JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Profil Kesehatan Indonesia 2016

91 Bab IV PEMBIAYAAN KESEHATAN GAMBAR 4.10 PROPORSI JENIS FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA FKTP YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER 31 DESEMBER 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Jenis FKTP yang paling banyak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 adalah Puskesmas sebanyak 9.813, kemudian diikuti oleh Dokter Praktik Perorangan DPP sebanyak 4.578, Klinik Pratama sejumlah 3.880, dan yang terendah adalah RS Tipe D Pratama sebanyak 15. Jumlah FKTP tersebut ditambah dengan jumlah FKTP Gigi yaitu Dokter Gigi Praktek Perorangan sebanyak 1.150. Namun jika dilihat dari persentase penambahan dari tahun sebelumnya, FKTP yang persentase penambahannya terbesar ialah RS Tipe D Pratama sebesar 50,00 dan kemudian Klinik Pratama sebesar 18,29. GAMBAR 4.11 GAMBARAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA FKTP YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN DAN PERSENTASE PENAMBAHANNYA MENURUT JENIS TAHUN 2014 – 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 RS Tipe D Pratama 0,07 Klinik POLRI 2,74 Klinik TNI 3,40 Praktik Dokter Gigi 5,55 Klinik Pratama 18,74 DPP 22,11 Puskesmas 47,39 720 571 9.799 1.148 4.441 3.280 10 704 568 9.813 1.150 4.578 3.880 15 -2,22 -0,53 0,14 0,17 3,08 18,29 50,00 -20 -10 10 20 30 40 50 60 - 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 KLINIK TNI KLINIK POLRI PUSKESMAS PRAKTIK DOKTER GIGI DOKTER PRAKTIK PERORANGAN KLINIK PRATAMA RS TIPE D Pratama Pe n am b ah an Ju m lah FK TP 2.015 2016 Penambahan 92 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 Bila dilihat dari distribusi jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan, jumlah FKTP tertinggi ada pada Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah 2.749. Sedangkan jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan terendah berada di Provinsi Kalimantan Utara dengan jumlah 104 FKTP. Data dan informasi mengenai FKTP yang bekerja sama dengan BPJS pada tahun 2016 disajikan pada Lampiran 4.7. GAMBAR 4.12 JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA FKTP YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN MENURUT PROVINSI PER 31 DESEMBER 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Gambar 4.13 memberikan gambaran mengenai sebaran jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2016. Gambaran distribusi jumlah FKTP ini dibagi menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok tersebut yaitu 1 yang berwarna kuning ialah provinsi yang jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatannya berkisar di antara 104 128 140 153 197 203 207 250 283 298 299 309 317 343 362 369 374 445 457 508 520 522 543 548 566 590 598 632 709 866 1.125 2.336 2.658 2.749 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 Kalimantan Utara Kepulauan Bangka Belitung Sulawesi Barat Gorontalo Maluku Utara Papua Barat Kepulauan Riau Maluku Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat Bengkulu Kalimantan Tengah Jambi D I Yogyakarta Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Sumatera Barat Riau Papua Aceh Lampung Nusa Tenggara Timur Bali Banten DKI Jakarta Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sumatera Utara Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah 93 Bab IV PEMBIAYAAN KESEHATAN 104 – 986 FKTP, 2 yang berwarna hijau muda berjumlah antara 986-1.867 FKTP, dan 3 yang berwarna hijau tua berjumlah 1.867 – 2.749 FKTP. GAMBAR 4.13 SEBARAN JUMLAH FKTP YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN TAHUN 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Jumlah Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 yaitu sebanyak 2.069 FKRTL. Bila dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan meningkat sebesar 18.75 yaitu dari 1.681 FKRTL pada tahun 2014 menjadi 2.068 FKRTL pada tahun 2016. FKRTL penerima rujukan wajib merujuk kembali peserta JKN disertai jawaban dan tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara medis peserta sudah dapat dilayani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama