Derajat Kesukarelaan dan Tingkatan Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi HTR

132 masyarakat diberikan informasi mengenai kebijakan HTR meliputi definisi HTR, manfaat HTR bagi masyarakat, tata cara permohonan HTR, pola HTR, jenis tanaman yang boleh ditanam dan lain-lain. Masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR melalui sosialisasi. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya merupakan informasi satu arah dari aparat pemerintah kepada masyarakat. Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik feedback. Berbeda dengan proses partisipasi di Desa Taman Bandung yang telah memasuki level konsultasi consultation. Komunikasi telah berlangsung dua arah antara pemerintah daerah dengan masyarakat, di mana masyarakat meskipun hanya beberapa orang telah mulai dapat diajak untuk berdiskusi mengenai kendala-kendala yang mereka hadapi dan apa yang mereka butuhkan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Meskipun memang tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide mereka akan dijadikan bahan pertimbangan dalam kebijakan HTR. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kendala yang dihadapi masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR adalah 1 kesulitan dalam menyusun RKT dan RKU; 2 kebutuhan bibit. Hal ini sangat kontras dengan asumsi yang digunakan oleh pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan HTR. Asumsi yang digunakan Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan HTR adalah masyarakat dapat menjadi mitra pemerintah dalam mengelola hutan. Untuk itu masyarakat dituntut menjadi enterpreneur yang dapat berpartisipasi aktif dalam mengimplementasikan HTR. Bila ditelaah lebih lanjut, implementasi kebijakan HTR secara ideal menuntut masyarakat untuk sampai pada level pendelegasian kekuasaan delegated power. Secara teori, kebijakan HTR mendelegasikan kegiatan pengelolaan hutan produksi yang ada dalam areal pencadangan HTR kepada masyarakat. Pada level ini masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang akan mereka laksanakan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR, meliputi: jenis tanaman yang akan mereka tanam, pola penanamannya, kapan mereka akan menanam, kapan mereka akan memanen, dengan siapa mereka akan bekerjasama dan lain-lain. Meskipun 133 demikian, terdapat beberapa peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat agar hak pengelolaan tersebut tetap berada pada masyarakat. Melihat kenyataan di lapangan, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk sampai pada level pendelegasian kekuasaan delegated power. Struktur hubungan yang telah terbangun oleh pemerintah daerah dan masyarakat selaku pelaku kebijakan belum mampu menempatkan masyarakat sebagai aktor tunggal pengelolaan hutan. Di satu sisi, pemerintah daerah masih belum mampu mengubah paradigma pengelolaan hutan dari berorientasi pada negara state oriented menjadi berorientasi pada masyarakat people oriented dan di sisi lain, mental masyarakat masih belum siap untuk menjadi seorang enterpreneur. Beberapa langkah yang diambil oleh pemda untuk mengatasi kendala yang ada di lokasi penelitian khususnya Desa Taman Bandung adalah pembuatan demplot dan pemberian bantuan bibit. Hal ini sesungguhnya tidak dapat memecahkan masalah karena belum dapat membangun jiwa entrepreneurship dan keberdayaan dalam masyarakat, namun hal tersebut justru membuat tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi cukup besar.

