjadi masalah dalam riset kesehatan, minimnya anggaran untuk riset kesehatan pun menjadi
permasalahan tersendiri guna mendukung keberhasilan riset menuju inovasi. Dalam prosesnya, ketika terjadi kolaborasi riset dengan mitra dari negara lain, Indonesia seringkali
mendapatkan hibah peralatan dimana proses kepemilikannya pun cenderung dipersulit. Padahal berdasarkan PP No. 93 2010 jo. PMK No.762011 menyatakan bahwa hibah dan