Kelangkaan Kayu Lingkungan Kebijakan .1. Dukungan pemangku kepentingan

94 Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan kayu masyarakat di sekitar areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun akan kayu pertukangan diprediksi sejumlah 752.84 m 3 Sementara itu, kebutuhan kayu industri di Kabupaten Sarolangun diprediksi masih tinggi, bila didekati dari kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada di Kabupaten Sarolangun, kebutuhan kayu gergajian adalah 38 700 m tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ini, masyarakat masih mengandalkan kayu alam yang berasal dari kawasan hutan produksi yang menjadi areal pencadangan HTR meskipun sangat minim. 3 pertahun, sedangkan kebutuhan kayu untuk bahan baku veneer adalah 60 000 m 3 Tabel 22 Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Kabupaten Sarolangun pertahun Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007. Tabel 22 menyajikan kebutuhan kayu untuk industri di Kabupaten Sarolangun. Jenis Industri Nama Perusahaan Kapasitas m 3 tahun Izin Terpasang Kayu Gergajian CV. Belato Jaya 3 000 3 000 CV. Air Hitan Baru 6 000 6 000 CV. Wira Kayu Abadi 4 500 4 500 CV. Tambir Mas 1 200 1 200 CV. Karya Utama 1 500 1 500 CV. Dua Enam 1 500 1 500 CV. Riau Mandiri 3 000 3 000 PT. Nipah Kurnia Utama 6 000 6 000 PT. Cahaya Sangkutindo 6 000 6 000 PT. Samhutani 6 000 6 000 Veneer PT. Samhutani 60 000 60 000 Total 98 700 98 700 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2007; Badan Litbang Kehutanan, 2007. Tabel di atas menunjukkan bahwa kebutuhan kayu gergajian di Kabupaten Sarolangun sebesar 98 700m 3 tahun. Bila diasumsikan rendemen industri rata-rata adalah 60 maka dibutuhkan kayu bulat sebesar 138 180 m 3 tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat Kabupaten Sarolangun pada tahun 2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah sebesar 92 773.98 m 3 , 41 311.51 m 3 dan 48 485.6 m 3 Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007. Sehingga diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar 45 500 - 96 869 m 3 Penyediaan bahan baku kayu sebagian besar hanya mengandalkan hutan alam. Meskipun di Provinsi Jambi terdapat tiga belas perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan kayu dari hutan tanaman IUPHHK HTI, hanya tahun. 95 enam perusahaan yang aktif Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2010, sehingga hutan dalam masih menjadi pemasok utama bahan baku kayu di Provinsi Jambi. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun 2007 menyebutkan memprediksi bahwa sebagian besar dari kebutuhan kayu di Kabupaten Sarolangun dan sekitarnya, dipasok dari areal hutan produksi eks HPH PT. Pitco yang sekarang sebagian telah menjadi areal pencadangan HTR. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa areal pencadangan HTR merupakan hutan bekas tebangan logged over areaLOA yang sebagian besar kondisinya sudah sangat rusak karena pada umumnya merupakan areal perladangan masyarakat. Areal perladangan ini sudah cukup lama lebih dari 10 tahun yang ditandai oleh adanya tanaman karet sebagai tanda penguasaan, sehingga kondisi vegetasinya bercampur antara karet dengan vegetasi alam. Kondisi hutan alam bekas tebangan pada areal pencadangan HTR ini hampir mirip dengan kondisi hutan pada areal kerja PT Samhutani Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007 Sehingga