Peningkatan Produktifitas Hutan Versus Pemberdayaan Masyarakat

119 Oleh karena itu, tujuan HTR sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat perlu mendapatkan perhatian dari Kementerian Kehutanan. Sunderlin et al. 2005 mencatat bahwa kemiskinan pedesaan yang sangat parah dan sisa hutan alam di negara-negara berkembang cenderung menempati ruang yang tumpang tindih. Lebih lanjut Sunderlin et al. 2005 mengemukakan bahwa hutan dapat membantu menghindari atau mengurangi kemiskinan dengan menyediakan sumber-sumber pendapatan kecil dan merupakan jaring pengaman dalam masa-masa yang sulit. Hutan dapat membantu menghapuskan kemiskinan dengan memfungsikannya sebagai sumber tabungan, investasi, aset pembangunan dan peningkatan penghasilan dan kesejahteraan secara permanen. Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237 556 363 orang, dimana 48.8 juta jiwa 12 tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan Brown, 2004. Lebih lanjut Brown 2004 mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk yang hidup di dalam kawasan hutan tersebut, 10.2 juta jiwa 25 diantaranya tergolong dalam kategori miskin Brown, 2004. Bila diasumsikan dalam satu keluarga terdiri atas 4 jiwa, maka terdapat ±2.55 juta KK penduduk miskin yang harus diberdayakan melalui berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang Kehutanan, termasuk kebijakan HTR. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional RKTN 2011-2030 hanya mengalokasikan 6 456 911 ha sebagai kawasan hutan yang ditujukan sebagai kawasan pengusahaan hutan skala kecil masyarakat, dimana 1 882 404 ha di antaranya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, 2 274 013 ha kawasan hutan produksi, 2 150 085 ha kawasan hutan produksi terbatas dan 150 408 hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan ini ditujukan untuk memberikan akses pada masyarakat dalam mengelola hutan melalui kebijakan hutan kemasyarakatan, hutan adat dan hutan tanaman rakyat. Bila diasumsikan kemampuan masyarakat mengelola hutan adalah 15 haKK sesuai Permenhut No. P.55Menhut-II2011 maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan di kawasan yang telah ditunjuk hanya berjumlah 430 460 KK. Hal ini berarti hanya sekitar 17 dari total penduduk miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan yang dapat mengelola hutan 120 secara legal diakui secara sah oleh Pemerintah dan 83 lainnya harus mencari pekerjaan di luar kawasan hutan. Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu alat pengentasan kemiskinan pro poor, maka dalam konsepnya kebijakan HTR harus mampu mengatasi permasalahan kemiskinan ini. Pendekatan yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan dalam kebijakan HTR adalah membuka akses masyarakat dalam mengelola hutan produksi yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Untuk itu ditetapkan target sebesar 600 000 hektar pertahun, dengan harapan minimal 40 000 KK akan terlibat dalam kegiatan ini setiap tahunnya dengan asumsi 1 KK mengelola maksimal 15 ha. Secara teoritis, hal ini berarti dalam masa 4 tahun minimal 160 000 KK atau 6.3 dari total jumlah orang miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan dapat ditingkatkan taraf hidupnya melalui kebijakan hutan tanaman rakyat. Data kesejahteraan dari BKKBN Kabupaten Sarolangun 2007 juga menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat disekitar hutan belum sejahtera. Tingkat keparahan kemiskinan poverty severity di wilayah ini lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi umum Kabupaten Sarolangun. Data BPS 2007 menunjukkan bahwa Kabupaten Sarolangun memiliki masyarakat pra sejahtera sebanyak 8 102 kepala keluarga dari 50 780 keluarga atau sebanyak 15.95. Masyarakat di sekitar lokasi pencadangan HTR kawasan hutan Bukit Bahar – Tajau Pecah digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan rendah kelas Pra Sejahtera 28 dan kelas Sejahtera I 29. Dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat petani di kawasan hutan tersebut, Pemda Kabupaten Sarolangun memohon izin pencadangan kawasan di Bukit Bahar Tajau Pecah wilayah Sarolangun untuk dibangun menjadi kawasan Hutan Tanaman Rakyat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 386KPTS-II2008 tanggal 7 November 2008 telah dicadangkan seluas 18 840 hektar kawasan hutan untuk Hutan Tanaman Rakyat. Bila diasumsikan 15 haKK maka diprediksi kebijakan HTR akan mampu melibatkan 1256 KK atau 15.6 dari masyarakat pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun. Namun realisasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - HTR IUPHHK-HTR yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sarolangun hingga 121 Maret 2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh. Data tersebut menunjukkan bahwa realisasi IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya 0.82 dari SK pencadangan, atau hanya 1.43 dari target KK yang dapat diberdayakan melalui kebijakan ini. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata masyarakat di lokasi penelitian menguasai lahan di areal yang telah dicadangkan di areal HTR seluas 5 hektar Tabel 41, sementara kemampuan mereka untuk mengelola lahan secara intensif adalah 2-3 hektarKK. Fenomena ini mengajak kita untuk meninjau ulang dasar peraturan yang menyebutkan bahwa luas areal maksimum yang dapat dikelola oleh masyarakat adalah 15 hektar. Bila luas lahan maksimum yang dapat dikelola oleh masyarakat disesuaikan dengan luas penguasaan lahan rata-rata petani dalam kawasan hutan di lokasi penelitian 5 hektar maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun bertambah menjadi 3 768 KK. Sehingga diprediksi bahwa kebijakan HTR dapat melibatkan 47 masyarakat dari keluarga pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun. Secara teoritis, hal ini berarti kebijakan HTR akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Sarolangun sebanyak 50 jumlah keluarga pra sejahtera berkurang dari 15,95 menjadi 7,42, dengan asumsi tingkat keberhasilan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 100. Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar masyarakat menguasai lahan di areal pencadangan HTR dengan luasan yang beragam dan sporadis. Oleh karena itu, 90 areal pencadangan HTR telah dikuasai oleh masyarakat secara de facto. Pembatasan luas dalam perizinan HTR di Kabupaten Sarolangun secara tidak langsung juga dapat mengendalikan distribusi pendapatan, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat dapat berlangsung secara merata.

