143
-
Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR masih rendah
-
Kapasitas kepala desa dalam implementasi HTR masih rendah
- Jumlah pendamping yang belum memadai
Hasil penilaian bobot dan rating rata-rata tiap faktor eksternal diperoleh dari beberapa stakeholders sebagaimana terlihat pada Lampiran 10 dan 12. Hasil
evaluasi dan skor nilai masing-masing faktor eksternal atau external factor evaluation EFE terlihat pada Tabel 54. Peluang yang memiliki nilai pengaruh
tertinggi adalah ‘terjadinya kelangkaan kayu’ 0.235, sedangkan peluang dengan nilai pengaruh terkecil adalah ‘persepsi bahwa kebijakan HTR akan
menguntungkan pemda’ 0.132. Tabel 54 Matriks EFE dalam Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun
No. Faktor Eksternal
Bobot Rating
Total Skor A
Peluang
1
Dukungan pemda dan LSM 0.07
3.4 0.235
2
Peluang pemasaran ke PT Samhutani 0.06
2.8 0.159
3
Terjadi kelangkaan kayu 0.07
3.6 0.249
4
Persepsi pemda bahwa HTR akan menguntungkan Pemda
0.05 2.6
0.132
Total 0.25
3.052 B
Ancaman
1
Adanya program KTM 0.07
1.80 0.133
2 Belum adanya jaminan berusaha lembaga
permodalan dan kemitraan 0.12
2.40 0.281
3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan
0.12 3.00
0.347
4 Rendahnya kesiapan dan komitmen pemda
dalam mendukung HTR 0.10
2.40 0.252
5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam
implementasi HTR masih rendah 0.10
2.60 0.248
6 Rendahnya kapasitas kepala desa dalam
implementasi HTR 0.11
2.80 0.315
7 Jumlah pendamping yang belum memadai
0.13 3.20
0.429
Total 0.75
2.005 Kecenderungan terhadap faktor Eksternal
1.00 1.048
Kelangkaan kayu merupakan kondisi yang memprihatinkan namun menguntungkan bagi implementasi kebijakan HTR. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pelaku usaha pertukangan di desa Lamban Sigatal diketahui bahwa saat ini sudah sangat sulit untuk mendapatkan kayu dengan jenis dan kualitas yang baik.
Saat ini umumnya masyarakat desa telah menggunakan kayu jenis campuran yang
144 berkualitas rendah sebagai bahan baku untuk pertukangan. Hal ini terpaksa
dilakukan karena ketersediaan kayu dengan jenis dan kualitas yang baik sangat terbatas. Umumnya hanya beberapa responden yang memiliki kayu dengan jenis
yang bagus di lahan mereka. Persepsi pemda mengenai keuntungan kebijakan HTR terhadap instansi
mereka memiliki pengaruh yang kecil karena saat ini isu mengenai HTR sudah tidak catchy seperti dulu saat HTR baru digulirkan. Perlu upaya ekstra untuk
menghidupkan kembali semangat pemerintah daerah dalam mendukung implementasi HTR.
Nilai pengaruh terbesar pada peubah ancaman adalah ‘jumlah pendamping yang belum memadai’ 0.429 sedangkan peubah yang mempunyai pengaruh
terkecil adalah ‘adanya program KTM’ 0.133. Pendamping implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun berjumlah tiga orang dan ketiganya merupakan staff
dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Guna meningkatkan kinerja implementasi kebijakan HTR, jumlah pendamping ini
hendaknya ditambah dan bukan berasal dari kalangan PNS Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, mengingat jarak lokasi yang cukup jauh dan
aksesibilitas jalan yang buruk. Meskipun dianggap mempunyai pengaruh yang kecil, namun keberadaan
KTM di lokasi penelitian cukup menjadi ancaman. Program KTM yang diinisiasi oleh Kementerian Transmigrasi ini mempunyai misi membentuk sebuah kawasan
terpadu di Kecamatan Pauh yang dapat menjadi sentral perdagangan dan industri. Dalam programnya, Kementerian Transmigrasi dan Pemda Kecamatan Pauh
bermaksud untuk membeli lahan yang akan dikembangkan sebagai KTM dengan harga yang layak.
Mengingat lemahnya sistem administrasi agraria di daerah pedesaan Sumatera termasuk Kabupaten Sarolangun menyebabkan ketiadaan sertifikat
tanah bagi lahan-lahan penduduk. Bukti kepemilikan umumnya berupa surat keterangan dari kepala desa dan pengakuan secara de facto dari masyarakat.
Kawasan pencadangan HTR yang merupakan hutan produksi yang telah diokupasi oleh masyarakat, secara de facto telah diakui kepemilikannya oleh masyarakat.