17 perlengkapannya serta industri perbaikan dan pemeliharaan pesawat mengalami penurunan
hingga 99 dari Rp 725 milyar menjadi Rp 5 milyar Kementerian Perindustrian, 2012. Nilai ekspor berfluktuasi dari 103,1 juta dolar AS di tahun 2008 menjadi 198,2 juta dolar AS di tahun
2012. Pada tahun 2012, proporsi ekspor industri pesawat terbang terhadap total ekspor industri manufaktur nonmigas adalah 0,13 Kementerian Perdagangan, 2012.
Terlepas dari pro-kontra pendirian IPTN pada masa Orde Baru, industri pesawat terbang sebagai salah satu industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi merupakan modal
untuk kemajuan ilmu pengetahuan maupun kemajuan perekonomian Indonesia. Mengingat besarnya investasi untuk membangun industri ini, hendaknya PT. DI tidak dibiarkan stagnan
dan mati suri. Makalah ini bertujuan untuk menguraikan perjalanan PT. DI sebagai satu-satunya perusahaan nasional produsen pesawat terbang di Indonesia, mulai dari awal perkembangan,
masa kejayaan, masa keterpurukan, hingga kini mulai bangkit kembali, serta menganalisis faktor-faktor penentu kesuksesan perusahaan berteknologi tinggi ini.
2. METODOLOGI
Penelitian ini akan menganalisis perkembangan PT DI secara historis. Perkembangan perusahaan akan dibagi menjadi lima periode. Dari periode perkembangan tersebut, akan
dianalisis faktor-faktor penentu kesuksesan perkembangan perusahaan. analisis akan dilakukan untuk melihat pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap perkembangan bisnis
perusahaan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan PT. DI di Indonesia akan dilihat berdasarkan lima periode seperti dijelaskan sebagai berikut:
3.1. Periode 1914-1965: Awal Kemunculan Industri Pesawat Indonesia
Cikal bakal industri pesawat Indonesia sudah dimulai dari masa pra-kemerdekaan ketika negara inimasih di bawah penjajahan Belanda. Pemerintahan Belanda tidak
memproduksi pesawat, tetapi mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat seperti lisensi pembuatan dan evaluasi teknis serta evaluasi
keamanan pesawat yang beroperasi di Indonesia.Pada tahun 1914, didirikan Bagian Uji Terbang di Surabaya yang berfungsi sebagai tempat uji pesawat di kawasan tropis. Kemudian
dimulai perakitan pesawat pada tahun 1930,dengan didirikannya Bagian Pembuatan Pesawat Udara yang memproduksi pesawat untuk angkatan laut Kanada. Pusat perakitan pesawat ini
kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir di Bandung yang kini menjadi Bandara Husen Sastranegara. Pada skala kecil, beberapa pemuda Indonesia dipimpin oleh Tossin membuat
pesawat di bengkel kecil mereka di Bandung. Namun pesawat ini berhasil mengejutkan dunia karena kemampuannya melintasi samudera ke negara Belanda dan Cina.
Selepas Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, ambisi Indonesia untuk membuat pesawat sendiri masih berlanjut. Pada masa ini, pesawat terutama dibutuhkan untuk
kepentingan pertahanan.Pada tahun 1946, dipionir oleh tiga orang anggota Tentara Republik Indonesia-Angkatan Udara TRI-AR yaitu Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan
Sumarsono, dibuatlah pesawat layang pertama yang terbuat dari 100 bahan lokal dengan nama NWG-1. Walaupun dibuat secara sederhana, pesawat ini menarik perhatian pimpinan
mereka hingga digunakan untuk keperluan latihan. Keahlian mereka berkembang hingga pada tahun 1948, Wiweko berhasil mendesain pesawat bermesin pertama di Indonesia, dengan
nama RI-X.
Sekembalinya Nurtanio dari Filipina untuk mempelajari teknik penerbangan pada tahun 1950, beli diberi amanah untuk memimpin Seksi Percobaan Depot Penyelidikan, Percobaan,
dan Pembuatan DPPP AURI di Bandung.Pada tahun 1957-1958, Nurtanio berhasil membuat prototipe pesawat bernama “Si Kumbang”, sebuah pesawat berbahan logam dengan satu kursi;
“Belalang 89” dan “Belalang 90”, sebuah pesawat latihan; dan “Kunang 25” sebuah pesawat sport.