FKTP yang merujuk. GAMBAR 4.14 PERKEMBANGAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN TAHUN 2014 -2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 1.681 1.847 2.068 500 1.000 1.500 2.000 2.500 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Ju m lah 106-986 986,1-1.867 1.867,1-2.749 94 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 GAMBAR 4.15 PROPORSI JENIS FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER 31 DESEMBER 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Jenis FKRTL yang paling banyak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 adalah RS Swasta yaitu sebanyak 876 43,17, kemudian diikuti oleh RS Pemerintah sebanyak 667 32,87, RS Khusus sejumlah 196 9,47, dan yang terendah adalah RS Khusus Jiwa sebanyak 35 1,72. Namun jika dilihat dari persentase penambahan dari tahun sebelumnya, FKRTL yang persentase penambahannya terbesar ialah Klinik Utama sebesar 39,71, kemudian RS Swasta sebesar 16,26. Penambahan jumlah rumah sakit swasta terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, masing-masing sebanyak 27 dan 16 rumah sakit. Sedangkan penambahan klinik utama terbanyak ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. GAMBAR 4.16 GAMBARAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUT FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN DAN PERSENTASE PENAMBAHANNYA MENURUT JENIS TAHUN 2014 – 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 RS SWASTA; 43,17 RS PEMERINTAH; 32,87 RS KHUSUS; 9,47 KLINIK UTAMA; 7,39 RS TNIPOLRI; 7,15 RS KHUSUS JIWA; 1,72 95 758 166 649 145 34 150 876 196 667 145 35 39,71 16,26 4,40 3,84 1,40 0,00 5 10 15 20 25 30 35 40 45 - 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1.000 KLINIK UTAMA RS SWASTA RS KHUSUS RS PEMERINTAH RS TNIPOLRI RS KHUSUS JIWA P e nam bahan Ju ml ah F K R T L 2015 2016 Penambahan 95 Bab IV PEMBIAYAAN KESEHATAN Jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan menurut provinsi tertinggi ada pada Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 283 FKRTL. Sedangkan jumlah FKRTL terendah yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berada di Provinsi Kalimantan Utara yaitu sebanyak 7 FKRTL. Data dan informasi lebih lengkap mengenai jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 menurut jenis dan provinsi terdapat pada Lampiran 4.8 . GAMBAR 4.17 JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER 31 DESEMBER 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Secara umum, terjadi peningkatan jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sejak tahun 2014 hingga tahun 2016, yaitu meningkat sebanyak 22,04. Pada tahun 2014, terdapat 1.613 FKRTL dan jumlah ini meningkat menjadi 2.069 FKRTL pada tahun 2016. Jika dilihat dari jenisnya, peningkatan jumlah terbanyak terdapat pada klinik utama. Selain itu, pada tahun 2014 tidak terdapat klinik utama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, namun pada tahun 2015 telah terdapat 95 klinik utama yang bekerja sama 7 9 14 14 14 20 21 21 22 26 26 28 28 29 29 32 35 36 39 43 47 47 51 51 51 64 66 72 79 127 128 253 257 283 50 100 150 200 250 300 Kalimantan Utara Sulawesi Barat Gorontalo Maluku Utara Papua Barat Kalimantan Tengah Bengkulu Kepulauan Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Papua Nusa Tenggara Barat Maluku Jambi Kepulauan Riau Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Riau Bali Sumatera Barat Sumatera Selatan Lampung Aceh D I Yogyakarta Banten Sulawesi Selatan DKI Jakarta Sumatera Utara Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat 96 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 dengan BPJS Kesehatan dan kemudian meningkat lagi menjadi 150 klinik utama pada tahun 2016. Gambar 4.18 memberikan gambaran mengenai sebaran jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2016. Gambaran distribusi jumlah FKRTL ini dibagi menjadi tiga kategori. Ketiga kategori tersebut yakni 1 yang berwarna kuning ialah provinsi yang jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatannya berkisar di antara 0 – 99 fasilitas kesehatan, 2 yang berwarna hijau muda berjumlah antara 99-191 FKRTL, dan 