untuk memprediksi jenis dan produksi hutan alam didekati dengan data RKUPHHK-HT PT Samhutani tahun 2007, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Prediksi Rata-rata Jumlah Batang dan volume m 3 JENIS Kayu perhektar di Lokasi Pencadangan HTR DIAMETER 20-29 CM DIAMETER 30 CM UP Jumlah Batang Volume m 3 Jumlah Batang Volume m 3 Meranti - - 0.56 0.38 Afrika 0.17 0.08 1.67 1.18 Aro ringin 0.39 0.18 3.28 2.27 Balam 0.33 0.15 0.72 0.55 Kelampayan 0.06 0.02 0.61 0.45 Kelat 0.28 0.14 2.94 1.97 Kempas 0.06 0.03 0.78 0.50 Keranji 0.22 0.11 1.28 0.86 Mahang 0.17 0.09 0.83 0.57 Medang 0.28 0.12 2.67 1.89 Merpayung 0.11 0.05 0.61 0.47 Petai 0.06 0.02 0.22 0.15 Petaling 0.11 0.07 1.06 0.68 Pulai 0.06 0.03 0.33 0.23 Sekubung 0.06 0.02 0.33 0.21 Total 2.33 1.11 18.28 12.64 Sumber: Dinas Kehutanan Sarolangun, 2007 Tabel 23 menunjukkan bahwa kawasan hutan produksi eks HPH PT. Pitco hanya memiliki potensi 12.64 m 3 perhektar untuk tanaman berdiameter di atas 30 96 cm dan 1.11 m 3 perhektar untuk tanaman berdiameter 20-29 cm. Total luas areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 18 840 ha, sehingga diprediksi memiliki potensi 238 137.6 m 3 tanaman berdiameter di atas 30 cm dan 20 912.4 m 3 Kelangkaan kayu ini merupakan salah satu isu yang sangat baik dikembangkan agar masyarakat tertarik untuk menanam jenis tanaman berkayu lain selain karet di lokasi penelitian. Setidaknya masyarakat akan berfikir untuk menanam jenis kayu komersial berkualitas baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan untuk dijual. tanaman berdiameter 20-29 cm. Bila tidak ada upaya permudaan tanaman, maka diprediksi areal pencadangan HTR hanya dapat memenuhi kebutuhan industri kayu hingga 3 - 5 tahun mendatang saja.

V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN

Dalam kebijakan hutan tanaman rakyat, yang menjadi pelaku kebijakan terdiri atas dua kelompok, yaitu pemerintah daerah selaku implementator dan masyarakat selaku kelompok target. Kapasitas kedua kelompok ini akan sangat mempengaruhi proses implementasi kebijakan HTR di lokasi penelitian. 5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah 5.1.1 Kesiapan pemerintah daerah Kesiapan pemerintah daerah diukur melalui ketersediaan sumber daya manusia SDM, kualitas SDM, tingkat pengetahuan SDM mengenai HTR dan jejaring network yang dimiliki dalam rangka implementasi HTR. Dari hasil penelitian diketahui bahwa instansi pemerintah daerah yang terlibat dalam kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Disbunhut, BAPPEDA Kabupaten dan DPRD Komisi II Kabupaten Sarolangun. Namun demikian, core kegiatan umumnya adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Disbunhut Kabupaten Sarolangun. Tidak ada bidang khusus yang menangani kegiatan HTR di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Kegiatan HTR hanya menjadi sebagian urusan Bidang Penataan Kawasan, Bina Hutan dan Konservasi Alam PKBHKA khususnya seksi Inventarisasi Penataan Kawasan Hutan, Rencana Karya dan Pemetaan IPKRKP. Jumlah SDM yang membidangi masalah HTR adalah tujuh orang dan dibantu oleh tiga orang dari bidangseksi lain serta dua orang honorer. Jumlah dan tingkat pendidikan SDM yang membidangi urusan HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Tingkat Pendidikan SDM yang membidangi urusan HTR Instansi PSK PSNK SK SNK SMA Jumlah Disbunhut - Seksi IPKRKP 1 4 1 1 7 - Seksi