18 Hasil karya Nurtanio menarik perhatian Presiden Soekarno. Soekarno menyadari
bahwa penguasaan teknologi tinggi merupakan kunci kemajuan perekonomian suatu negara, salah satunya melalui pengembangan industri pesawat. Keseriusan Presiden Soekarno dalam
mengembangkan industri pesawat ditunjukkan melalui pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan LAPIP pada tahun 1960, yang berfungsi mempersiapkan industri
pesawat untuk melayani aktivitas penerbangan dalam negeri. LAPIP ini juga merupakan perluasan dari DPPP di bawah supervisi Nurtanio. Pada tahun 1961, LAPIP mendapatkan
bantuan pinjaman sebesar 2,5 juta dolar AS dari Pemerintah Polandia untuk membangun fasilitas perakitan pesawat dan memperoleh lisensi dari Polish Cekop untuk memodifikasi
pesawat yang diberi nama Gelatik yang digunakan untuk keperluan pertanian, transportasi, dan aero club.
Untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia dalam industri pesawat, dibentuklah program studi Teknik Penerbangan di InstitutTeknologi Bandung pada tahun
1962.Program studi ini dirintis oleh Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie yang merupakan lulusan Program Beasiswa Luar Negeri. Kemudian melalui Dekrit Presiden tahun 1965, didirikan
Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Pada tahun 1966, dunia aviasi Indonesia berduka karena Nurtanio wafat
dalam kecelakaan pesawat yang sedang diuji coba.Untuk menghormati kontribusi Nurtanio terhadap pembangunan industri pesawat Indonesia, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat
Terbang Berdikari di merger menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio LIPNUR. Sepeninggal Nurtanio, industri pesawat sempat mengalami stagnasi, dimana LIPNUR hanya
mampu memproduksi Gelatik dalam jumlah kecil, terutama untuk digunakan oleh AU. Hingga akhirnya pada tahun 1974, muncullah Baharuddin Jusuf Habibie, lulusan Teknik Penerbangan
Technische Hochschule Aachen Jerman.
3.2. Periode 1966-1997: Akumulasi Pengetahuan dan Transfer Teknologi
Kembalinya B.J. Habibie ke Indonesia tidak lepas dari peran Soeharto yang kala itu menjabat sebagai presiden menggantikan Soekarno. Presiden Soeharto memiliki visi
menguasai industri padat modal sebagai industri strategis dan menunjuk Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1978. Sebagai bagian dari industri strategis, LIPNUR
dan Pertamina melakukan merger menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio IPTN pada tanggal 5 April 1976 atas keputusan Presiden Soeharto. Habibie menjadi presiden direktur
IPTN dan ditunjuk sebagai penanggung jawab pengembangan industri pesawat Indonesia. Dengan limpahan aset dari negara, IPTN bertempat di lokasi seluas 45.000 m
2
dengan pekerja sebanyak 860 orang.
IPTN melaksanakan f ilosofi transfer teknologi dari Habibie yang terkenal, yaitu “berawal
di akhir dan berakhir di awal”. Tujuan filosofi ini adalah agar SDM Indonesia dapat menguasai keseluruhan teknologi pembuatan pesawat, bukan hanya sebagian saja. Berdasarkan filosofi
ini, IPTN mempelajari teknologi pembuatan pesawat mulai dari produk akhir lalu ke komponen. Fase-fase yang dilalui oleh IPTN yaitu:
1. Fase pemanfaatan teknologi yang sudah ada melalui program lisensi Fase ini bertujuan untuk membangun kapabilitas penguasaan perakitan pesawat dan
mengidentifikasi jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan domestik. 2. Fase integrasi teknologi
Pada fase ini, kapabilitas manufaktur masih dikembangkan, ditambah pembelajaran desain.
