Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat

30 STATE CAPABILITY WEAK STRONG S O CI AL CAP IT AL WE AK PRIVATE STATE OWNER S T RO NG CBFM CO –MANAGEMENT Gambar 2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas Negara Sumber: Nurrochmat, 2005b Dalam rencana implementasinya, program hutan tanaman rakyat ini akan dikembangkan melalui tiga pendekatan yaitu pola kemitraan, pola mandiri dan pola developer. Pola mandiri dilakukan langsung oleh masyarakat lokal secara individu atau berkelompok, sedangkan pada pola kemitraan dan developer dirancang akan melibatkan Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Swasta Emila dan Suwito 2007. Pola mandiri mengarahkan masyarakat setempat untuk membentuk kelompok tani hutan, yang kemudian diajukan ke bupati. Kemudian pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengendalian kredit, pasar dan pendampingan dari pemda setiap anggota mengingatkan anggota kelompok lainnya untuk memenuhi kewajiban. Pola kemitraan dilakukan melalui kemitraan antara petani atau kelompok tani hutan dengan HTI BUMNS atau industri perkayuan panel, pulp dan kertasmodel plasma inti. Pola ini menuntut masyarakat setempat untuk membentuk kelompok yang kemudian diajukan oleh Bupati ke Menteri Kehutanan. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan pasar. 31 Pola lainnya adalah pola developer. Pola ini diperkenalkan Kementerian Kehutanan Kemenhut dengan merujuk kepada developer perumahan. Prinsipnya BUMNS sebagai developer membangun HTR dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit. Lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah No.32008 disebutkan bahwa pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada HTR diberikan dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali dengan jangka waktu 35 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin. Tanaman yang dihasilkan HTR merupakan aset pemegang izin usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin masih berlaku.

2.6 Beberapa Tulisan Dan Penelitian Mengenai HTR

Beberapa tulisan dan penelitian yang mengangkat tema ‘kebijakan hutan tanaman rakyat’ telah dilaksanakan sejak digulirkannya kebijakan ini. Sub bab ini mencoba untuk menyajikan isi tulisan dan hasil penelitian dimaksud. Herawati 2010a mengemukakan bahwa proses perumusan kebijakan HTR bukan merupakan model linier melainkan suatu proses incremental bertahap dengan melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang sebelumnya telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh tingginya potensi lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa spot kecil yang tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit pasokan bahan baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi, maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat IUPHHK-HTR Lebih lanjut Herawati 2010a mengemukakan bahwa prinsip pemikiran para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan dengan persepsi dan pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di lapangan. Pola fikir pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan birokrat pemerintah 32 daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung kepada adanya dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan disediakan oleh pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholders di daerah sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan yang lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan sesuai harapan. Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman Emila Suwito 2007 mengungkapkan bahwa kebijakan pembangunan HTR terkait dengan kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan pro- poor, menciptakan lapangan kerja baru pro poor dan memperbaiki kualitas pertumbuhan investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi pro growth. Belakangan, Ditjen BUK 2011 menambahkan bahwa kebijakan HTR juga terkait dengan agenda perbaikan lingkungan hidup pro environment. Emila Suwito 2007 mengemukakan tiga prinsip pemberdayaan masyarakat yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR, yaitu: 1. Prinsip pertama adalah masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya people organized themselves based on their necessity. Ini berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat. 2. Prinsip kedua adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya labor-intensive sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal cukong yang tidak bertanggung jawab. 3. Prinsip ketiga adalah pemerintah memberikan pengakuanrekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar. Noordwijk et al 2007 menyimpulkan bahwa HTR merupakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Walaupun dalam prakteknya 33 masyarakat telah lama melakukan pemanfaatan pada kawasan hutan tersebut meskipun tanpa jaminan adanya pengakuan hak yang jelas Hakim dan Effendi, 2008. Pemerintah memberikan jaminan legalitas dan kesempatan yang luas kepada pihak lain untuk ikut serta alam kegiatan pengelolaan hutan Hakim dan Effendi, 2008; Schneck, 2009 Noordwijk et al 2007 mengemukakan bahwa ada tiga paradigma dalam hutan tanaman. Paradigma pertama adalah konsep nucleus-plasma-estate dalam penanaman timber fastwood, dimana pusat kontrol keputusan mengenai jenis tanaman yang akan ditanam dan hubungan organisasi sentral dengan unit proses ditetapkan melalui a simple planning framework, tetapi posisi masyarakat sangat essensial dalam peranannya sebagai tenaga kerja pertanian. Paradigma kedua adalah community management forest dimana pemerintah satu langkah ke belakang dan mengizinkan komunitas lokal untuk merespon pasar dan mengelola hutan negara sesuai dengan pengetahuan mereka. Paradigma ketiga adalah independent smallholders yang beroperasi pada desa dan hutan milik umumnya bebas untuk menanam pohon, tapi masih kesulitan dalam memasarkan dan menggunakan tanaman yang mereka tanam. Hakim 2009 mengemukakan bahwa pembangunan HTR merupakan upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan dengan didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi. Masyarakat diharapkan dapat lebih memahami fungsi ganda hutankawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Lebih lanjut Hakim 2009 mengemukakan bahwa secara teknis dan manajemen, program HTR dapat merupakan upaya kelembagaan kehutanan dalam menata kembali konsep kesatuan pengelolaan hutan KPH yang dimulai dari bawah dengan luasan sempit. Beberapa aspek penting yang harus dilakukan penataannya adalah: a teknologi pengelolaan HTR yang tepat guna, b jaminan keamanan dan ketersediaan lahan, c jaminan pasarindustri pengguna hasil HTR, d kelembagaan petani inti dan kelembagaan penunjang yang kuat dan e skim pembiayaan konvensional bersumber dari dana DR dan pembiayaan alternatif dari sektorlembaga lain memerlukan dukungan konsep HTR yang operasional dan mudah digunakan oleh masyarakat.