147 Gambar 19 memperlihatkan 12 alternatif strategi yang dapat dikembangkan
dalam rangka implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Alternatif strategi tersebut adalah:
A. Strategi S-O Strength-Opportunities atau Kekuatan-Peluang
Strategi S-O merupakan strategi agresif yang didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan internal yang dimiliki oleh masyarakat untuk memanfaatkan
peluang eksternal sehingga diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Alternatif strategi S-O adalah:
a. Mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai
salah satu bentuk HTR
b. Mengoptimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR
melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya
kebijakan HTR dan pendampingan
c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran sebagai
rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu B. Strategi W-O
Weakness-Opportunities atau Kelemahan-Peluang
Strategi W-O merupakan strategi konservatif yang didasarkan pada pemanfaatan seluruh peluang eksternal untuk untuk mengatasi kelemahan internal
yang ada pada masyarakat. Alternatif strategi W-O yaitu: a.
Mengarahkan dukungan pemerintah ke arah capacity building masyarakat
baik berupa penyuluhan, pelatihan dan lain-lain
b. Mengupayakan regulasi agar tanaman karet dapat menjadi tanaman pokok
dalam kawasan HTR
c. Memberikan kesempatan bagi warga dari luar desa untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan HTR
C. Strategi S-T Strengths-Threats atau Kelemahan-Peluang
Strategi E-T merupakan strategi kompetitif yang didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan internal untuk untuk menghindari atau mengurangi
dampak ancaman eksternal. Alternatif strategi S-T yaitu: a.
Menanamkan kesadaran pada masyarakat bahwa hutan produksi bukan hak milik sehingga tidak dapat diperjualbelikan
148 b.
Mengarahkan dukungan pemda pada pengadaan sarana dan prasarana untuk implementasi kebijakan HTR seperti pengadaan bibit tanaman berkayu dan
peminjaman modal pada masyarakat c.
Mengoptimalkan peranan tokoh masyarakat dan pemuka agama d.
Meningkatkan koordinasi antar sektor dalam implementasi HTR e.
Menambah jumlah pendamping HTR
D. Strategi W-T Weakness-Threat atau Kelemahan-Ancaman
Strategi W-T merupakan strategi defensif yang didasarkan pada peminimalan kelemahan internal untuk untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman
eksternal. Alternatif strategi W-T yaitu: a.
Membentuk lembaga keuangan alternatif tingkat desa b.
Menambah jumlah pendamping HTR Strategi implementasi kebijakan HTR terpilih yang memungkinkan untuk
diimplementasikan bergantung pada hasil pertemuan sumbu x faktor internal dan sumbu y faktor eksternal. Dari hasil pertemuan kedua sumbu tersebut diketahui
bahwa kecenderungan posisi masyarakat pada implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun berada pada kuadran I yaitu pada titik 0.550;1.048.
Berdasarkan kedudukan titik kecenderungan tersebut, maka strategi yang akan diterapkan pada implementasi kebijakan HTR adalah strategi yang bersifat
agresif. Gambar 20 memperlihatkan kedudukan posisi strategis implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.
Gambar 20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun
Posisi pada Kuadran 1 satu merupakan situasi yang menguntungkan. Pada Strategi Agresif ini, implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun harus
Y
X 0.550;1.048
149 menghindari faktor-faktor yang bersifat ancaman, sedangkan peluang yang ada
harus dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan segenap kekuatan yang dimiliki masyarakat meskipun secara internal mereka juga mempunyai
beberapa kelemahan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Dengan demikian, strategi implementasi kebijakan HTR yang dipilih adalah
strategi agresif, yaitu a.