3. Fase pengembangan teknologi Pada fase ini, ditingkatkan kapabilitas untuk membuat sendiri desain pesawat.
4. Fase penelitian dasar Fase ini bertujuan menguasai ilmu dasar untuk mendukung pengembangan produk baru.
19 Ambisi Habibie untuk mengembangkan industri pesawat menuai kontroversi dari para
ekonom yang berpendapat bahwa seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk industri pangan.Namun karena dukungan penuh dari Soeharto, misi Habibie agar Indonesia menguasai
teknologi pembuatan pesawat tetap berjalan.Perlindungan terhadap produk pesawat dalam negeri ditunjukkan melalui PP No. 19 tahun 1966 yang melarang impor pesawat udara dan
komponennya yang tidak sesuai syarat-syarat standardisasi yang ditetapkan oleh Dewan Penerbangan dan Angkasa luar Nasional Republik Indonesia DEPANRI dan melarang impor
pesawat udara serta komponennya yang sama atau sejenis dengan yang dihasilkan di dalam negeri. Kebijakan-kebijakan penunjang juga diberlakukan seperti dispensasi dari kebijakan
pemerintah yang mengharuskan perusahaan BUMN menggunakan bahan baku lokal, dan otoritas penuh untuk Habibie untuk mempengaruhi keputusan TNI dan perusahaan
penerbangan Garuda McKendrick, 1992. Contoh intervensi yang pernah dilakukan oleh Habibie terhadap Garuda adalah perintah untuk membeli mesin dari General Electric untuk
Boeing 747s dan mesin Rolls-Royce untuk Airbus A330s pada tahun 1990, ketika Garuda berencana untuk membeli mesin dari Pratt Whitney. Hal ini dilakukan karena kedua
perusahaan tersebut bekerja sama dengan IPTN.
Di bawah pimpinan Habibie, IPTN mendapatkan berbagai kontrak kerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri seperti yang tercantum pada Tabel 1.Pada tahun 1975, proyek
kerja sama luar negeri pertama dilakukan oleh IPTN dengan Messerschmitt-Boelkow-Blohm GmbH MBB, perusahaan pesawat Jerman tempat Habibie bekerja sebelum kembali ke
Indonesia, dan CASA, sebuah perusahaan pesawat Spanyoldengan mendapatkan lisensi untuk memproduksi helikopter dan pesawat. Lisensi selanjutnya didapatkan dari Aerospatiale
of France dan Bell Textron pada tahun 1977 dan 1982. Kerja sama dengan CASA kemudian berkembang menjadi joint venture yang kelak menghasilkan produk pesawat penumpang 35
kursi pertama di Indonesia, yaitu CN-235. Kerja sama-kerja sama ini dimanfaatkan oleh IPTN untuk mendidik pekerja-pekerjanya dalam mendesain, memproduksi komponen-komponen
pesawat, hingga merakitnya.Ketekunan dalam mempelajari cara memproduksi pesawat ini pada akhirnya menarik perusahaan pesawat besar di Amerika Serikat, yaitu Boeing
Corporation, untuk menandatangani perjanjian subkontrak dengan IPTN untuk menghasilkan komponen pesawat B-737 dan B-767. Selain dengan Boeing, IPTN juga menjadi perusahaan
subkontrak untuk Fokker, British Aerospace, dan Pratt Whitney. Kerja sama teknis juga dijalin oleh IPTN dengan General Electrics GE dan Grumman. Kerja sama dengan GE menghasilkan
Universal Maintenance Center UMC, yaitu pusat perawatan dan perbaikan pesawat serta helikopter.
Pada tahun 1985, Habibie mengubah nama “Nurtanio” pada IPTN menjadi “Nusantara”. Hal ini mengundang reaksi keras dari AU, namun karena dukungan Soeharto, IPTN tetap
berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara. Maksud Habibie mengganti nama “Nurtanio” untuk mengubah citra IPTN sebagai perusahaan nasional dan melepaskan IPTN
dari bayang-bayang masa lalu. Perubahan nama ini juga menjadi titik tolak industri pesawat terbang Indonesia yang terintegrasi, mulai dari infrastruktur, fasilitas, SDM, serta hukum dan
regulasi. Jumlah pekerja perusahaan ini pun berkembang menjadi 14.000 orang.
Akumulasi pengetahuan dan keahlian yang didapat selama bekerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri ini menimbulkan kepercayaan diri IPTN untuk mendesain dan
merakit sendiri pesawat terbang tanpa lisensi maupun bantuan teknis dari pihak luar. Di tengah- tengah keraguan banyak pihak karena IPTN masih dipandang sebagai perusahaan pesawat
amatir, Habibie tetap percaya bahwa telah tiba saatnya bagi Indonesia untuk memproduksi sendiri pesawat terbang komersial.