3 yang berwarna hijau tua berjumlah 191 – 283 FKRTL. GAMBAR 4.18 SEBARAN JUMLAH FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN TAHUN 2016 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 GAMBAR 4.19 ALOKASI ANGGARAN DAN REALISASI PENERIMA BANTUAN IURAN PBI BPJS TAHUN 2014-2016 Keterangan : dalam trilyun rupiah Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 19,93 20,35 25,5 19,93 19,88 24,81 5 10 15 20 25 30 2014 2015 2016 Alokasi Realisasi 97 Bab IV PEMBIAYAAN KESEHATAN Gambar 4.19 menunjukan kondisi penyerapan anggaran Penerima Bantuan Iuran PBI BPJS selama kurun waktu tahun 2014-2016. Untuk alokasi PBI mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, dari sekitar 19,93 trilyun rupiah pada tahun 2014 menjadi sekitar 25,5 trilyun rupiah pada tahun 2015, dan meningkat lagi di tahun 2016 menjadi 25,5 trilyun rupiah. Realisasi PBI sempat mengalami sedikit penurunan dari sebesar 19,93 trilyun rupiah pada tahun 2014 menjadi 19,88 trilyun rupiah pada tahun 2015, namun kemudian meningkat lagi di tahun 2016 menjadi sebesar 24,81 trilyun rupiah. TABEL 4.1 SEPULUH KODE CBGS TERBANYAK PADA TINGKAT LAYANAN RAWAT JALAN TINGKAT LANJUT RJTL SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2016 No Kode CBGs Nama CBGs Realisasi s.d. Desember 2016 Jumlah Kasus Biaya Rp 1 2 3 4 5 1 Q-5-44-0 Penyakit kronis kecil lain-lain 27.839.482 5.067.479.611.674 2 M-3-16-0 Prosedur terapi fisik dan prosedur kecil muskulosketal 3.202.708 531.371.659.900 3 N-3-15-0 Prosedur dialisis 3.006.576 2.955.811.449.900 4 Q-5-42-0 Penyakit akut kecil lain-lain 2.103.208 309.025.512.600 5 Z-3-27-0 Perawatan luka 1.590.023 319.497.618.800 6 Z-3-12-0 Prosedur rehabilitasi 1.458.461 398.585.149.400 7 Q-5-18-0 Konsultasi atau pemeriksaan lain-lain 1.223.216 170.892.397.900 8 Z-3-25-0 Prosedur ultrasound ginekologik 1.109.940 362.676.646.900 9 U-3-15-0 Prosedur pada gigi 1.015.879 191.374.064.700 10 H-3-12-0 Prosedur lain-lain pada mata 673.829 137.674.948.500 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Keterangan : CBGs : Case Base Groups, artinya cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis- diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Tabel 4.1 menampilkan bahwa prosedur terapi fisik dan prosedur kecil muskulosketal jumlah kasusnya menduduki peringkat kedua tertinggi namun pembiayaannya hanya mencapai 531 milyar rupiah, sedangkan jumlah kasus prosedur dialisis memiliki peringkat ketiga namun mempunyai jumlah pembiayaan terbesar yaitu sebesar 2,955 trilyun rupiah. Di 98 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 peringkat kesepuluh terdapat jumlah kasus prosedur lain-lain pada mata dengan 673.829 kasus dan pembiayaan sebesar 137,6 milyar rupiah. TABEL 4.2 SEPULUH KODE CBGS TERBANYAK PADA TINGKAT LAYANAN RAWAT INAP TINGKAT LANJUT RITL SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2016 No Kode CBGs Nama CBGs Realisasi s.d. Desember 2016 Jumlah Kasus Biaya Rp 1 2 3 4 5 1 O-6-10-I Operasi pembedahan caesar ringan 480.622 2.247.613.920.775 2 A-4-13-I Infeksi non bakteri ringan 440.068 1.019.446.528.900 3 K-4-17-I Nyeri abdomen dan gastroenteritis lain- lain ringan 380.744 946.214.050.445 4 A-4-14-I Penyakit infeksi bakteri dan parasit lain- lain ringan 333.227 1.089.019.205.476 5 O-6-13-I Persalinan vaginal ringan 309.223 703.538.103.100 6 K-4-18-I Diagnosis sistem pencernaan lain-lain ringan 190.396 615.000.825.800 7 P-8-17-I Neonatal, bbl group-5 tanpa prosedur mayor ringan 149.626 303.749.973.000 8 W-1-11-I Prosedur dilatasi, kuret, intrauterin serviks ringan 119.725 370.798.577.200 9 D-4-13-I Gangguan sel darah merah selain krisis anemia sel sickle ringan 110.357 447.334.620.723 10 L-1-40-I Prosedur pada kulit, jaringan bawah kulit dan payudara ringan 110.000 435.817.317.949 Sumber : BPJS Kesehatan, 2017 Tabel 4.2 menampilkan bahwa pada tahun 2016 operasi pembedahan caesar ringan jumlah kasusnya menduduki peringkat tertinggi dengan pembiayaan mencapai 2,247 trilyun rupiah, kemudian infeksi bakteri ringan menduduki peringkat jumlah kasus kedua dengan pembiayaan sebesar 1,019 trilyun rupiah. Pada peringkat kesepuluh terdapat prosedur pada kulit, jaringan bawah kulit, dan payudara ringan dengan 110.000 kasus dan pembiayaan sebesar 435,81 milyar rupiah. 