Mengakomodir pola pemanfaatan lahan saat ini sebagai salah satu bentuk
HTR
b. Mengoptimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR
melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya
kebijakan HTR dan pendampingan
c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran sebagai
rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu 7.3 Tahap Pengambilan Keputusan
Tahap Pengambilan Keputusan dilakukan dengan menggunakan matriks Quantitative Strategic Planning Matrix QSPM. QSPM membutuhkan penilaian
yang baik dan obyektif menggunakan skor ketertarikan atau attractiveness score AS. Pemberian skor ketertarikan AS dilakukan oleh stakeholders yang
berkompeten sehingga obyektifitas dapat dipertahankan Lampiran 13,14 dan 15. Hasil analisis penentuan prioritas strategi implementasi kebijakan HTR
dapat dilihat pada Tabel 55. Hasil matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi prioritas yang terpilih sebagai alternatif pertama adalah ‘mengakomodir pola
pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai salah satu bentuk HTR’;’ dengan nilai total attractiveness score TAS sebesar 6.583. Alternatif strategi
kedua ‘mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif
mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat’ nilai TAS 5.729 dan alternatif ketiga adalah ‘menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT
Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu’ nilai TAS 5.697.
150 Tabel 55 Prioritas Strategi Implementasi Kebijakan HTR Kabupaten Sarolangun
Faktor Utama Bobot
Strategi I Strategi II
Strategi III AS
TAS AS
TAS AS
TAS Faktor Strategis Internal
Kekuatan
Kepemilikan lahan di areal HTR 0.08
3.8 0.30
3.0 0.23
3.6 0.29
HTR dapat melegalkan hutan produksi 0.08
3.8 0.32
3.8 0.32
3.2 0.27
Tk. pendidikan formal yang memadai 0.05
2.8 0.15
2.8 0.15
2.6 0.14
Tk. pengetahuan tentang HTR cukup 0.07
3.6 0.27
3.4 0.25
3.4 0.25
Tk. kepercayaan terhadap sesama tinggi 0.04
1.6 0.07
3.6 0.16
2.4 0.10
Tk. kepercayaan terhadap pemda cukup 0.05
3.8 0.20
3.8 0.20
3.4 0.18
Norma sosial masih dipatuhi masyarakat 0.04
2.8 0.12
2.2 0.09
2.4 0.10
Tk. kepedulian thd sesama cukup tinggi 0.05
2.2 0.1
2.2 0.10
2.6 0.12
Keinginan ikut serta HTR tinggi 0.08
3.8 0.30
3.2 0.25
3.6 0.29
Kelemahan
Mayoritas masyarakat menanam karet 0.05
2.4 0.10
3.4 0.15
2.4 0.10
Tingkat pendidikan informal yang rendah
0.04 3.8
0.26 3.6
0.25 3.8
0.26 Tingkat pendapatan yang rendah
0.07 2.2
0.08 2.0
0.07 2.8
0.10 Kepercayaan pada orang asing rendah
0.04 2.6
0.12 2.2
0.10 2.6
0.12 Sukar percaya pada orang lain bila
berhubungan dengan uang 0.05
2.6 0.14
2.2 0.12
3.0 0.17
Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR
0.06 3.6
0.25 3.0
0.21 3.2
0.22 Transportasi dan aksesibilitas buruk
0.07 3.4
0.22 3.2
0.20 2.8
0.18 Budaya masyarakat yang kurang
mendukung 0.07
3.6 0.16
2.2 0.10
1.6 0.07
Faktor Strategis Eksnternal Peluang
Dukungan pemda dan LSM 0.07
3.8 0.26
3.4 0.23
3.2 0.2
Peluang pemasaran ke PT Samhutani 0.06
3.4 0.19
2.2 0.12
3.8 0.2
Terjadi kelangkaan kayu 0.07
3.0 0.20
3.2 0.22
4.0 0.27
Persepsi pemda bahwa HTR akan menguntungkan Pemda
0.05 3.6
0.18 3.6
0.18 3.6
0.18
Ancaman
Adanya program KTM 0.07
3.0 0.22
1.6 0.11
1.6 0.11
Belum adanya jaminan berusaha lembaga permodalan dan kemitraan
0.12 3.2
0.37 3.2
0.37 2.0
0.23 Dukungan Pemda masih keproyekan
0.12 3.6
0.41 2.6
0.30 2.6
0.30 Kesiapan komitmen pemda rendah
0.10 3.6
0.37 2.6
0.27 2.0
0.21 Tingkat koordinasi masih rendah
0.10 3.0
0.28 2.4
0.22 2.2
0.21 kapasitas kepala desa rendah
0.11 3.2
0.36 3.2
0.36 2.8
0.31 Jumlah pendamping belum memadai
0.13 3.6
0.48 2.2
0.29 3.0
0.40
TOTAL SKOR KETERTARIKAN 6.58
5.72 5.69
PRIORITAS STRATEGI TERPILIH I
II III
Keterangan AS : 1 Tidak Atraktif; 2 Kurang atraktif; 3 Cukup Atraktif; 4 Sangat Atraktif
151
7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR
Berdasarkan uraian terdahulu diketahui bahwa strategi implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang ditawarkan adalah :
1. Alternatif pertama : mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada
saat ini sebagai salah satu bentuk HTR 2.