20
Tabel 1. Daftar Kontrak Kerja Sama IPTN
Perusahaan Tahun
Jenis Kerja sama Hasil
CASA Spanyol 1975
Lisensi Pesawat C-212
1979 Joint Venture
Pesawat CN-235 MBB Jerman
1975 Lisensi
Helikopter BO-105 1982
Lisensi Helikopter BK-117
Aerospatiale of France Perancis
1977 Lisensi
Helikopter PUMA SA-330 dan Super Puma AS-332
Bell Textron AS 1982
Lisensi Helikopter Bell-412
Boeing Corp. AS 1982
Subkontrak dan imbal produksi
Komponen pesawat B-737 B- 767
General Dynamics AS 1982
Subkontrak dan imbal produksi
Komponen pesawat F-16 General Electric AS
1980 Kerja sama teknis
Universal Maintenance Center Grumman AS
1986 Kerja sama teknis
British Aerospace Inggris
Subkontrak dan imbal produksi
Komponen sistem persenjataan Fokker AS
Subkontrak dan imbal produksi
Komponen ekor dan sayap F-100
Pratt Whitney Kanada
Subkontrak dan imbal produksi
Komponen mesin
Sumber: Diolah dari McKendrick 1992
Proyek ini dimulai pada tahun 1987 ketika sebuah tim kecil yang terdiri dari insinyur- insinyur IPTN dibentuk oleh Habibie untuk melakukan survei jenis pesawat yang banyak
dibutuhkan oleh pasar. Setelah dilakukan survei pasar, diputuskan bahwa IPTN akan memproduksi pesawat terbang penumpang dengan 50 kursi yang diberi nama N-250. Dua
tahun kemudian, Habibie mempublikasikan proyek ini ke khalayak internasional di acara Paris Air Show. Hal ini membuat nama Indonesia semakin dikenal di industri pesawat terbang
internasional. N-250 yang diproduksi IPTN ini tidak sekedar meniru pesawat-pesawat yang sudah ada, tetapi merupakan pesawat tercepat di kelasnya dan menggunakan inovasi teknologi
fly-by-wire. Pada tanggal 10 Agustus 1995, hasil kerja selama delapan tahun ini akhirnya diterbangkan untuk pertama kalinya selama 55 menit. Habibie menyatakan produk N-250 ini
sebagai simbol independensi teknologi Indonesia dan tanggal 10 Agustus dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi. Sayangnya superioritas N-250 ini hanya sampai tahap prototipe.
Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 menyebabkan proyek pesawat ini dihentikan.
3.3. Periode 1998-2007: Rapor Merah PT. DI
Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, subsidi pemerintah untuk IPTN dicabut sehingga sejak saat itu perusahaan ini harus berdiri di atas kaki sendiri.Sebagai produsen
pesawat yang baru merintis, tentunya belum banyak pesanan pesawat yang datang. Ditambah lagi, pasar Asia Tenggara mengalami kemunduran karena hampir semua negara di kawasan
ini juga menderita krisis ekonomi.Salah satu yang membuat IPTN bertahan adalah pesanan tetap dari Kementerian Pertahanan, namun jumlah penjualannya tidak cukup untuk menutup
biaya operasional perusahaan. Bisnis yang dijalankan oleh IPTN hanya seputar pembuatan komponen atau perawatan dan perbaikan pesawat. Akibatnya, IPTN mengalami kerugian
hingga Rp 7,25 triliun dan harus menunggak utang sebesar Rp 3 triliun Rahman, 2011.
