Malaria PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOSIS

193 Bab VI PENGENDALIAN PENYAKIT GAMBAR 6.42 SITUASI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA TAHUN 2009 – 2016 Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017 Sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2016 terjadi fluktuasi jumlah kasus leptospirosis. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun tahun 2011 lalu menurun sampai dengan tahun 2015, kemudian meningkat drastis pada tahun 2016. Sementara itu, jumlah kematian akibat leptospirosis bervariasi, namun cenderung tetap pada tahun 2013-2016. Upaya yang telah dilaksanakan dalam pengendalian leptospirosis antara lain surat edaran kewaspadaan leptospirosis setiap tahunnya; pengadaan Rapid Test Diagnostic RDT sebagai buffer stock; mendistribusikan media KIE Komunikasi, Informasi, Edukasi seperti buku petunjuk teknis, leaflet, poster, roll banner, dan lain-lain.

7. Antraks

Penyakit antraks disebabkan oleh kuman antraks Bacillus anthracis. Kuman ini dapat membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama didalam tanah, sehingga sulit dimusnahkan. Sumber penularan antraks yaitu hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi Bacillus anthracis. Pada tahun 2016 dilaporkan terjadi sebanyak 52 kasus antraks dari 4 provinsi di Indonesia dengan tidak ada kasus kematian CFR=0. Jumlah kasus ini melonjak drastis dari kasus tahun 2015 yang berjumlah 3 kasus. Gambar 6.43 memperlihatkan kasus antraks selama delapan tahun terakhir. 335 857 239 640 550 366 833 6,87 9,57 12,13 9,38 11,27 17,76 7,44 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 100 200 300 400 500 600 700 800 900 2009 2011 2012 2013 2014 2015 2016 CF R Juml ah Kasu s 194 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 GAMBAR 6.43 JUMLAH KASUS DAN KEMATIAN ANTRAKS DI INDONESIA TAHUN 2009-2015 Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017 Pengendalian kasus antraks dapat dilakukan dengan peningkatan kegiatan surveilans yang intensif terhadap kasus antraks dengan fokus daerah endemis atau daerah rawan lainnya. Kegiatan surveilans diintensifkan pada hari-hari perayaan agama seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal ataupun perayaan hari besar lainnya dan juga saat dimungkinkan konsumsi daging meningkat.

8. Flu Burung

Pengendalian flu burung H5N1 yang dilakukan secara terpadu secara signifikan telah berhasil menurunkan jumlah kasus konfirmasi flu burung di Indonesia pada tahun 2016. Sejak munculnya penyakit flu burung pertama kali pada tahun 2005, jumlah kasus terus menurun pada periode tahun 2006-2015 dari 55 kasus pada tahun 2006 menjadi 2 kasus pada tahun 2015 dan tidak ditemukan kasus pada tahun 2016. Gambaran penurunan jumlah kasus konfirmasi flu burung dapat dilihat pada Gambar 6.44 berikut ini. 17 31 41 22 11 48 3 52 2 1 1 3 10 20 30 40 50 60 70 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Juml ah Kasu s kasus meninggal 195 Bab VI PENGENDALIAN PENYAKIT GAMBAR 6.44 JUMLAH KASUS, KEMATIAN, DAN CASE FATALITY RATE CFR FLU BURUNG DI INDONESIA TAHUN 2005-2016 Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017 Sejak dilaporkan kasus pertama pada tahun 2005, penyebaran kasus flu burung H5N1 pada manusia telah terjadi secara sporadis di 15 provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Secara kumulatif, jumlah kasus tertinggi ditemukan di Provinsi DKI Jakarta sebesar 53 kasus, Jawa Barat sebesar 51 kasus, dan Banten sebesar 34 kasus. Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan oleh tim terpadu Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tingginya CFR pada tahun 2014 yaitu: 1. Keterlambatan deteksi dini ; 2. Keterlambatan pemberian Oseltamivir; 3. Sifat virus yang mudah bermutasi; 4. Kurangnya kewaspadaan di masyarakat terhadap bahaya flu burung. 20 55 42 24 9 12 9 3 3 2 2 13 45 37 20 7 10 9 3 3 2 2 65,00 81,82 88,10 83,33 77,78 83,33 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 - 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10 20 30 40 50 60 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 CF R Juml ah Kasu s Kasus Meninggal CFR 196 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016

9. Pengendalian Vektor Terpadu

Penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengendalian penyebaran vektor. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 374MENKESPERIII2010 tentang Pengendalian Vektor, yang disebut dengan pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan vektor dapat dicegah. Sementara itu, Pengendalian Vektor Terpadu PVT merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya, serta dengan mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya. Pengendalian vektor terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang rasional agar sumber daya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian lingkungan terjaga. Beberapa metode pengendalian vektor yang dapat dilakukan diantaranya adalah: a metode pengendalian fisik dan mekanis, misalnya modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan, pemberantasan sarang nyamuk, pemasangan kelambu; b metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik , misalnya predator pemakan jentik ikan, dan lain-lain, bakteri, manipulasi gen penggunaan jantan mandul, dan lain-lain; c metode pengendalian secara kimia, misalnya surface spray IRS dan space spray fogging, serta larvasida. Kabupatenkota yang melaksanakan pengendalian vektor terpadu pada tahun 2016 sebanyak 257 kabupatenkota atau sebesar 50 dari seluruh kabupatenkota. Target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2016 adalah 50 kabupatenkota melaksanakan pengendalian vektor terpadu. Dengan demikian target pelaksanaan pengendalian vektor terpadu tahun 2016 tercapai. Jumlah kabupatenkota yang melakukan pengendalian vektor terpadu menurut provinsi tahun 2016 dapat dilihat pada Gambar 6.45. 197 Bab VI PENGENDALIAN PENYAKIT GAMBAR 6.45 KABUPATENKOTA YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN VEKTOR TERPADU MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017 Berdasarkan Gambar 6.45 dapat dilihat bahwa provinsi dengan jumlah kabupatenkota terbanyak yang melakukan pengendalian vektor terpadu tahun 2016 adalah Sulawesi Selatan dan Aceh dengan 22 kabupatenkota, diikuti oleh Jawa Tengah dengan 21 kabupatenkota, dan Sumatera Utara dengan 18 kabupatenkota. 1 1 2 3 3 3 3 3 3 3 4 4 5 6 6 6 6 7 7 8 8 8 8 8 9 9 10 10 10 10 18 21 22 22 5 10 15 20 25 Riau Kalimantan Utara Maluku Sumatera Barat DI Yogyakarta Banten Kalimantan Barat Sulawesi Barat Papua Barat Papua Kepulauan Riau Gorontalo Jambi Kepulauan Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Timur Sulawesi Utara Sumatera Selatan Maluku Utara Jawa Barat Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara Bengkulu Lampung Nusa Tenggara Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Sulawesi Tengah Sumatera Utara Jawa Tengah Aceh Sulawesi Selatan Jumlah Kabkota yang Melakukan PVT