Kondisi sosial budaya Lingkungan Kebijakan .1. Dukungan pemangku kepentingan

87 pokok dalam areal HTR. Kebiasaan masyarakat untuk menanam karet juga menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan HTR. Adat Melayu Jambi lain yang potensial mendukung kegiatan HTR adalah adat untuk mengelola lahan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat. Di lokasi penelitian dikenal pepatah “ladang 1 dapat padi, ladang 2 tidak dapat padi , ladang 3 tidak dapat makan”. Artinya berladang itu tidak perlu yang luas-luas, yang penting ladang tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk merawat dan mengelola lahan tersebut atau disesuaikan dengan kemampuan dan banyaknya jumlah anggota keluarga masyarakat. Pengaturan ini diikuti oleh anggota masyarakat dengan adanya musyawarah lembaga adat yang dilakukan yaitu dengan musyawarah yang dinamakan “rembuk bertaun” Ardi, 2011. Filosofi dalam pepatah ini sangat potensial sebagai modal petani dalam mengelola kawasan hutan produksi. Pepatah ini menganjurkan untuk mengelola lahan sesuai dengan kemampuan baik secara fisik maupun finansial. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata kemampuan masyarakat untuk mengelola lahan HTR hanya berkisar antara 2-3 hektar dalam satu tahun, sedangkan luas kepemilikan lahan masyarakat dalam areal HTR rata-rata adalah 5 hektar. Kemampuan masyarakat mengelola lahan hingga menjadi tanaman, menjadi patokan untuk mempredikasi bahwa dalam lima tahun akan terbangun hutan karet yang mampu menopang kehidupan masyarakat. Namun kenyataannya terdapat kebiasaan lain dalam masyarakat Melayu Jambi yang menjadi faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan penelitian, diketahui bahwa ada tiga kebiasaan yang berpotensi menghambat perkembangan HTR di Jambi yaitu: 1 masih memandang hutan sebagai pemberian dari Allah SWT; 2 mengadakan perhelatan perkawinan, pemberian nama anak dan lain-lain secara besar-besaran; dan 4 masyarakat masih berjiwa subsisten. Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian merasa hutan merupakan pemberian Allah SWT yang diwariskan nenek moyang mereka. Mereka merasa tidak perlu untuk mengetahui status kawasan hutan yang secara de jure adalah milik negara. Bagi mereka, pemilik lahan adalah siapa yang paling dulu membuka 88 ladang di kawasan tersebut. Di masyarakat terkenal istilah “pek pek wan, siapo yang mendapek dio menjadi tuan”. Artinya siapapun orang yang menemukan lebih dahulu terhadap sumberdaya maka dialah yang menjadi pemiliknya Ardi, 2011. Masyarakat tidak merasa perlu legalitas lahan dari pemerintah karena secara de facto mereka telah diakui oleh lingkungannya. Hal ini berpotensi menghambat progress implementasi HTR apabila tidak dikelola dengan baik. Kebiasaan lain yang dapat menghambat implementasi kebijakan HTR adalah kebiasaan masyarakat untuk melaksanakan perhelatan pesta secara besar- besaran. Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat membutuhkan uang banyak dalam waktu yang singkat. Bila demikian, sebagian masyarakat akan memilih untuk menjual ladang mereka kepada pendatang dari Bengkulu, Lampung atau Sumatera Selatan. Hal ini berpotensi sebagai faktor penghambat implementasi HTR, karena HTR tidak dapat dipindahtangankan apalagi diperjualbelikan. Potensi konflik yang akan muncul akibat kebiasaan ini menjadi catatan yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Kondisi masyarakat Melayu Jambi lain yang dapat berpotensi negatif terhadap implementasi kebijakan HTR adalah sebagian masyarakat masih berjiwa subsisten. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian masyarakat tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji, meskipun beberapa masyarakat terutama tokoh masyarakat bersikap lebih terbuka dan mau mencoba inovasi baru. Kebijakan HTR yang menuntut masyarakat untuk menanam tanaman berkayu termasuk inovasi baru bagi masyarakat, meskipun mereka telah lama menanam tanaman karet. Untuk itu, strategi yang dilakukan oleh Disbunhut Kabupaten Sarolangun dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk memasarkan kebijakan HTR adalah membuat demplot di beberapa lahan masyarakat peserta HTR. Pemda berharap agar masyarakat lain akan tertarik untuk menanam tanaman berkayu Scott 1976 mengemukakan bahwa karakteristik moral ekonomi subsisten umumnya adalah 1 mengutamakan selamat dan tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji; 2 tidak menyukaimenolak pasar karena hanya melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri; dan 3 memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga keberlangsungan hidup bersama Scott, 1976. 89 selain karet setelah melihat hasil demplot. Namun, dampak yang terjadi adalah masyarakat justru berharap pemda juga memberikan bantuan bibit untuk lahan mereka sebagaimana yang dilakukan pada demplot-demplot yang ada. Selain itu, masyarakat di lokasi penelitian mempunyai kecenderungan untuk melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar dari mereka merasa cukup dalam keterbatasan, artinya lebih suka dengan apa adanya. Upaya memperbaiki nasib diinilainya akan memerlukan biaya yang tinggi dan penuh resiko kegagalan dan ketiakpastian Dixon, 1982 dalam Mardikanto, 2010. Kamaludin, 2009 menilai bahwa p ada umumnya, mayoritas bangsa Melayu masih memandang bekerja adalah untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Melayu, kata bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke kantor atau ke tempat ia bekerja, maka ia mengatakan akan pergi mencari makan. Hal ini mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Melayu dalam hubungannya dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah.

