60 Tabel 10 Matriks Analisis QSPM
Faktor Utama Key Success Factors
Bobot Alternatif
Strategi I Alternatif
Strategi II Alternatif
Strategi III AS
TAS AS
TAS AS
TAS I. Faktor Internal :
A. Kekuatan 1. ...
2. ... ...
B. Kelemahan 1. ...
2. ... ...
II. Faktor Eksternal : C. Peluang
1. ... 2. ...
... D. Ancaman
1. ... 2. ...
...
Total Skor Sumber: David 2009
IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN
4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat 4.1.1 Kejelasan dan konsistensi tujuan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55Menhut-II2011 mengenai Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan
tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur
dalam rangka menjamin kelestarian hutan. Definisi ini secara jelas menyebutkan bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat bertujuan untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi, yang saat ini telah sangat rendah. Tujuan ini sangat sesuai dengan kebutuhan Kementerian Kehutanan saat ini
mengingat banyaknya hutan produksi yang menjadi open access paska berakhirnya konsesi HPH. Kondisi ini menyebabkan kawasan hutan produksi
menjadi tidak bertuan dan sebagian menimbulkan konflik land tenure dengan masyarakat, sedangkan sebagian lain menjadi lahan kosong dan kritis.
Herawati 2010a menyebutkan bahwa permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR adalah tingginya potensi lahan tidak
produktif di kawasan hutan produksi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh: berakhirnya masa konsesi HPH dan peristiwa penutupan 15 perusahaan Hutan
Tanaman Industri HTI yang juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan. Lahan hutan bekas HPH dan HTI yang ditutup menjadi berstatus open access
karena tidak ada lagi kejelasan pemegang hak pengelolaannya. Oleh karena itu, berbagai peraturan yang terkait kebijakan hutan tanaman
rakyat secara konsisten mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan kondisi hutan, antara lain: 1 penentuan lokasi HTR, 2 penyusunan RKU dan
RKT, dan 3 penetapan jenis tanaman pokok. Tabel 11 menunjukkan turunan kebijakan yang mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan kondisi
hutan.
62 Tabel 11 Peraturan HTR Terkait Perbaikan Kondisi Hutan sebagai Tujuan HTR
No Kebijakan
Sasaran kebijakan Keterangan
1. Penentuan lokasi Memastikan HTR dibangun dalam kawasan hutan produksi yang tidak
produktif Permenhut No. P.552011
psl 2 ayat 1 2. Penyusunan RKU
dan RKT RKU dan RKT merupakan
instrument monitoring dan pengendalian pengusahaan hutan
oleh masyarakat PP. No. 32008 psl 71a;
psl 75 ayat 3dan 5 Permenhut No. P.552011
psl 23 Permenhut No. P.622008
3. Penetapan jenis tanaman pokok
Memastikan bahwa hutan produksi ditanami tanaman berkayu
Permenhut No. P.552011 Psl 7 dan 8
Juknis Pembangunan HTR
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55Menhut-II2011 pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri
pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izinhak lain. Kata ‘tidak produktif’ di sini menjadi polemik, karena kenyataan di lapangan
khususnya di Kabupaten Sarolangun, kawasan yang menjadi lokasi pencadangan HTR sebagian besar merupakan lahan yang telah diokupasi dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Bagi masyarakat, lahan tersebut merupakan lahan yang produktif, meskipun dari perspektif pemerintah Kementerian Kehutanan, lahan
yang telah dikuasai oleh masyarakat tersebut dipandang tidak produktif karena tidak dapat mengasilkan hasil hutan kayu.
Perspektif ini mencerminkan bahwa paradigma yang dianut oleh Kementerian Kehutanan masih bersifat state oriented, di mana semua sumberdaya
alam yang ada ditujukan untuk negara dalam hal ini pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dalam setiap kebijakannya, pemerintah sangat jarang
mempertimbangkan variabel ‘masyarakat’ baik yang ada di dalam maupun sekitar hutan. Fokus utama perhatian pemerintah adalah: a bagaimana menjaga
kelestarian hutan dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat; b bagaimana menjaga keseimbangan supply dan demand bahan baku kayu ; dan c
bagaimana meningkatkan investasi di bidang kehutanan. Kementerian Kehutanan mewajibkan masyarakat peserta HTR untuk
menyusun RKUPHHK Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR dan RKTUPHHK Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu HTR Pasal 23 Permenhut No. P.55Menhut-II20011. Terkait tujuan HTR
63 memperbaiki kondisi hutan produksi, penyusunan RKU dan RKT ini akan
sangat membantu pemerintah dalam rangka memantau kondisi hutan produksi. Hal lain yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dalam rangka
perbaikan kondisi hutan produksi adalah penetapan jenis tanaman pokok HTR Pasal 7 dan 8 Permenhut No. P.55Menhut-II2011. Penetapan tanaman pokok
HTR ini adalah upaya Kementerian Kehutanan untuk memaksa masyarakat menanam tanaman berkayu sebagai tanaman utama.
Terminologi tanaman berkayu yang dimaksud oleh Kementerian Kehutanan masih menjadi polemik. Pada mulanya, dalam petunjuk teknis pembangunan HTR
yang tertuang dalam lampiran perdirjen BPK No. P.06VI-BPHT2008 bab VI menetapkan jenis tanaman pokok dalam HTR terbagi atas lima kelompok, yaitu:
kelompok jenis meranti, kelompok jenis keruing, kelompok jenis non dipterocarpaceae, kelompok kayu serat dan kelompok MPTS di mana karet
merupakan salah satu diantaranya. Namun dalam Permenhut No. P.55Menhut- II2011 bab VI pasal 7 ayat 4 menyebutkan bahwa jenis tanaman pokok yang
ditanam dalam areal HTR adalah tanaman hutan berkayu dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan berkayu karet, tanaman berbuah, bergetah, dll.
Pemisahan tanaman MPTS menjadi tanaman budidaya tahunan berkayu, menyebabkan tanaman karet hanya dapat ditanam 40 dari luas lahan secara
keseluruhan. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang telah menguasai areal pencadangan HTR di Kabupaten
Sarolangun telah menanam tanaman karet sebagai tanaman utama dalam lahan HTR yang telah mereka kuasai sebelumnya.
Ketiga instrument di atas menunjukkan bahwa dalam penyusunan berbagai turunan dari kebijakan HTR, Kementerian Kehutanan kurang mempertimbangkan
kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil penelitian Herawati 2010a menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan HTR, aktor yang terlibat hanya
berasal dari lingkup birokrat Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan Kementerian Kehutanan hanya mempertimbangkan kebutuhan sendiri tanpa
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat selaku kelompok target dalam kebijakan HTR.