21 Konsep lainnya mengenai sumber-sumber kekuasaankekuatan adalah dikotomi
antara 1 kekuasaan karena kedudukan position power dan kekuasaan pribadi personal power Bass, 1960 dan Etzioni, 1961 dalam Yukl, 1994.
2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak kepada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari
kerangka logik sebagai berikut: 1 bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan pada faktor produksi; 2 pemusatan kekuasaan faktor
produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; 3 kekuasaan akan membangun sistem pengetahuan, sistem politik,
sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan 4 pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya Prijono dan Pranarka, 1996.
Kartasasmita 1996 mengemukakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua tujuan, yaitu: 1 melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan; serta 2
memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan.
Pranarka dan Vidhyandika 1996 menyebutkan bahwa terdapat dua kecenderungan dalam proses pemberdayaan yaitu:
1. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu dapat lebih berdaya. Upaya ini dilengkapi dengan
membangun aspek material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Proses ini dapat disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan. 2.
Kecenderungan sekunder yang lebih menekankan kepada proses dialog. Kecenderungan ini terkait kemampuan individu mengontrol lingkungannya.
Kartasasmita 1996 mengemukakan bahwa upaya pemberdayaan yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan
kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan
22 kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,
dengan kata lain memberdayakannya. Pemberdayaan hendaknya didasarkan pada prinsip keberpihakan kepada
masyarakat marginal, karena mereka berada di lapisan sosial paling bawah dan memiliki posisi yang mampu memecahkan masalah untuk merubah posisi mereka.
Pemberdayaan tidak semata-mata diarahkan pada perbaikan kualitas hidup jangka pendek dalam konteks ekonomi peningkatan kesejahteraan ekonomi maupun
sosial pendidikan , kesehatan dll tetapi secara strategi harus mengarah kepada proses untuk mendapatkan transformasi tatanan kehidupan Kartasasmita, 1997.
Istilah pemberdayaan empowerment muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang proses kemandirian masyarakat self sustaining process. Tanpa partisipasi
masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akan memperoleh kemajuan
.
Mardikanto 2010 mengemukakan bahwa kata kunci dari pengertian partisipasi masyarakat adalah adanya kesukarelaan masyarakat untuk terlibat atau
melibatkan diri dalam pembangunan. Dusseldorp 1981 membedakan tingkat kesukarelaan masyarakat dalam berpartisipasi menjadi lima jenjang, yaitu:
1. Partisipasi spontan
Partisipasi masyarakat tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan dan keyakinan diri sendiri
2. Partisipasi terinduksi
Partisipasi tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik berupa bujukan, pengaruh atau dorongan dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap
memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi 3.
Partisipasi tertekan oleh kebiasaan Partisipasi yang dilakukan untuk memenuhi kebiasaan, nilai-nilai atau norma-
norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Bila tidak maka takut akan disisihkandikucilkan oleh sekitarnya.
4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi
Partisipasi karena takut kehilangan status sosial, atau takut menderita kerugian atau tidak memperoleh manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan
23
5. Partisipasi tertekan oleh peraturan
Partisipasi dilakukan karena takut akan menerima hukuman atau peraturan dari ketentuan yang sudah diberlakukan.
Partisipasi masyarakat juga merupakan arti sederhana dari kekuasaan masyarakat citizen power. Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang
memperbolehkan masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses ekonomi dan politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana
masyarakat miskin ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi, tujuan dan kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan
program-program, dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak-kontrak dan perlindungan-perlindungan diberikan.
Arnstein 1969 menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu pola bertingkat ladder patern. Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat
dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi
masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi ini, tidak menjelaskan bagus atau tidak baik sebuah level, melainkan sesuai atau tidak
sesuai sebuah level terhadap kondisi masyarakat. Tingkatan partisipasi menurut Arnstein dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein 1969
Citizen Control Delegated Power
Partnership Placation
Consultation Informing
Therapy Manipulation
Degrees of citizen Power
Degrees of Tokenism
Non Participation
M O
RE P ART
IS IP
AT IV
E