Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun
135 Berdasarkan evaluasi isi kebijakan, proses implementasi kebijakan HTR
berjalan lambat karena masih terdapat terdapat perbedaan persepsi terhadap tujuan kebijakan HTR, dimana Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan
menekankan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kualitas hutan produksi, sedangkan masyarakat dan pemerintah daerah selaku pelaku kebijakan
mengharapkan kebijakan HTR lebih bersifat pemberdayaan. Dalam konsep pemberdayaan, proses pemberdayaan menekankan pada
proses pemberian kemampuan pada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan pilihan hidupnya Mardikanto, 2010. Namun demikian dalam implementasinya, seringkali terdapat bias dalam memahami makna
pemberdayaan, antara lain: 1 anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman atau aspirasi pembangunan
dari lapisan bawah; 2 anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana memperbaiki nasib mereka; 3
anggapan bahwa pembangunan masyarakat di lapisan bawah lebih membutuhkan bantuan material dibandingkan keterampilan teknis dan manajerial Mardikanto.
2010. Meskipun pemda beranggapan HTR adalah kebijakan yang bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat, ketiga bias di atas terjadi dalam implementasi kebijakan HTR. Akibatnya langkah yang diambil pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan HTR masih bersifat top down, dan berupa bantuan material seperti penyediaan bibit, pembuatan demplot dan lain-lain.
Di samping perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan dalam penyusunan kebijakan HTR juga kurang sesuai
dengan kondisi di lapangan. Asumsi bahwa masyarakat telah siap untuk menjadi enterpreneur sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kementerian Kehutanan,
masih membutuhkan langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikannya. Bila dilihat dari asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan, tidak
menutup kemungkinan kebijakan HTR menjadi kebijakan yang dapat memberdayakan masyarakat. Namun masih diperlukan pengkondisian terlebih
dahulu. Sehingga langkah-langkah dalam implementasi kebijakan HTR harus
136 lebih bertahap, tidak secara langsung masyarakat yang mendapatkan ijin harus
melakukan penanaman dan membangun HTR. Tahap pengkondisian ini harus disesuaikan dengan kondisi para pelaku
kebijakan yang ada masyarakat dan pemda. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan menunjuk pendamping yang ditempatkan pada setiap desa. Saat ini
pendamping HTR di Kabupaten Sarolangun adalah PNS Disbunhut. Penunjukan ini dirasa kurang tepat dan proses pendampingan akan menjadi tidak maksimal.
Bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan mengenai budidaya tanaman menetap, pelatihan manajerial dan lain-lain dapat dilakukan
oleh pendamping secara bertahap pada masing-masing pemegang IUPHHK HTR sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Pendamping HTR dapat
dimasukkan dalam struktur implementasi dan menjadi ujung tombak pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan diketahui bahwa kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan
kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah. Jumlah aparat pemda yang terlibat aktif dalam implementasi kebijakan HTR hanya 3 -4 orang dimana 2
diantaranya telah ditunjuk menjadi pendamping HTR. Dukungan finansial yang diberikan oleh Bupati pemda kabupaten kurang memadai. Hal ini disebabkan
karena orientasi pembangunan kehutanan di Kabupaten Sarolangun masih kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga HTR dianggap kurang menguntungkan pemda.
Kemampuan pemda dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori rendah, terutama dalam hal penyelesaian masalah problem
solving dan fasilitasi dan pengawasan. Hal ini disebabkan oleh jarak dan aksesibilitas lokasi pengembangan HTR yang jauh dan silit dijangkau.
Untuk meningkatkan kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah daerah, beberapa hal yang dapat ditempuh antara lain:
1. Menambah jumlah pendamping yang berasal dari luar lingkup Disbunhut
Kabupten Sarolangun, yang dapat dijadikan ujungh tombak implementasi kebijakan HTR.
137 2.
Memberikan fasilitas yang memadai kepada Disbunhut Kabupaten untuk mengimplementasikan kebijakan HTR baik berupa sarana prasarana
transportasi maupun dana dalam pelaksanaannya
3.
Memberikan pelatihan terutama dalam hal manajemen konflik, problem solving, fasilitator dan monitoring.
Modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori rendah, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Modal fisik yang
dimiliki oleh masyarakat, terutama lahan dan keberadaan tanaman cukup tinggi. Penguasaan lahan rata-rata masyarakat di lokasi peneltian adalah 4,99 Ha,
meskipun status kawasan masih belum legal. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan HTR cukup tinggi
karena sebagian besar responden merupakan anggota masyarakat yang pernah mendapatkan penyuluhan sosialisasi mengenai HTR. Tingginya pengetahuan
masyarakat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya minat masyarakat terhadap HTR cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat bagaimana agar
HTR dapat diterimaa oleh masyarakat. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki modal sosial yang cukup dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Namun karena terdapat
beberapa peraturan dalam kebijakan HTR bertentangan dengan norma yang telah mereka anut sebelumnya, maka diperlukan strategi yang tepat dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR di lapangan. Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan diketahui bahwa
masyarakat masih memiliki moral ekonomi subsisten, sehingga keinginan masyarakat untuk berusaha agar mendapatkan pendapatan yang lebih dari sekedar
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih sangat kecil. Selain itu masyarakat juga memiliki kebiasaan untuk menanam tanaman karet, karena karet merupakan
sumber kehidupan mereka. Untuk megimplementasikan kebijakan HTR dibutuhkan strategi yang dapat mengakomodir kondisi masyarakat ini.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya prospek kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun rendah. Masih dibutuhkan upaya yang lebih kongkrit
138 dalam mengemas kebijakan HTR agar dapat diimplementasikan di Kabupaten
Sarolangun.