Konsep Pemberdayaan Masyarakat TINJAUAN PUSTAKA

23 5. Partisipasi tertekan oleh peraturan Partisipasi dilakukan karena takut akan menerima hukuman atau peraturan dari ketentuan yang sudah diberlakukan. Partisipasi masyarakat juga merupakan arti sederhana dari kekuasaan masyarakat citizen power. Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang memperbolehkan masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses ekonomi dan politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana masyarakat miskin ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi, tujuan dan kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan program-program, dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak-kontrak dan perlindungan-perlindungan diberikan. Arnstein 1969 menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu pola bertingkat ladder patern. Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi ini, tidak menjelaskan bagus atau tidak baik sebuah level, melainkan sesuai atau tidak sesuai sebuah level terhadap kondisi masyarakat. Tingkatan partisipasi menurut Arnstein dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein 1969 Citizen Control Delegated Power Partnership Placation Consultation Informing Therapy Manipulation Degrees of citizen Power Degrees of Tokenism Non Participation M O RE P ART IS IP AT IV E 24 Tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arnstein 1969 bisa dijelaskan sebagai berikut: 1. Manipulasi Manipulation Pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di tingkat yang sangat rendah. Bukan hanya tidak berdaya, akan tetapi pemegang kekuasaan memanipulasi partisipasi masyarakat melalui sebuah program untuk mendapatkan “persetujuan” dari masyarakat. Masyarakat sering ditempatkan sebagai komite atau badan penasehat dengan maksud sebagai “pembelajaran” atau untuk merekayasa dukungan mereka. Partisipasi masyarakat dijadikan kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan. 2. Terapi Therapy Untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat penyakit. Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk menyembuhkan “penyakit” masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit masyarakat terjadi sejak distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi kaya dan miskin tidak pernah seimbang. 3. Pemberian Informasi Informing Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan tokenism. Kita dapat melihat dua karakteristik yang bercampur. Pertama, pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat adalah langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya merupakan informasi satu arah tentunya dari aparat pemerintah kepada masyarakat. Akan tetapi tidak ada umpan balik feedback dari masyarakat. Alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah adalah media massa, pamflet, poster dan respon untuk bertanya. 4. Konsultasi Consultation Konsultasi dan mengundang pendapat-pendapat masyarakat merupakan langkah selanjutnya setelah pemberian informasi. Arnstein 1969 menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi langkah yang sah menuju tingkat partisipasi penuh. Namun, komunikasi dua arah ini sifatnya tetap 25 buatan artificial karena tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan. 5. Penentraman Placation Strategi penentraman menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan- badan urusan masyarakat atau pada badan-badan pemerintah. Pada umumnya mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan. Dengan demikian, masyarakat dapat dengan mudah dikalahkan dalam pemilihan atau ditipu. Dengan kata lain, mereka membiarkan masyarakat untuk memberikan saran-saran atau rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan tetap berhak untuk menentukan legitimasi atau fisibilitas dari saran-saran tersebut. Ada dua tingkatan dimana masyarakat ditentramkan: 1 kualitas pada bantuan teknis yang mereka miliki dalam membicarakan prioritas-prioritas mereka; 2 tambahan dimana masyarakat diatur untuk menekan prioritas tersebut. 6. Kemitraan Partnership Pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan tawar menawar pada tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Kedua pemeran tersebut sepakat untuk membagi tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan melalui badan kerjasama, komite- komite perencanaan dan mekanisme untuk memecahkan kebuntuan masalah. Beberapa kondisi untuk membuat kemitraan menjadi efektif adalah: 1 adanya sebuah dasar kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat di mana pemimpin-pemimpinnya akuntabel; 2 pada saat kelompok memiliki sumber daya keuangan untuk membayar pemimpinnya, diberikan honor atas usaha- usaha mereka; 3 ketika kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa dan mempekerjakan teknisi, pengacara, dan manajer community organizer mereka sendiri. 7. Pendelegasian Kekuasaan Delegated Power Pada tingkat ini, masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan untuk menentukan program-progam pembangunan. Untuk memecahkan perbedaan- perbedaan, pemegang kekuasaan perlu untuk memulai proses tawar menawar dibandingkan dengan memberikan respon yang menekan. 26 8. Pengawasan Masyarakat Citizen Control Pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang maksimum. Pengawasan masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat meminta dengan mudah tingkat kekuasaan atau pengawasan yang menjamin partisipan dan penduduk dapat menjalankan sebuah program atau suatu lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan dan dimungkinkan untuk menegosiasikan kondisi pada saat di mana pihak luar bisa menggantikan mereka. Sumodiningrat 1999, menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan agen pemberdaya. Dalam menjalankan fungsinya, agen pemberdaya harus melebur dalam kesetaraan dan kemitraan bersama masyarakat. Kegagalan selama ini banyak diasumsikan karena prinsip-prinsip pemberdayaan kode etik pemberdayaan yang seharusnya dilakukan bersama secara partisipatif telah dilanggar, karena ada kepentingan-kepentingan tertentu dari segelintir orang di luar unsur masyarakat sasaran. Dampaknya menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan pemberdayaan yang berkesinambungan Sumodiningrat 1999. Kartasasmita 1997 menjelaskan bahwa pendekatan utama dalam proses pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut: 1. Upaya itu harus terarah targetted. Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. 2. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni: a supaya bantuan tersebut 27 efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka; b meningkatkan keberdayaan empowering masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. 3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus- menerus dibina dan dipelihara secara saling menguntungkan dan memajukan. 2.5 Sekilas Tentang Hutan Tanaman Rakyat 2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat HTR Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan penetapan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian hutan Bab 1 pasal 1 ayat 19. Ketentuan di atas dengan jelas membedakan terminologi hutan tanaman rakyat HTR dengan program kehutanan yang melibatkan masyarakat lainnya seperti Hutan kemasyarakatan HKm dan hutan rakyat HR. HTR hanya dikembangkan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak, sedangkan HKm dimungkinkan untuk dikembangkan di kawasan hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional, hutan produksi dan hutan lindung dan hutan rakyat dibangun pada kawasan hutan yang dibebani hak. Perbedaan hutan tanaman rakyat dengan kebijakan kehutanan lain yang melibatkan masyarakat seperti hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Perbedaan mendasar antara hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat terletak pada kepemilikan lahan dan tanaman. Kepemilikan hutan rakyat telah jelas adalah milik masyarakat karena dibangun di atas lahan yang dibebani hak milik. Kepemilikan lahan pada HTR dan HKm adalah milik 28 negara dan masyarakat yang mengelola lahan tersebut hanya mempunyai izin usaha pemanfaatan hutan. Kepemilikan tanaman pada hutan kemasyarakatan tidak dapat dikatakan milik masyarakat petani HKm. Direktur BPK 2010 dalam Herawati 2010a menyebutkan bahwa penanaman pohon pada program HKm menggunakan anggaran belanja negara, sehingga petani HKm tidak dapat mengklaim tegakan di areal HKm sebagai milik pribadi, melainkan harus melalui mekanisme bagi hasil dengan pemerintah. Sementara, tegakan yang ditanam di HTR diarahkan sebagai aset pribadi karena dibiayai dari modal petani atau dapat bersumber dari kredit pemerintah dengan menjadikan tegakan HTR sebagai agunan. Perbedaan ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk menjadikan masyarakat sebagai partner dalam pengelolaan hutan. Dalam program HTR, pemerintah memberikan hak dan tanggungjawab kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan untuk membangun hutan tanaman di kawasan hutan produksi. Untuk itu pemerintah menyediakan lahan maksimum 15 HaKKdaur tanaman misal 8 tahun dan biaya sebesar Rp 5–8 jutahatahun tergantung regionnya sebagai pinjaman dengan suku bunga sebesar 9.5 Hakim 2007.