101 Bab V KESEHATAN KELUARGA Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Salvicion dan Cells 1998, di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Lebih jauh lagi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga, menyebutkan bahwa pembangunan keluarga dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Selain lingkungan yang sehat, masih menurut peraturan pemerintah tersebut, kondisi kesehatan dari tiap anggota keluarga sendiri juga merupakan salah satu syarat dari keluarga yang berkualitas. Sebagai komponen yang tidak terpisahkan dari masyarakat, keluarga memiliki peran signifikan dalam status kesehatan. Keluarga berperan terhadap optimalisasi pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas seluruh anggotanya melalui pemenuhan kebutuhan gizi dan menjamin kesehatan anggota keluarga. Di dalam komponen keluarga, ibu dan anak merupakan kelompok rentan. Hal ini terkait dengan fase kehamilan, persalinan dan nifas pada ibu dan fase tumbuh kembang pada anak. Hal ini yang menjadi alasan pentingnya upaya kesehatan ibu dan anak menjadi salah satu prioritas pembangunan kesehatan di Indonesia. Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, karena ibu dan anak merupakan kelompok rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara umum. Sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja upaya kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan. BAB V KESEHATAN KELUARGA 102 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 102 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016

A. KESEHATAN IBU

Keberhasilan upaya kesehatan ibu, di antaranya dapat dilihat dari indikator Angka Kematian Ibu AKI. AKI adalah jumlah kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup. Indikator ini tidak hanya mampu menilai program kesehatan ibu, terlebih lagi mampu menilai derajat kesehatan masyarakat, karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun kualitas. Penurunan AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan 2007, yaitu dari 390 menjadi 228. Namun demikian, SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus SUPAS 2015. Gambaran AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga tahun 2015 dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut ini. GAMBAR 5.1 ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA TAHUN 1991 – 2015 Sumber: BPS, SDKI 1991-2012 Sebagai upaya penurunan AKI, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sejak tahun 1990 telah meluncurkan safe motherhood initiative, sebuah program yang memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Upaya tersebut dilanjutkan dengan program 390 334 307 228 359 305 50 100 150 200 250 300 350 400 1991 1997 2002 2007 2012 2015 Tahun 103 Bab V KESEHATAN KELUARGA Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden Republik Indonesia. Program ini melibatkan sektor lain di luar kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu yaitu penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Upaya lain yang juga telah dilakukan yaitu strategi Making Pregnancy Safer yang dicanangkan pada tahun 2000. Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival EMAS dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut disebabkan 52,6 dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan. Program EMAS berupaya menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal dengan cara : 1 meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit PONEK dan 300 PuskesmasBalkesmas PONED dan 2 memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit. Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana. Pada bagian berikut, gambaran upaya kesehatan ibu yang disajikan terdiri dari : 1 pelayanan kesehatan ibu hamil, 2 pelayanan imunisasi Tetanus Toksoid wanita usia subur dan ibu hamil, 3 pelayanan kesehatan ibu bersalin, 4 pelayanan kesehatan ibu nifas, 5 Puskesmas melaksanakan kelas ibu hamil dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi P4K dan 6 pelayanan kontrasepsi.