Untuk merestrukturisasi IPTN, Presiden Abdurrahman Wahid mengutus Rizal Ramli, Kepala Bulog saat itu untuk membenahi manajemen perusahaan ini.Misi Rizal adalah untuk
mengubah IPTN sebagai industri berbiaya tinggi menjadi industri yang kompetitif seperti di
21 Cina, Brazil, atau India Masud, 2008. Sebagai simbol dari perubahan paradigma ini, Gus Dur
mengubah nama perusahaan ini menjadi PT. Dirgantara Indonesia PT. DI. Pemberian nama baru ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 526KMK.052000 Tanggal
20 Desember 2000 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 771KMK.042001 Tanggal 1 Mei 2001 Tyassari, 2008. Rizal mengubah seluruh peralatan dan mesin produksi berbiaya
tinggi menjadi lebih murah agar biaya produksi dapat ditekan dan PT. DI dapat kembali menghasilkan profit. Selain itu, manajemen puncak PT. DI pun diganti dengan orang-orang
didikan Habibie yang menguasai aspek teknis pembuatan pesawat maupun yang memiliki jaringanluas di industri pesawat internasional. Restrukturisasi ini mendorong pemulihan kondisi
finansial PT. DI dengan meningkatnya penjualan dari Rp 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp 1,4 trilyun pada tahun 2001. Bahkan perusahaan ini dapat menghasilkan keuntungan
sebesar Rp 11 milyar pada tahun 2001, setelah dua tahun sebelumnya mengalami kerugian sebesar Rp 75 milyar Masud, 2008.
Sayangnya ketika tahun 2001 Presiden Megawati menjabat, PT. DI lagi-lagi mengalami penurunan kinerja. Hal ini disebabkan oleh penggantian manajemen perusahaan ini yang
sebelumnya sudah solid, dengan orang-orang baru yang tidak memiliki jaringan bisnis dengan pelaku usaha di industri pesawat terbang internasional Masud, 2008. Akibatnya jumlah
penjualan PT. DI kembali mengalami penurunan, bahkan perusahaan ini mengalami kerugian hingga 1,5 trilyun. Tahun 2004 keadaan makin memburuk. Untuk menyelamatkan perusahaan
ini, terpaksa dilakukan pemutusan hubungan kerja PHK hingga 6.651 orang. Ini merupakan pengurangan pegawai terbesar yang pernah dilakukan oleh PT. DI.Terbebani utang yang
besar, PT. DI tidak mampu membayar gaji pegawainya tepat waktu, juga tidak mampu membayar kompensasi bagi mantan-mantan pegawai yang dirumahkan. Banyak tenaga-
tenaga ahli pesawat terbaik di negeri ini yang akhirnya mengundurkan diri dan direkrut oleh perusahaan pesawat luar negeri yang menjadi rekan kerja sama PT. DI, seperti Boeing, British
Aerospace, dan CASA.
PT. DI mencapai titik terendah pada tahun 2007, ketika Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan kepailitan pada PT. DI karena
kompensasi dan dana pensiun mantan pegawai perusahaan ini belum juga dibayarkan. Permohonan pailit diajukan oleh tiga orang mantan karyawan PT. DI.Tetapi PT. DI mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung dan keputusan pailit ditolak karena sebagai perusahaan BUMN, permohonan pailit PT. DI hanya bisa diajukan oleh Menteri Keuangan. Kasus ini membuat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk memperbaiki PT. DI. Pada tahun yang sama, manajemen perusahaan produsen pesawat ini kembali diganti dan Budi Santoso
ditunjuk menjadi Direktur Utama.
3.4. Periode 2008-Sekarang: Restrukturisasi
Di bawah kepemimpinan Budi Santoso, PT. DI dibawa menuju paradigma baru. Selain menguasai teknologi, perusahaan dituntut untuk menguasai pasar. Konsumen-konsumen PT.
DI selama ini lebih banyak dari pihak pemerintah, baik pemerintahan Indonesia maupun luar negeri. Produk-produk pesawat PT. DI memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan
militer. Agar mencatat profit, orientasi pasar PT. DI harus dialihkan ke pesawat penumpang komersial.Maka mulai dikembangkan lagi model pesawat NC-212, CN-235, dan N-219 yang
diperuntukkan bagi keperluan sipil.
Agar perusahaan dapat berjalan, tentunya masalah finansial harus diselesaikan. Sepanjang tahun 2003 hingga 2007, ditemukan bahwa PT. DI memiliki utang-utang pajak juga
utang untuk operasional perusahaan. Langkah pertama yang dilakukan adalah audit oleh BPK dan lembaga pajak. Kemudian utang ke pemerintah juga diselesaikan melalui konversi utang
menjadi modal.Langkah-langkah perubahan ini mulai menunjukkan hasil. Walaupun masih merugi, namun nilai defisit perusahaan menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, PT. DI
mencatat kerugian sebesar Rp 157 milyar, namun pada tahun berikutnya turun menjadi Rp 126 milyar Tempo, 2011. Sayangnya, pada tahun 2011, kerugian perusahaan ini justru meningkat
lebih besar dari tahun 2009, yaitu sebesar Rp 356,52 milyar detikfinance, 2012.