lainnya 3 3 - Tenaga Honorer 2 2 Bappeda 2 2 DPRD Komisi II 1 1 Keterangan : PSK=pascasarjana kehutanan, PSNK=pascasarjana non, SK=sarjana kehutanan, SNK= sarjana non kehutanan, SMA=sekolah menengah atas 98 Dari 15 orang tersebut semuanya menjadi responden dalam penelitian ini, yang terlibat secara langsung dan sering ke lapangan hanya 26.67, sedangkan sisanya 33.33 responden kadang-kadang dilibatkan dan 40 responden tidak terlibat langsung dalam kegiatan HTR. Dengan komposisi SDM demikian, 46.7 responden merasa bahwa jumlah SDM tersebut sudah memadai namun 53.6 responden merasa jumlahnya perlu ditambah mengingat jumlah desa yang berbatasan dengan areal pencadangan HTR adalah sebelas desa, maka idealnya satu desa didampingi oleh satu orang pendamping di lapangan. Dalam mengimplementasikan kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun, dishutbun pernah bekerjasama dengan LSM lokal LP3D=Lembaga Penelitian Pengembangan Potensi Desa dan perwakilan dari proyek FLEGT Forest Law Enforcement, Governance and Trade di Indonesia serta Universitas Jambi. Pendapat responden mengenai tingkat keterlibatan dan peran institusi di luar Disbunhut dalam implementasi HTR dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Tingkat Keterlibatan dan Peran Institusi Lain dalam Implementasi HTR Institusi, peran dan keterlibatan Tinggi Sedang Rendah n n n Instansi Pemerintah lain - Tingkat Keterlibatan 1 6.67 9 60.00 5 33.33 - Peran 0.00 8 53.33 7 46.67 LSMNGO - Tingkat Keterlibatan 5 33.33 7 46.67 3 20.00 - Peran 6 40.00 8 53.33 1 6.67 Universitas Jambi - Tingkat Keterlibatan 00.00 9 60.00 6 40.00 - Peran 2 13.33 5 33.33 8 53.33 Total Keterlibatan 4 26.66 6 40.00 5 33.33 Total Peran 3 20.00 9 60.00 3 20.00 Jejaring kerja yang terbentuk dalam rangka implementasi HTR ini pernah berkoordinasi secara intensif pada pertengahan tahun 2007 hingga tahun 2009 dalam rangka pencadangan areal HTR hingga diterbitkannya IUPHHK-HTR di Desa Taman Bandung. Namun saat ini intensitas koordinasi sudah sangat berkurang, bahkan seringkali institusi lain tidak dilibatkan dalam kegiatan implementasi kebijakan HTR. Pendapat responden terhadap tingkat koordinasi dalam implementasi HTR saat ini dapat dilihat pada Gambar 16. 99 Gambar 16 Tingkat Koordinasi Antar Institusi dalam Rangka Implementasi HTR Dalam rangka mendukung kegiatan HTR, telah dilaksanakan sosialisasi mengenai kebijakan HTR dan pelatihan mengenai kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Sosialisasi dan pelatihan tersebut bukan hanya diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan saja namun juga pernah diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan FLEGT. Dari data pada Tabel 26 diketahui bahwa 66.67 responden telah mengikuti sosialisasi HTR, 33.33 responden telah mengikuti pelatihan mengenai pendampingan HTR dan 6.67 responden telah mendapatkan pelatihan mengenai penyusunan RKTRKU. Tabel 26 Distribusi Reponden Berdasarkan Sosialisasi dan Pelatihan yang Diikuti Tema Pelatihan Dishutbun BAPPEDA DRPD Total n n n n Sosialisasi HTR 7 58.33 2 100.00 1 100.00 10 66.67 Pendampingan HTR 5 41.67 0.00 0.00 5 33.33 Penyusunan RKTRKU 1 8.33 0.00 0.00 1 6.67 Manfaat yang dirasakan oleh responden setelah mengikuti sosialisasi dan pelatihan HTR dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR TINGGI 7 SEDANG 60 RENDAH 33 sangat berguna 64 cukup berguna 25 tidak tahu 11