1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil

Pelayanan kesehatan ibu hamil diberikan kepada ibu hamil yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Proses ini dilakukan selama rentang usia kehamilan ibu yang dikelompokkan sesuai usia kehamilan menjadi trimester pertama, trimester kedua, dan trimester ketiga. Pelayanan kesehatan ibu hamil yang diberikan harus memenuhi elemen pelayanan sebagai berikut. 1. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. 2. Pengukuran tekanan darah. 104 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 104 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 3. Pengukuran Lingkar Lengan Atas LiLA. 4. Pengukuran tinggi puncak rahim fundus uteri. 5. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status imunisasi. 6. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan. 7. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin DJJ. 8. Pelaksanaan temu wicara pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk keluarga berencana. 9. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah Hb, pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah bila belum pernah dilakukan sebelumnya. 10. Tatalaksana kasus. Selain elemen tindakan yang harus dipenuhi, pelayanan kesehatan ibu hamil juga harus memenuhi frekuensi minimal di tiap trimester, yaitu satu kali pada trimester pertama usia kehamilan 0-12 minggu, satu kali pada trimester kedua usia kehamilan 12-24 minggu, dan dua kali pada trimester ketiga usia kehamilan 24 minggu sampai persalinan. Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan penanganan dini komplikasi kehamilan. Penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan dengan melihat cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali sesuai jadwal yang dianjurkan di tiap trimester dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Capaian K4 dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016 disajikan pada gambar berikut ini. 105 Bab V KESEHATAN KELUARGA GAMBAR 5.2 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K4 DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2016 Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016 Gambar di atas menunjukkan terjadi penurunan cakupan K4, yaitu dari 86,85 pada tahun 2013 menjadi 85,35. Penurunan tersebut disebabkan karena beberapa faktor sebagai berikut. 1. Pemeriksaan antenatal sudah berdasarkan kualitas pelayanan 10T. 2. Mobilitas di daerah perkotaan yang tinggi. 3. Penetapan sasaran ibu hamil yang terlalu tinggi di beberapa kabkota. 4. Ada budaya masyarakat pada saat menjelang persalinan pulang ke kampung halaman. 5. Pencatatan dan pelaporan masih belum optimal. Meskipun terjadi penurunan pada tahun 2016, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2016 telah memenuhi target Rencana Strategis Renstra Kementerian Kesehatan sebesar 74. Namun demikian, terdapat 9 provinsi yang belum mencapai target tersebut yaitu Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Jambi, Maluku, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan DI Yogyakarta. Gambaran capaian kunjungan ibu hamil K4 pada tahun 2016 di 34 provinsi disajikan pada gambar berikut ini. 79,63 80,26 86,04 84,54 85,56 88,27 90,18 86,85 86,70 87,48 85,35 20 40 60 80 100 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 106 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 106 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 GAMBAR 5.3 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K4 MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2017 Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil tidak hanya dari sisi akses. Kualitas pelayanan yang diberikan juga harus ditingkatkan, di antaranya pemenuhan semua komponen pelayanan kesehatan ibu hamil harus diberikan saat kunjungan. Dalam hal ketersediaan sarana kesehatan, hingga bulan Desember 2016, terdapat 9.767 puskesmas. Keberadaan puskesmas secara ideal harus didukung dengan aksesibilitas yang baik. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan aspek geografis dan kemudahan sarana dan prasarana transportasi. Dalam mendukung penjangkauan terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, puskesmas juga sudah menerapkan konsep satelit dengan menyediakan puskesmas pembantu. Data dan informasi lebih rinci menurut provinsi mengenai pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan K4 terdapat pada Lampiran 5.1. 