Optimalisasi dukungan pemerintah daerah

155 Karakteristik masyarakat di lokasi penelitian termasuk dalam katagori moral ekonomi subsisten. Scott 1976 mengemukakan bahwa karakteristik moral ekonomi subsisten umumnya adalah 1 mengutamakan selamat dan tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji; 2 tidak menyukaimenolak pasar karena hanya melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri; dan 3 memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga keberlangsungan hidup bersama Scott, 1976. Ketiga ciri tersebut ada pada masyarakat di lokasi penelitian. Budaya masyarakat memanfaatkan tanaman karet terkait dengan budaya peladang berpindah. Penanaman karet dilakukan sebagai penanda bahwa wilayah tersebut merupakan daerah yang telah dikuasainya. Umumnya tanaman karet yang ditanam berupa stek karet alam. Karena tidak ada pemeliharaan maka persentase tumbuh dan produktifitas getah karet sangat rendah. Meskipun demikian, mampu memberikan kontinuitas pendapatan bagi masyarakat. Kontinuitas pendapatan dari karet merupakan jaminan mata pencaharian berkelanjutan, yang disebut Chambers 1986 sebagai sustainability livelihood security. Keberlanjutan mengacu pada pemeliharaan atau produktivitas sumberdaya untuk jangka panjang. Sebuah keluarga yang mempunyai kebun karet mempunyai sumber pendapatan tetap setiap bulannya. Mengalihkan budaya masyarakat dari menanam tanaman karet ke jenis tanaman lainnya sangat sulit. Pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengubah moral ekonomi masyarakat yang semula moral subsisten yang tidak responsif terhadap inovasi, kearah moral ekonomi rasional yang responsif terhadap perubahan Wharton, 1965 dalam Mardikanto 2010.

7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih

Pada tahap awal, kebijakan HTR akan diimplementasikan dalam kondisi seadanya di lapangan tanaman karet sebagai tanaman pokok. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak terlalu banyak dibebani oleh berbagai peraturan dalam HTR, sehingga masyarakat dengan pola hidup yang bergantung pada tanaman karet bersedia untuk berpartisipasi dalam HTR. Bila minat masyarakat untuk berpartisipasi telah cukup tinggi, dibutuhkan dukungan pemerintah daerah untuk memberikan percepatan dalam proses perizinan HTR, 156 memberikan pendampingan dan sosialisasi secara intensif pada masyarakat mengenai pentingnya HTR. Langkah ketiga adalah menumbuhkan minat masyarakat untuk menanam tanaman berkayu. Langkah ini dapat ditempuh melalui pendekatan personal kepada masyarakat oleh pendamping. Kebutuhan masyarakat akan jenis kayu berkualitas dapat dijadikan motivasi bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu. Selain itu, terdapat potensi pasar yang cukup besar apabila masyarakat bersedia untuk menanam tanaman sengon karena PT Samhutani menyatakan bersedia untuk membeli kayu yang ditanam oleh masyarakat. Untuk mengimplementasikan strategi kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya, langkah awal yang dilakukan adalah mengelompokkan areal pencadangan HTR menjadi dua kelompok utama, yaitu: 1 hutan karet, dan 2 semak belukar dan areal terbuka. Kelompok pertama hutan karet merupakan lahan yang didominasi oleh tanaman karet alam yang bercampur dengan vegetasi lainnya sengon, medang, balam, mahang, kempas dan lain-lain. Kelompok ini merupakan areal peladangan tua lebih dari 10 tahun sehingga tanaman karet alam yang ditanam sebagai tanda kepemilikan lahan telah menjadi hutan karet. Kelompok kedua mendominasi lebih dari 50 areal pencadangan HTR Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, 2007. Kelompok ini didominasi oleh semak dan belukar, meskipun masih terdapat beberapa batang pohon yang tumbuh secara sporadis, namun tidak mampu membentuk tutupan hutan. Umumnya kelompok ini merupakan areal peladangan muda, sehingga tanaman karet atau pohon yang lain belum tumbuh besar. Strategi terpilih akan diimplementasikan secara berbeda pada dua kelompok tersebut, baik sistem silvikultur, penentuan jenis tanaman maupun teknis penanamannya.

7.5.1 Sistem silvikultur

Suhendang 2008 menyebutkan bahwa dalam praktek pengelolaan hutan di Indonesia, secara operasional sistem silvikultur diartikan sebagai: a Serangkaian prosedur mencakup cara-cara mempermudakan, memelihara dan memanen tegakan atau hutan untuk menghasilkan suatu produk tertentu; dan b Rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi