VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI
Setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi
kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode berjalannya suatu kebijakan. Parsons 2005 mengungkapkan bahwa riset evaluasi
hendaknya membahas dua dimensi, yaitu: 1 bagaimana sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan; dan 2 dampak aktual dari kebijakan.
Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah: 1 meningkatkan produktifitas lahan hutan terdegradasi; dan 2 memberdayakan
masyarakat. Berdasarkan tujuan kebijakan tersebut, terdapat dua indikator keberhasilan implementasi kebijakan HTR yaitu 1 jumlah luas hutan produksi
yang telah mendapatkan izin pemanfaatan; dan 2 tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR.
6.1. Peningkatan Produktifitas Hutan Versus Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan 2011, luas hutan produksi yang telah mendapatkan izin HTR hingga Februari 2011 adalah
seluas 101 012.5 ha atau hanya sekitar 15.91 dari keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk HTR. Melihat kecilnya realisasi HTR, dapat disimpulkan
bahwa kebijakan HTR belum mampu menjadi tools dalam mengurangi jumlah lahan kritis di Indonesia, mekipun secara jelas disebutkan bahwa tujuan HTR
adalah meningkatkan produktifitas hutan produksi. Data Statistik Kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa luas lahan kritis
dalam kawasan hutan di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 82 juta ha Kemenhut 2011a. Terkait agenda rehabilitasi lahan kritis pro environment
yang merupakan salah satu misi HTR, target pencadangan HTR seluas 5.4 juta ha pada tahun 2016 hanya akan mampu memperbaiki 6.6 dari luas lahan kritis yang
ada pada saat ini dengan asumsi tingkat keberhasilan 100. Realisasi HTR yang rendah menunjukkan bahwa kontribusi kebijakan HTR dalam memperbaiki
kondisi hutan produksi masih sangat kecil. Berdasarkan perhitungan luas efektifrasionalisasi kawasan hutan diketahui
bahwa luas hutan yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil adalah
118 5.6 juta ha dimana 68 diantaranya termasuk ke dalam kawasan hutan produksi.
Alokasi lahan tersebut bukan hanya ditujukan untuk pengembangan hutan tanaman rakyat saja, namun termasuk juga untuk pengembangan hutan
kemasyarakatan dan hutan desa Kemenhut, 2011b. Melihat fenomena ini, terdapat dua hal yang perlu dikaji secara mendalam yaitu: 1 alokasi kawasan
untuk pengusahaan hutan skala kecil; 2 kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan secara profesional.
Dasar penetapan alokasi luas lahan untuk pengusahaan hutan skala kecil ini adalah proses analisis spasial yang menghasilkan peta arahan indikator rencana
kehutanan tingkat nasional Kemenhut 2011b. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan dalam RKTN 2010-2030 merevisi kembali target pembangunan HTR
menjadi 2.6 juta ha pada tahun 2030. Dengan demikian, sumbangan kebijakan HTR dalam memperbaki kondisi hutan produksi yang terdegradasi hanya 3.1
dari total luas lahan kritis yang ada saat ini. Luas lahan kritis di Propinsi Jambi seluas 2.2 juta ha Kemenhut, 2011,
sedangkan luas pencadangan HTR di Propinsi Jambi adalah 38 963 ha. Dengan demikian, hanya 0.8 luas lahan kritis di Propinsi Jambi yang dapat diperbaiki
melalui kebijakan HTR bila implementasi kebijakan HTR berhasil 100. Luas hutan produksi yang terdapat di Propinsi Jambi adalah 931 121 ha
dimana 97 116 10 diantaranya terdapat di Kabupaten Sarolangun Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 2011. Luas pencadangan HTR di Kabupaten
Sarolangun adalah 18 840 ha. Hal ini berarti kebijakan HTR hanya ditargetkan untuk memperbaiki 19.4 kondisi hutan produksi di Kabupaten Sarolangun.
Uraian di atas menggiring kita pada pernyataan bahwa peranan kebijakan HTR dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi sangat kecil, meskipun
secara jelas dan konsisten dipaparkan dalam setiap kebijakan terkait HTR bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kondisi hutan produksi. Latar
belakang kebijakan HTR sebagai instrumen untuk mengamankan kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open acces paska berakhirnya konsesi
HPH, belum mampu menempatkan kebijakan HTR sebagai alternatif solusi terbaik dalam pengelolaan hutan produksi. Alokasi pengelolaan hutan terbesar
masih diserahkan kepada pihak pengusaha hutan skala besar.
119 Oleh karena itu, tujuan HTR sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat
perlu mendapatkan perhatian dari Kementerian Kehutanan. Sunderlin et al. 2005
mencatat bahwa kemiskinan pedesaan yang sangat parah dan sisa hutan alam di negara-negara berkembang cenderung menempati ruang yang tumpang tindih.
Lebih lanjut Sunderlin et al. 2005 mengemukakan bahwa hutan dapat membantu menghindari atau mengurangi kemiskinan dengan menyediakan sumber-sumber
pendapatan kecil dan merupakan jaring pengaman dalam masa-masa yang sulit. Hutan dapat membantu menghapuskan kemiskinan dengan memfungsikannya
sebagai sumber tabungan, investasi, aset pembangunan dan peningkatan penghasilan dan kesejahteraan secara permanen.
Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237 556 363 orang, dimana
48.8 juta jiwa 12 tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan Brown, 2004. Lebih lanjut Brown 2004 mengungkapkan bahwa
dari jumlah penduduk yang hidup di dalam kawasan hutan
tersebut, 10.2 juta jiwa 25 diantaranya tergolong dalam kategori miskin Brown, 2004. Bila diasumsikan dalam satu
keluarga terdiri atas 4 jiwa, maka terdapat ±2.55 juta KK penduduk miskin yang harus diberdayakan melalui berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang
Kehutanan, termasuk kebijakan HTR. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional RKTN 2011-2030 hanya
mengalokasikan 6 456 911 ha sebagai kawasan hutan yang ditujukan sebagai kawasan pengusahaan hutan skala kecil masyarakat, dimana 1 882 404 ha di
antaranya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, 2 274 013 ha kawasan hutan produksi, 2 150 085 ha kawasan hutan produksi terbatas dan 150 408 hutan
produksi yang dapat dikonversi. Kawasan ini ditujukan untuk memberikan akses pada masyarakat dalam mengelola hutan melalui kebijakan hutan kemasyarakatan,
hutan adat dan hutan tanaman rakyat. Bila diasumsikan kemampuan masyarakat mengelola hutan adalah 15
haKK sesuai Permenhut No. P.55Menhut-II2011 maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan di kawasan yang telah
ditunjuk hanya berjumlah 430 460 KK. Hal ini berarti hanya sekitar 17 dari total penduduk miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan yang dapat mengelola hutan