4.2.3. Pemasaran

Sebagian besar masyarakat mengaku belum pernah menjualmemasarkan kayu. Umumnya kayu yang berasal dari lahan sendiri digunakan untuk keperluan pribadi seperti membangunmerenovasi rumah dan membuat gubug kerja. Namun sesungguhnya prospek pemasaran kayu di provinsi Jambi cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian Tim Kajian HTR 2007 diketahui bahwa terdapat 103 industri primer hasil hutan di Provinsi Jambi, meliputi 88 perusahaan kayu gerjian, 9 perusahaan plywood, 3 perusahaan veneer, 1 perusahaan particle board,1 perusahaan LVL dan 1 perusahaan pulp. Berdasarkan hasil kajian keseimbangan pasokan dan permintaan bahan baku kayu di provinsi Jambi Alviya dan Nurfatriyani, 2007 diketahui bahwa pada tahun 2004 Provinsi Jambi mengalami defisit bahan baku sebesar 591 195.22 m 3 untuk permintaan bahan baku kayu aktual konversi dari produksi kayu olahan real dan 2 86 095.60 m 3 untuk permintaan bahan baku potensial konversi dari kapasitas terpasang industri, sedangkan di tahun 2005 terjadi defisit aktual kayu bulat sebesar 1 325313.03 m 3 dan defisit potensial sebesar 3 289 320.09 m 3 . 90 Khusus untuk kabupaten Sarolangun terdapat 10 industri primer hasil hutan dengan kapasitas terpasang sebesar 98 700m 3 tahun m 3 tahun Tim kajian HTR, 2007. Bila diasumsikan rendemen industri rata-rata adalah 60 maka dibutuhkan kayu bulat sebesar 138 180 m 3 tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat Kabupaten Sarolangun pada tahun 2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah sebesar 92 773.98 m 3 , 41 311.51 m 3 dan 48 485.6 m 3 Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007, sehingga diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar 45 500 - 96 869 m 3 Prospek pemasaran kayu hasil HTR cukup besar. Salah satu perusahaan kayu gergajian dan veneer berlokasi berdekatan dengan lokasi penelitian, yaitu PT Samhutani. Meskipun terdapat peraturan yang mengharuskan perusahaan industri hasil hutan skala besar untuk membangun hutan tanaman industri, namun berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PT Samhutani, mereka masih kekurangan bahan baku dan bersedia untuk menampung hasil dari hutan tanaman rakyat sepanjang jenisnya sesuai dengan kebutuhan mereka. tahun. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut adalah melalui pembangunan hutan tanaman, dimana program HTR dapat menjadi alternatif sumber bahan baku kayu di masa mendatang . Tanaman lain yang dapat ditanam dalam areal HTR adalah karet dan jernang. Pemasaran hasil karet di daerah ini tidak sulit, meskipun jarak desa ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten cukup jauh dan aksesibilitas yang buruk. Persepsi responden terhadap keberadaan pasar hasil ladang karet dan jernang dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Persepsi responden terhadap keberadaan pasar hasil HTR Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung n n n n Tinggi 14 51.85 22 88.00 21 72.41 57 70.37 Sedang 10 37.04 2 8.00 4 13.79 16 19.75 Rendah 3 11.11 1 4.00 4 13.79 8 9.88 Sumber: Pujiastuti 2011 Dari Tabel 20 diketahui bahwa persepsi masyarakat mengenai pemasaran hasil tanaman HTR karet dan jernang tinggi. Namun untuk pemasaran tanaman berkayu, sebagian besar responden tidak mengetahui sama sekali. Masyarakat mengaku belum memiliki pengalaman menjual kayu. 91 Masyarakat pada umumnya menjual getah karet kepada pedagang-pedagang pengumpul tauke yang datang ke desa, untuk penjualan skala kecil. Bila penjualan dalam skala besar, umumnya masyarakat langsung menjualnya di pasar kecamatan atau kabupaten dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan bila dijual ke pedagang pengumpul. Pola pemasaran karet di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun Di Desa Lamban Sigatal, hasil utama dari lahan HTR selain karet adalah