Guru sebagai tenaga profesional

39 b. Memiliki otonomi jabatan; c. Memiliki kode etik jabatan; d. Merupakan karya bakti seumur hidup. 3. Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional, maksudnya: a. Memperoleh dukungan masyarakat; b. Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum; c. Memiliki persyaratan kerja yang sehat; d. Memiliki jaminan hidup yang layak. Selanjutnya Westby dan Gibson, mengemukakan ciri-ciri keprofesional di bidang pendidikan sebagai berikut: 1. Diakui oleh masyarakat dan layanan yang diberikan hanya dikerjakan oleh pekerja yang dikategorikan sebagaisuatu profesi. 2. Memiliki sekumpulan bidang ilmu pengetahuan sebagai landasan dari sejumlah teknik dan prosedur yang unik. Sebagai contoh misalnya profesi dibidang kedokteran, harus pula mempelajari, anatomi, bakteriologi, dan sebagainya. Juga profesi dibidang keguruan misalnya harus mempelajari psikologi, metodik dan lain-lain. 3. Diperlukan kesiapan yang sengaja dan sistematis, sebelum orang itu dapat melaksanakan pekerjaan profesional. 4. Memiliki mekanisme untuk menyaring sehingga orang yang berkompeten saja yang diperbolehkan bekerja. 40 5. Memiliki organisasi prefesional untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat. Pengertian profesi dengan segala ciri dan persyaratannya tersebut akan membawa konsekuensi yang fundamental terhadap program pendidikan, terutama yang berkenan dengan komponen tenaga pendidikan. Salah satu konsekuensi itu diantaranya adalah berkenaan dengan accountability dari program pendidikan itu sendiri. Hal ini sebagai suatu petunjuk bahwa keberhasilan program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peranan masyarakat secara keseluruhan, baik sumber asal dan sumber daya, maupun sebagai pemakai hasil. Jadi kompetensi lulusan tidak semata-mata tanggung jawab pengajar guru, akan tetapi juga ditentukan oleh pemakai lulusan serta masyarakat pada umumnya, baik itu secara langsung maupun tidak langsung akan terkena akibat dari adanya lulusan tersebut. Hal semacam ini harus dipahami oleh setiap unsur manusiawi yang terlibat di dalam program pendidikan, termasuk guru. Bagi guru yang merupakan tenaga profesional dibidang pendidikan dalam kaitannya dengan accountability , bukan berarti tugasnya menjadi ringan, tetapi justru lebih berat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki kualifikasi kemampuan yang lebih memandai. Secara garis besar ada tiga tingkatan kualifikasi profesional guru sebagai tenaga profesional kependidikan. Yang pertama adalah tingkatan capability personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan kentampilan serta sikap yan lebih mantap dan 41 memadai sehingga mampu mengelola proses belajar-mengajar secara efektif. Tingkat kedua adalah guru sebagai inovator , yakni sebagai tenaga kependidikan yang memiliki kompeten terhadap upaya perubahan dan reformasi. Para guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang tepat terhadap pembaharuan dan sekaligus merupakan penyebar ide pembaharuan yang efektif. Kemudian tingkat yang ketiga adalah guru sebagai developer . Selain menghayati kualifikasi yang pertama dan kedua, dalam tingkatannya sebagai developer, guru harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Guru harus mampu dan mau melihat jauh ke dapan dalam menjawab tantangan- tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu sistem. Sebagai pencerminan dari perbedaan-perbedaan individual, maka logis kalau dikatakan setiap guru itu pun memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal kualifikasi kemampuan. Kualifikasi pada tingkat pertama tentunya merupakan dasar yang harus dimiliki oleh setiap guru, untuk kemudian menuju pada tingkat kesempurnaan yakni inovator dan developer . Oleh karena itu, ada sementara pendapat bahwa yang berperan sebagai inovator dan developer itu biasanya guru-guru angkatan yang sudah agak lama, dengan alasan mereka sudah memiliki banyak pengalaman kerja. Tetapi sebaliknya ada juga pendapat yang menyatakan justru dari kelompok guru-guru mudalah yang kinerjanya lebih banyak mengambil peran dalam soal pembaruan. Alasan yang dikemukaan adalah bahwa tenaga-tenaga muda itu masih cukup potensial dan biasanya lebih responsif di dalam 42 mensifati ide pembaruan. Persoalan ini memangsulit dijawab, tetapi masih memerlukan kajian yang lebih lanjut. Hanya yang perlu diingat bahwa ukuran yang lebih tepat untuk upaya reformasi itu tidak sekedar banyaknya pengalaman kerja, tetapi persoalannya cukup kompleks, sebab menyangkut sikap mental dan kultur masing-masing. Dengan demikian, jelas bahwa untuk melihat seberapa besar tingkat kualifikasi kemampuan guru tidak dapat dipisahkan sikap dan perilaku guru itu sendiri. Sehubungan dengan itu maka perlu ditegaskan bahwa selain faktor- foktor pengetahuan, kecakapan, kenterampilan dan tangap terhadap ide pembaruan serta wawasan yang lebih luas sesuai dengan keprofesiannya, pada diri guru sebenarnya masih memerlukan persyaratan khusus yang bersifat mental. Persyaratan khusus itu adalah faktor yang menyebabkan seseorang itu merasa senang, karena merasa terpangil hati nuraninya untuk menjadi seorang pendidikguru. Oleh Waterink, faktor khusus itu disebut dengan istilah rouping atau “panggilan hati nurani”. Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seorang guru untuk melakukan kegiatannya. Sardiman 2010: 133,137.