21,00 38,07 51,46 55,18 58,06 59,67 60,57 67,33 73,13 74,62 75,40 75,42 76,16 77,64 78,34 78,94 79,14 79,81 82,07 83,46 83,86 84,52 84,78 85,70 85,98 87,87 88,68 89,51 91,37 94,13 95,39 97,01 97,78 85,35 20 40 60 80 100 Maluku Utara Papua Nusa Tenggara Timur Papua Barat Jambi Maluku Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara DI Yogyakarta Kalimantan Selatan Gorontalo Sulawesi Tengah Riau Kepulauan Riau Aceh Sumatera Barat Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Kalimantan Utara Sulawesi Utara Kalimantan Barat Banten Sumatera Utara Bengkulu Kalimantan Timur Kep. Bangka Belitung Bali Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Sumatera Selatan Nusa Tenggara Barat Indonesia Target Renstra 2016 : 74 107 Bab V KESEHATAN KELUARGA

2. Pelayanan Imunisasi Tetanus Toksoid bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil

Salah satu penyebab kematian ibu dan kematian bayi yaitu infeksi tetanus yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani sebagai akibat dari proses persalinan yang tidak amansteril atau berasal dari luka yang diperoleh ibu hamil sebelum melahirkan. Clostridium Tetani masuk melalui luka terbuka dan menghasilkan racun yang menyerang sistem syaraf pusat. Sebagai upaya mengendalikan infeksi tetanus yang merupakan salah satu faktor risiko kematian ibu dan kematian bayi, maka dilaksanakan program imunisasi Tetanus Toksoid TT bagi Wanita Usia Subur WUS dan ibu hamil. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi mengamanatkan bahwa wanita usia subur dan ibu hamil merupakan salah satu kelompok populasi yang menjadi sasaran imunisasi lanjutan. Imunisasi lanjutan adalah kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak Batita, anak usia sekolah, dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Wanita usia subur yang menjadi sasaran imunisasi TT adalah wanita berusia antara 15-49 tahun yang terdiri dari WUS hamil ibu hamil dan tidak hamil. Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada waktu melakukan pelayanan antenatal. Imunisasi TT pada WUS diberikan sebanyak 5 dosis dengan interval tertentu, dimulai sebelum dan atau saat hamil yang berguna bagi kekebalan seumur hidup. Interval pemberian imunisasi TT dan lama masa perlindungan yang diberikan sebagai berikut. a. TT2 memiliki interval minimal 4 minggu setelah TT1 dengan masa perlindungan 3 tahun. b. TT3 memiliki interval minimal 6 bulan setelah TT2 dengan masa perlindungan 5 tahun. c. TT4 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT3 dengan masa perlindungan 10 tahun. d. TT5 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT4 dengan masa perlindungan 25 tahun. Screening status imunisasi TT harus dilakukan sebelum pemberian vaksin. Pemberian imunisasi TT tidak perlu dilakukan bila hasil screening menunjukkan wanita usia subur telah mendapatkan imunisasi TT5 yang harus dibuktikan dengan buku KIA, rekam medis, dan atau kohort. Kelompok ibu hamil yang sudah mendapatkan TT2 sampai dengan TT5 dikatakan mendapatkan imunisasi TT2+. Gambar berikut menampilkan cakupan imunisasi TT5 pada wanita usia subur dan cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil. 108 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 108 PROFIL KESEHATAN INDONESIA Tahun 2016 GAMBAR 5.4 CAKUPAN IMUNISASI TT5 PADA WANITA USIA SUBUR DI INDONESIA TAHUN 2016 Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2016 Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Timur, Kepulauan Bangka Belitung, dan Bali, memiliki capaian imunisasi TT5 pada WUS tertinggi di Indonesia sebesar 23,97, 4,23, dan 3,69. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah yaitu Sulawesi Utara dan Sumatera Utara sebesar 0,25, dan Kalimantan Tengah sebesar 0,44. 0,25 0,25 0,44 0,49 0,49 0,64 0,68 0,73 0,80 0,87 0,97 1,01 1,03 1,03 1,09 1,22 1,26 1,40 1,57 1,58 1,63 1,68 1,81 1,91 1,92 1,95 1,95 1,96 2,20 3,08 3,63 3,69 4,23 23,97 4,79 10 20 30 Sulawesi Utara Sumatera Utara Kalimantan Tengah Gorontalo Kalimantan Utara Papua Sulawesi Selatan Kalimantan Selatan DKI Jakarta Nusa Tenggara Timur Bengkulu Maluku Utara Jawa Barat Sulawesi Tenggara Sumatera Selatan Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Kepulauan Riau Papua Barat Riau Kalimantan Barat Sumatera Barat Banten DI Yogyakarta Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Jambi Lampung Aceh Maluku Jawa Tengah Bali Kep. Bangka Belitung Jawa Timur Indonesia