22 Untuk menyelamatkan PT. DI dari kebangkrutan lagi, pemerintah mengutus
Perusahaan Pengelola Aset PPA untuk melakukan restrukturisasi perusahaan dalam bidang keuangan.Melalui PP No. 70 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden SBY, PT. DI
mendapatkan suntikan dana pemerintah sebesar Rp 1 trilyun. Seperti efek bola salju, aliran modal pemerintah ini mengundang kepercayaan konsumen luar negeri bahwa PT. DI telah
bangkit. Hingga kini PT. DI dipercaya sebagai pemasok utama komponen pesawat perusahaan Airbus. Hal ini juga mengembalikan citra perusahaan di dunia industri pesawat internasional
dengan keberhasilannya bermitra dengan salah satu perusahaan produsen pesawat terbang terbesar di dunia. Bahkan Airbus telah memutuskan untuk memindahkan pabrik pesawat C-
295 dari Spanyol ke Bandung Antara News, 2013. Selain dengan Airbus, PT. DI menandatangani kontrak kerja sama sebagai perusahaan subkontrak dengan Eurocopter
Family, CTRM, dan Korean Air. Selain perusahaan luar negeri, PT. DI juga berhasil menjalin kesepakatan dengan perusahaan penerbangan dalam negeri, yaitu Lion Air, yang, yang telah
membeli 100 unit pesawat penumpang 19 kursi, yaitu N-219 Vivanews, 2013.
PT. DI sendiri juga melakukan restrukturisasi dan revitalisasi dalam bidang organisasi, SDM, teknologi informasi, permesinan, dan lain-lain. Langkah-langkah yang dilakukan antara
lain peremajaan dan pembelian fasilitas permesinan, perekrutan dan resdiposisi sumber daya manusia, modernisasi sistem informasi teknologi IT, proses perampingan bisnis, serta
pengembangan produk pesawat terbang agar tetap kompetitif di pasar Vivanews, 2013. Penyertaan modal oleh pemerintah telah digunakan oleh PT. DI untuk membeli mesin-mesin
baru.Mulai tahun 2010, telah dilakukan perekrutan pegawai baru secara bertahap, baik untuk insinyur penerbangan maupun operator mesin.Sistem IT yang digunakan sekarang adalah
Enterprise Resources Planning ERP dengan keunggulan data lebih akurat, visibilitas dan kontrol lebih baik, dan aliran data lebih mulus di antara seluruh unit dalam perusahaan,
dibandingkan dengan sistem sebelumnya, Integrated Resources PlanningIRP. Sebanyak 18 unit bisnis perusahaan kini dilebur menjadi empat unit saja, meliputi aircraft integration, aircraft
services, aerostructure, dan technology and development. Produk pesawat yang kini dikembangkan adalah pesawat CN-235-220, pesawat CN 295, pesawat NC-212-200,
helikopter BELL-412 EP, helikopter NAS-332C1, helikopter EC 725, dan helikopter AS 365 N3. Program restrukturisasi ini menunjukkan hasil positif, yaitu dengan dicatatnya keuntungan
bersih senilai Rp 40 milyar pada akhir tahun 2012. Walaupun sudah berhasil memperoleh profit, pekerjaan PT. DI ke depan masih berat. Penjualan produk komponen dan pesawat masih harus
digenjot agar perusahaan ini dapat melakukan ekspansi.
Tantangan yang dihadapi oleh PT. DI selanjutnya adalah masalah SDM. Perekrutan insinyur penerbangan terakhir dilakukan pada periode 1984-1985, artinya sudah 30 tahun
perusahaan ini tidak mempekerjakan tenaga ahli baru. Kini sekitar 45 pegawai sudah memasuki masa pensiun sehingga nasib perusahaan akan terancam jika tidak ada regenerasi.