6.2. Tingkat Partisipasi

Ketimpangan gap yang terjadi pada implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun dapat diukur melalui tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan suatu proses dinamis dalam pengelolaan hutan dimana para pelaku saling mempengaruhi dan berbagi kontrol terhadap ide-ide pengembangan, pengambilan keputusan dan penggunaan sumberdaya yang mempengaruhinya Bank Dunia, 1996 dalam Sinha Suar, 2005. Dalam pengertian yang sempit, 122 partisipasi di dalam suatu kelompok sama dengan jumlah anggota yang ikut serta, namun dalam pengertian yang lebih luas dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki suara dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Penelitian Sinha Suar 2005 membedakan partisipasi masyarakat menjadi partisipasi langsung dan tidak langsung. Yang termasuk partisipasi langsung antara lain keterlibatan individu dalam kegiatan pertemuan, berperan aktif dalam pertemuan, berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan, pengawasan dan evaluasi kegiatan. Sedangkan yang termasuk partisipasi tidak langsung antara lain mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, memotivasi anggota keluarga dan orang lain, mendukung secara moral terhadap transparansi pelaksanaan kegiatan. Tabel 49 menunjukkan distribusi masyarakat yang berminat untuk ikut serta dalam program HTR. Dari tabel tersebut diketahui bahwa 54.32 responden memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan HTR. Ikut serta yang dimaksud dalam konteks ini adalah mereka yang sudah memiliki izin pengelolaan HTR atau sedang dalam proses pengurusan izin HTR. Tabel 49 Distribusi Responden yang Berminat Ikut Serta dalam Program HTR Ikut Serta Desa TOTAL Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung n n n n Ya 3 11.11 23 92.00 19 65.52 44 54.32 Tidak 24 88.89 2 8.00 10 34.48 37 45.68 Sumber : Pudjiastuti 2010 Tabel di atas menunjukkan bahwa responden yang memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan HTR di Desa Seko Besar hanya sebanyak 11.11. Rendahnya keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR ini disebabkan karena belum banyak masyarakat yang mengetahui dan mengenal HTR. Kegiatan HTR yang dilakukan di Desa Seko Besar baru pada tahap sosialisasi dan pengenalan. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya keinginan masyarakat Desa Seko Besar untuk berpartisipasi adalah masalah land tenure konflik lahan. Status lahan yang dicadangkan sebagai areal HTR di Desa Seko Besar tumpang tindih dengan lahan usaha LU2, meskipun setelah dilakukan verifikasi lapangan lahan tersebut masuk ke dalam kawasan hutan produksi. Hal ini mendapat tantangan terutama dari masyarakat yang belum mendapatkan jatah LU2 karena jika lahan 123 tersebut masuk ke dalam kawasan hutan, maka mereka tidak akan mendapatkan sertifikat hak milik. Kendala lain datang dari kepala desa yang tidak menyetujui kebijakan HTR sehingga proses administrasi pengajuan izin HTR bagi yang ingin ikut serta terhambat. Untuk itu perlu adanya koordinasi dengan instansi lain terkait terutama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sosialisasi HTR di Desa Lamban Sigatal, telah dilaksanakan dan proses pengajuan izin HTR sedang berjalan, hasilnya sebanyak 92 responden yang terpilih berminat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR. Identifikasi kepemilikan lahan di areal pencadangan HTR di Desa Lamban Sigatal sedang dilakukan. Upaya pengajuan izin HTR dilakukan dengan pembentukan kelompok-kelompok tani. Sampai dengan tahun 2010 telah terbentuk 14 kelompok tani HTR. Pemetaan areal telah dilakukan pada 10 kelompok tani dengan anggota 57 kepala keluarga dan luas 529 ha. Jumlah ini cukup besar karena masih menunggu kepastian hasil pemetaan dan verifikasi lahan. Responden yang ikut serta dalam kegiatan HTR di Desa Taman Bandung sebanyak 65.52. Responden tersebut adalah mereka yang telah memiliki izin HTR perorangan atau yang sedang dalam proses pengajuan izin. Jumlah responden yang ikut serta di desa ini lebih kecil dibandingkan dengan Lamban Sigatal karena proses pemetaan dan verifikasi lahan telah selesai sehingga penataan kawasan telah jelas. Responden yang lahannya berada di luar kawasan HTR tidak dapat ikut serta dalam kegiatan HTR walaupun mereka tertarik untuk ikut serta. Dari responden yang mempunyai lahan di areal HTR juga mulai turun minatnya untuk ikut serta karena mereka yang sudah keluar izin HTRnya sampai saat ini juga masih belum ada kegiatan atau masih belum bisa menanam karena kekurangan modal. Mereka masih ingin melihat terlebih dahulu apakah ada keuntungan yang mereka peroleh dari kegiatan tersebut. Winarto 2003 mengemukakan bahwa masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila: 1 partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah masyarakat yang bersangkutan; 2 partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan; 3 manfaat yang diperoleh tersebut dapat memenuhi