6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun

Secara sederhana kondisi yang terjadi di Kabupaten Sarolangun dapat dilukiskan sebagai berikut: pemerintah membutuhkan cara agar kawasan hutan produksi yang telah kritis berupa semak dan belukar dapat berhutan kembali. Untuk itu, pemerintah berharap masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan bersedia untuk membantu pemerintah dalam membangun hutan. Namun, pemerintah tidak bersedia bila jumlah kawasan hutan berkurang, sehingga bentuk yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat yang bersedia berpartisipasi dalam membangun hutan adalah izin pengelolaan bukan hak milik. Di lain pihak, pasca berakhirnya HPH PT. PITCO kawasan hutan produksi menjadi open access. Kebiasaan masyarakat berladang berpindah menyebabkan masyarakat membutuhkan lahan yang luas untuk dijadikan lokasi berkebun hingga mengokupasi kawasan hutan yang sebelumnya dikuasai oleh PT. PITCO. Peraturan adat yang selama ini menjadi panutan hidup masyarakat, tidak menyalahkan tindakan mereka. Penguasaan lahan hutan produksi menjadi legal secara de facto oleh masyarakat. Sebagai tanda penguasaan lahan, masyarakat 134 menanam tanaman karet alam dan tanaman berkayu lain sengon, balam, jabon, dan lain-lain yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya usaha untuk merawatnya. Adanya kebijakan HTR telah memberikan peluang pada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan produksi yang sebelumnya telah mereka kuasai secara legal. Kebijakan ini sesungguhnya disambut baik oleh masyarakat. Namun progress implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun cukup rendah. Hal ini disebabkan antara lain oleh: 1 adanya batasan yang diberikan oleh kebijakan ini terutama dalam hal penentuan jenis tanaman; dan 2 sulitnya masyarakat untuk mendapatkan bantuan modal. Hal ini menyebabkan proses implementasi kebijakan HTR berjalan lambat. Diketahui bahwa sejak kebijakan HTR diinisiasi tahun 2007 hingga Mei 2011 baru 18 orang yang tergabung dalam empat kelompok tani hutan yang mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK HTR di Kabupaten Sarolangun. Tabel 53 menunjukkan daftar pemegang IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun. Tabel 53 Pemegang IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun hingga Mei 2011 No Nomor Keputusan Tanggal Luas Ha Nama Pemegang Kelompok Tani Hutan KTH 1 01 thn 2009 30 Maret 2009 15,00 A.Wakid Maju Jaya T. Bandung 2 02 thn 2009 30 Maret 2009 13,00 Nyoto Usaha Tani T. Bandung 3 03 thn 2009 30 Maret 2009 10,00 A.Kosim Bukit Lintang T. Bandung 4 04 thn 2009 30 Maret 2009 6,00 Karnoto Sumber Rejeki T. Bandung 5 105 thn 2010 15 Maret 2010 4,28 Sapari Maju Jaya T. Bandung 6 106 thn 2010 15 Maret 2010 5,11 Nurainun Maju Jaya T. Bandung 7 107 thn 2010 15 Maret 2010 8,00 Asri Maju Jaya T. Bandung 8 108 thn 2010 15 Maret 2010 6,00 Zaidan Maju Jaya T. Bandung 9 109 thn 2010 15 Maret 2010 6,93 Sapri Maju Jaya T. Bandung 10 110 thn 2010 15 Maret 2010 7,40 Kardi Maju Jaya T. Bandung 11 111 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Aming S Bukit Lintang T. Bandung 12 112 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Rahman M Bukit Lintang T. Bandung 13 113 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Kosasi AR Bukit Lintang T. Bandung 14 114 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Nuraina Bukit Lintang T. Bandung 15 115 thn 2010 15 Maret 2010 7,23 Suyatno Sumber Rejeki T. Bandung 16 116 thn 2010 15 Maret 2010 7,62 Sar’i Sumber Rejeki T. Bandung 17 117 thn 2010 15 Maret 2010 10,50 Suhari Usaha Tani T. Bandung 18 118 thn 2010 15 Maret 2010 7,59 Sunardi Usaha Tani T. Bandung Sumber : BP2HP Wilayah IV Jambi 2011 Seluruh pemegang IUPHHK HTR di Kabupaten Sarolangun merupakan warga Desa Taman Bandung, sedangkan dua desa lainnya yang menjadi lokasi penelitian masih dalam proses sosialisasi dan pembuatan ijin. 135 Berdasarkan evaluasi isi kebijakan, proses implementasi kebijakan HTR berjalan lambat karena masih terdapat terdapat perbedaan persepsi terhadap tujuan kebijakan HTR, dimana Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan menekankan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kualitas hutan produksi, sedangkan masyarakat dan pemerintah daerah selaku pelaku kebijakan mengharapkan kebijakan HTR lebih bersifat pemberdayaan. Dalam konsep pemberdayaan, proses pemberdayaan menekankan pada proses pemberian kemampuan pada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya Mardikanto, 2010. Namun demikian dalam implementasinya, seringkali terdapat bias dalam memahami makna pemberdayaan, antara lain: 1 anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman atau aspirasi pembangunan dari lapisan bawah; 2 anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana memperbaiki nasib mereka; 3 anggapan bahwa pembangunan masyarakat di lapisan bawah lebih membutuhkan bantuan material dibandingkan keterampilan teknis dan manajerial Mardikanto. 2010. Meskipun pemda beranggapan HTR adalah kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, ketiga bias di atas terjadi dalam implementasi kebijakan HTR. Akibatnya langkah yang diambil pemerintah daerah dalam mengimplementasikan HTR masih bersifat top down, dan berupa bantuan material seperti penyediaan bibit, pembuatan demplot dan lain-lain. Di samping perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan dalam penyusunan kebijakan HTR juga kurang sesuai dengan kondisi di lapangan. Asumsi bahwa masyarakat telah siap untuk menjadi enterpreneur sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kementerian Kehutanan, masih membutuhkan langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikannya. Bila dilihat dari asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan, tidak menutup kemungkinan kebijakan HTR menjadi kebijakan yang dapat memberdayakan masyarakat. Namun masih diperlukan pengkondisian terlebih dahulu. Sehingga langkah-langkah dalam implementasi kebijakan HTR harus