Pada tahun 2010, perusahaan secara bertahapmulai merekrut pegawai baru. Namun untuk menjadikan seorang insinyur penerbangan menjadi tenaga ahli, dibutuhkan waktu sekitar 4-5
tahun.Untuk mempertahankan kelangsungan generasi ahli di PT. DI, beberapa pegawai yang sudah memasuki usia pensiun tetap dipertahankan untuk dijadikan sebagai pembimbing
pegawai baru. Selain masalah SDM, PT. DI juga membutuhkan regenerasi mesin-mesin baru. Sebagian besar mesin-mesin yang digunakan sekarang sudah melewati masa optimalnya,
sehingga produktivitasnya menurun jauh. Mesin-mesin yang sudah berusia tua ini sudah sulit dicari suku cadangnya, boros energi, memakan jam kerja lebih banyak, dan reabilitasnya sudah
berkurang. Akibat yang terasa adalah terlambatnya penyelesaian pesanan karena mesin sering bermasalah.
4. PENUTUP
Menelusuri perjalanan PT. DI sejak dirintis hingga sekarang, terlihat bahwa faktor dukungan pemerintah sangat berperan dalam mengembangkan industri pesawat terbang
dalam negeri.Karakteristik industri yang sangat padat modal dan memerlukan jangka waktu pengembalian investasi yang panjang ini harus diinisiasi oleh pemerintah. Dalam berbagai
23 periode yang dianalisis, terlihat bahwa peran aktor-aktor seperti Habibie, Soeharto dan Budi
Santoso sangat besar dalam menentukan perkembangan bisnis PT. DI. Untuk meningkat kan kiprah PT. DI di industri pesawat terbang internasional, hendaknya
kebijakan pemerintah tidak hanya terhenti pada suntikan modal semata. Kebijakan larangan impor terhadap jenis pesawat yang diproduksi oleh PT. DI sebaiknya diberlakukan, seperti yang
diimplementasikan pada zaman Orde Baru dulu. Selain itu, pemerintah perlu mendorong perusahaan penerbangan dalam negeri untuk menggunakan pesawat-pesawat produksi PT. DI
melalui insentif pembelian pesawat lokal atau insentif pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. PT. Dirgantara Indonesia Persero. Retrieved September 23, 2013, from http:www.indonesian-aerospace.com
Anonim, 2012. Jajaran BUMN dengan Rugi Paling Besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from detikfinance:
http:cybermed.cbn.net.idcbprtlcybernewsdetail.aspx?x=Economyy=cybernews7 C07C07C37C19421
Anonim, 2012. PT Dirgantara Indonesia lakukan pembenahan besar. Retrieved Oktober 7, 2013, from http:www.antaranews.comberita346727pt-dirgantara-indonesia-lakukan-
pembenahan-besar Amir, S., 2007. Nationalist rhetoric and technological development: The Indonesian aircraft
industry in the New Order regime. Technology in Society 29, 283-293. Kementerian Perdagangan, 2012. Retrieved September 23, 2013, from Indonesian
ExportImport: http:www.kemendag.go.ideneconomic-profileindonesia-export-import Kementerian Perindustrian, 2012. Perkembangan Indikator Kinerja Industri Besar dan Sedang
Indonesia. Retrieved
September 23,
2013, from
http:kemenperin.go.idstatistikibs_indikator.phpMasud, D. A., Mulyadi, E. 2008. Rizal Ramli, lokomotif perubahan: langkah strategis dan kebijakan terobosan, 2000-
2001. Jakarta: Cipta Citra Persada.
Kulsum, U. Adam, M., 2013. PTDI: Lion Air Borong 100 Pesawat N219. Retrieved Oktober 3, 2013 from http:bisnis.news.viva.co.idnewsread436263-ptdi--lion-air-borong-100-
pesawat-n219. Kurniawan, I., 2013. Kami Seperti Lahir Kembali, Konsumen Mulai Datang. Retrieved Oktober
4, 2013,
from http:fokus.news.viva.co.idnewsread405037--kami-seperti-lahir-
kembali--konsumen-mulai-datang- McKendrick, D., 1992
. Obstacles to ‘Catch-Up’: The Case of the Indonesian Aircraft Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 28:1, 39-66.
PAPPIPTEK-LIPI, 2011. Indikator Iptek Indonesia 2011. LIPI. Jakarta. Rahman, A., 2011 November 13. Majalah Stabilitas. Retrieved Oktober 4, 2013, from Manuver
Penting Setelah
Mati Suri:
http:www.stabilitas.co.idview_articles.php?article_id=197article_type=0article_cat egory=5
Tyassari, Y., 2008. Akibat Hukum Putusan Pailit pada Badan Usaha Milik Negara BUMN PT. Dirgantara Indonesia Persero. Universitas Diponegoro. Semarang.