Alternatif kedua: mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan,
pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat
3. Alternatif ketiga: menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran
ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu.
7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan kawasan hutan saat ini sebagai salah satu bentuk HTR
Berbeda dengan penelitian Herawati 2010a yang mengungkapkan bahwa minat masyarakat di Kalimantan Selatan cukup tinggi terhadap HTR karena
adanya kebutuhan akan lahan, masyarakat di Kabupaten Sarolangun telah menguasai semua lahan 90 yang dicadangkan sebagai areal HTR. Oleh karena
itu, untuk menarik minat masyarakat terhadap program HTR diperlukan sebuah strategi yang tidak terlalu banyak mengubah perilaku masyarakat dalam
mengelola hutan. Dari uraian sebelumnya telah diketahui bahwa pendapatan utama
masyarakat berasal dari tanaman karet, baik sebagai petani pemilik maupun buruh sadap. Pendapatan masyarakat yang berasal dari hasil tanaman karet mencakup
92 dari total pendapatan masyarakat. Gambar 21 menunjukkan proporsi rata- rata pendapatan masyarakat di lokasi penelitian.
152
Gambar 21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat Hasil yang didapat dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Sudibjo 1999 di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi yang menunjukkan bahwa kontribusi tanaman
karet dalam pendapatan rumah tangga petani adalah sebesar 93,88. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat pada tanaman karet cukup
tinggi,sehingga harus dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan HTR. Strategi pertama yaitu mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan
yang ada saat ini sebagai motivasi salah satu bentuk HTR. Strategi ini merupakan strategi yang cukup strategis, mengingat masyarakat belum memiliki kemampuan
untuk membangun hutan yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Kementerian Kehutanan. Bila ditelaah lebih lanjut, strategi pertama ini akan
menguntungkan kedua belah pihak pemerintah dan masyarakat. Di pihak pemerintah, kebutuhan akan status lahan secara de facto di lapangan dapat teratasi
karena melalui program HTR secara tidak langsung masyarakat mengakui bahwa lahan yang mereka kuasai selama ini adalah milik negara. Di pihak masyarakat,
kebutuhan akan ‘rasa aman’ terhadap penguasaan lahan dan tanaman karet mereka akan teratasi karena pemerintah akan mengakui hak pengelolaan hutan yang
mereka miliki melalui program HTR. Dengan demikian, strategi ini dapat memecahkan masalah land tenure yang ada di Kabupaten Sarolangun.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar masyarakat terutama di Desa Taman Bandung dan Seko Besar telah mengakui mengetahui
bahwa terdapat kawasan hutan produksi di daerah mereka yang dijadikan sebagai kawasan pencadangan HTR. Meskipun lahan yang menjadi areal pencadangan
HTR ini sebagian besar telah dikuasai oleh masyarakat, namun tetap ada
85 7
4 4 Usaha Tani Karet
Buruh Sadap Karet Pegawai Negeri Sipil
Pedagang, wiraswasta