b. Guru Sebagai Pendidik Dan Pembimbing

Seorang dikatakan sebagai guru tidak cukup “tahu” sesuatu materi yang akan diajarkan, tetapi pertamakali ia harus merupakan seorang yang memiliki “kepribadian Guru” dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. 43 Dengan kata lain untuk menjadi pendidik atau guru, seorang harus memilki kepribadian. Masalah yang penting adalah mengapa guru itu dikatakan sebagai “pendidik”. Guru memang seorang “pendidik”, sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya “mengajar” seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi guru juga melatih beberapa keterampilan dan terutama sikap mental anak didik. “mendidik” sikap mental seseorang tidak cukup hanya “mengajarkan” sesuatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan itu harus dididikkan, dengan guru sebagai idolanya. Dengan “mendidikkan” dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung pada bebagai pengetahuan yang dibarengi dengan contoh-contoh teladan dari sikap dan tingkah laku gurunya, diharapkan anak didiksiswa dapat menghayati kemudian menjadikan hak miliknya, sehingga dapat menumbuhkan sikap mental. Jadi tugas seorang guru bukan sekedar menumpahkan semua ilmu pengetahuan tetapi juga “mendidik” seseorang menjadi warga negara yang baik, menjadi seseorang yang berpribadi baik dan utuh. Mendidik berarti mentransfer nilai-nilai kepada siwanya. Nilai- nilai tersebut harus diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Mendidikkan adalah memanusiakan manusia. Dengan demikian, secara esensial dalam proses pendidikan, guru itu bukan hanya berperan sebagai “ pengajar” yang transfer of knowledge tetapi ju ga “pendidik” yang transfer of values . Ia bukan saja pembawa ilmu pengetahuan, akan tetapi juga menjadi contoh seorang pribadi manusia. 44 Sebagai seorang pendidik, guru harus memenuhi beberapa syarat khusus. Untuk mengajar ia dibekali dengan berbagai ilmu keguruan sebagai dasar, disertai pula seperangkat latihan kenterampilan keguruan, dan pada kondisi itu pula, ia belajar memersonalisasikan beberapa sikap keguruan yang diperlukan. Semuanya itu akan menyatu dalam diri seorang guru sehingga merupakan seorang pribadi khusus, yakni ramuan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan keguruan serta penguasaan beberapa ilmu pengetahuan yang akan ia transformasikan pada anak didik siswanya, sehingga mampu membawa perubahan di dalam tingkah laku siswa itu. Dilihat dari segi perkembangannya, pada zaman kuno guru seringkali diberi peringkat “pendidik” yang jauh lebih kuat. Para siswa atau anak didik diarahkan menjadi manusia-manusia yang taat pada Maha Pencipta, sopan, tunduk kepada ketentuan serta adat-istiadat yang berlaku, walaupun kadang- kadang hal itu tidak rasional. Kemudian pada zaman kolonial, fungsi guru sebagai “pengajar” lebih menonjol. Hal ini disesuaikan dengan maksud kaum kolonial untuk menghasilkan orang-orang yang dapat bekerja untuk kaum kolonial. Soal pribadi dan etika serta sikap mental kurang mendapatkan perhatian. Dalam perkembangan masa berikutnya secara tidak disadari dalam berbagai praktik dan pelaksanaan dalam kegiatan belajar-mengajar khususnya proses pendidikan pada umumnya, fungsi guru sebagai “pengajar” penyampai ilmu pengetahuan masih cederung menonjol. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari bahwa guru pada umumnya