24
KAJIAN PENGELOLAAN HASIL PENELITIAN LEMBAGA LITBANG UNTUK MENDUKUNG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH UMKM
Mahmudi
Centre for Scientific Documentation and Information Indonesian Institutes of Sciences
Jl. Jendral Gatot Subroto 10 Jakarta, 12710 E-mail:
Mahmudikuyahoo.com
ABSTRACT
The use of information system in managing scientific information on research institutes is intended to enhance good governance and improve the effectiveness and efficiency of research
institutions work for business. Research institutions are required to provide better, cheaper and faster public services. Moreover, the services should be easily accessible, so that people and businesses can
participate in the form of supports, objections or critics to determine the research institutes policies, programs, and activities. This kind of action will result technology. The role of information management
in information providing and exchange is very important and crucial. The advance of technology has resulted in the easy and cheap telecommunication accessed by public and private sector industry.
Currently, the management of scientific information in governmental research institutions is still like islands of information. They are not integrated one to another. It causes the difficulties in scientific
information sharing. It is difficult for people to obtain information because they have to access many sources in one institution and some units of scientific information management in some institutions. This
study aims to determine the problem and various factors in the management of research product for supporting entrepreneurship. The study used qualitative methods with socio-cognitive approach. Data
collection techniques used is combined document review, observation, in-depth interviews and focus group discussion FGD, as well as participatory action research PAR. The result of this study is a map
of the problems of the regulatory aspects, human resources, institutions, facilities and infrastructure in the management of information systems research. The results of this study will be used as a reference
for determining the products of research management policy to encourage businesses.
Keywords: information access, information systems, research product management, entrepreneurship
1.PENDAHULUAN
Lembaga penelitian di Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan antara lain masih rendahnya pemanfaatan hasil litbang, belum banyak kesesuaian hasil litbang dengan
kebutuhan Iptek di masyarakat dan daerah, lemahnya interaksi dengan industri, sarana penelitian dan kualitas peneliti yang masih belum mendukung kinerja penelitian secara optimal,
serta pengelolaan hasil penelitian belum maksimal.
Dunia usaha khususnya usaha mikro, kecil,dan menengah UMKM sebagai salah satu pelaku penggerak ekonomi di Indonesia yang sedang tumbuh, dihadapkan pada sulitnya
memperoleh informasi ilmiah hasil penelitian lembaga litbang yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan usahannya. Hal ini merupakan masalah dalam suatu kelembagaan saat
ini, dimana dengan kemajuan teknologi informasi, sudah selayaknya pelaku UMKM dapat mengakses berbagai jenis dan sumber informasi yang dibutuhkannya. Kondisi saat ini,
pengelolaan hasil penelitian dengan penerapan sistem informasi yang diimplementasikan
25 kurang mendukung atau bahkan belum dapat memberi manfaat kepada masyarakat pengguna,
khususnya industri kecil. Sering pada kenyataannya sistem informasi yang hanya mempertimbangkan aspek keras hard aspects tidak bekerja maksimal, karena mengabaikan
aspek manusia dan kelembagaan soft aspects dalam penerapannya. Kondisi pengeloaan hasil penelitian dengan menggunakan sistem informasi lembaga litbang pada masing-masing
Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian LPNK, dan Perguruan Tinggi, saat ini masih menyerupai pulau-pulau informasi, dimana antar institusi yang saling membutuhkan
informasi belum terjadi proses pertukaran sharing data. Hal ini dikarenakan sistem informasi yang dikembangkan masih terpisah-pisah dan tidak terintegrasi. Selain itu, mekanisme
diseminasi informasi hasil penelitian lembaga litbang ke industri kecil juga belum dilaksanakan dengan baik. Sebagai gerbang informasi, baik lokal maupun internasional, website lembaga
litbang merupakan layanan informasi kepada publik yang harus informatif dan interaktif sehingga industrI kecil dapat memanfaatkan berbagai hasil penelitian yang dihasilkan oleh
lembaga litbang.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui berbagai permasalahan dan faktor-faktor dalam pengelolaan hasil penelitian di lembaga litbang guna mendukung kegiatan dunia usaha
khususnya UMKM.
2. METODOLOGI