131 6.
Berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan tanggung jawab dalam mengimpelentasikan HTR namun belum memiliki hak untuk ikut serta dalam
pembuatan keputusan 7.
Berpartisipasi aktif dan memiliki kewenangan dalam membuat keputusan 8.
Berpartisipasi secara aktif, memiliki tanggung jawab penuh atas keberhasilan implementasi HTR
Berdasarkan alasan-alasan di atas, disusun tingkatan level partisipasi masyarakat yang disesuaikan dengan ladder patern dalam berpartisipasi menurut
Arnstein 1969 sebagaimana disajikan pada Tabel 52. Tabel 52 Tingkatan partisipasi masyarakat dalam Implementasi HTR
Tingkatan Partisipasi
Desa Total
Seko Besar Lamban Sigatal
Taman Bandung n
n n
n
1. Formalitas
5 18.52
2 8.00
1 3.45
8 9.88
2. Sekedar hadir
6 22.22
7 28.00
3 10.34
16 19.75
3. Ingin tahu
11 40.74
12 48.00
7 24.14
30 37.04
4. Mulai aktif
5 18.52
4 16.00
9 31.03
18 22.22
5. Aktif berdiskusi
0.00 0.00
4 13.79
4 4.94
6. Mulai diberi
tanggungjawab 0.00
0.00 2
6.90 2
2.47 7.
Kewenangan memutuskan
0.00 0.00
2 6.90
2 2.47
8. Tanggung
jawab Penuh 0.00
0.00 1
3.45 1
1.23
Total 27
25 29
81
Dari tabel tersebut diketahui bahwa tingkatan partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR di Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko
Besar memasuki tahap pemberian informasi informing. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan
tokenism. Pada tahap ini terdapat dua karakteristik yang bercampur. Pemberian informasi pada masyarakat di satu sisi merupakan langkah awal partisipasi, namun
di sisi lain tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik merupakan ciri tokenism
Dua ciri utama dalam tahap informing terlihat jelas dalam implementasi kebijakan HTR di lokasi penelitian. Pertama adalah pemberian informasi
mengenai hak-hak, tanggung jawab dan pilihan-pilihan masyarakat yang merupakan langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Dalam hal ini
132 masyarakat diberikan informasi mengenai kebijakan HTR meliputi definisi HTR,
manfaat HTR bagi masyarakat, tata cara permohonan HTR, pola HTR, jenis tanaman yang boleh ditanam dan lain-lain. Masyarakat diajak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan HTR melalui sosialisasi. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya merupakan informasi satu arah dari aparat pemerintah kepada masyarakat.
Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik feedback. Berbeda dengan proses partisipasi di Desa Taman Bandung yang telah
memasuki level konsultasi consultation. Komunikasi telah berlangsung dua arah antara pemerintah daerah dengan masyarakat, di mana masyarakat meskipun
hanya beberapa orang telah mulai dapat diajak untuk berdiskusi mengenai kendala-kendala yang mereka hadapi dan apa yang mereka butuhkan dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR. Meskipun memang tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide mereka akan dijadikan bahan
pertimbangan dalam kebijakan HTR. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kendala yang dihadapi masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR adalah 1
kesulitan dalam menyusun RKT dan RKU; 2 kebutuhan bibit. Hal ini sangat kontras dengan asumsi yang digunakan oleh pembuat
keputusan dalam merumuskan kebijakan HTR. Asumsi yang digunakan Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan HTR adalah masyarakat
dapat menjadi mitra pemerintah dalam mengelola hutan. Untuk itu masyarakat dituntut menjadi enterpreneur yang dapat berpartisipasi aktif dalam
mengimplementasikan HTR. Bila ditelaah lebih lanjut, implementasi kebijakan HTR secara ideal
menuntut masyarakat untuk sampai pada level pendelegasian kekuasaan delegated power. Secara teori, kebijakan HTR mendelegasikan kegiatan
pengelolaan hutan produksi yang ada dalam areal pencadangan HTR kepada masyarakat. Pada level ini masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan
untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang akan mereka laksanakan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR, meliputi: jenis tanaman yang akan mereka
tanam, pola penanamannya, kapan mereka akan menanam, kapan mereka akan memanen, dengan siapa mereka akan bekerjasama dan lain-lain. Meskipun