2.5.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat

Program HTR pertama dicanangkan pada awal tahun 2007 berdasarkan PP No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Permenhut No. P.23Menhut-II2007 Jo. Permenhut No. P.55Menhut-II2011 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Program ini memberikan akses kepada masyarakat untuk 1 Memperoleh pengakuan secara hukum dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; 2 Memperoleh pinjaman dana pembangunan HTR; 3 Memperoleh jaminan pasar melalui penetapan harga dasar. Ditengarai ada tiga situasi yang melatarbelakangi kebijakan HTR, yaitu 1 tingginya kebutuhan kayu yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan hutan alam untuk menyediakan kayu bulat; 2 peluang untuk menghasilkan hasil hutan bukan kayu; dan 3 banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open access pasca berakhirnya masa konsesi HPH. Tiga situasi ini 29 menjadikan pembangunan hutan tanaman rakyat terlihat sangat sesuai untuk diimplementasikan. Hasil hutan bukan kayu HHBK juga merupakan peluang yang sangat baik untuk dikembangkan dalam hutan tanaman rakyat. HHBK seperti satwa, bunga, buah, rotan, madu, damar, gaharu, getah dan lain-lain dapat menjadi sumber devisa negara dan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat hutan. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2000-2004 tercatat devisa ekspor satwa dan tumbuhan di Indonesia sebesar USD 4.17 juta Dephut, 2006. Nilai ekspor satwa dan tumbuhan pada tahun 2009 meningkat hingga mencapai Rp 4.54 triliun dengan masing-masing Rp 3.04 triliun satwa dan Rp 1.5 triliun tumbuhan, sedangkan produksi rotan mencapai 24.5 ribu ton, gondorukum 3.2 ribu ton, minyak kayu putih 20 ribu liter, damar 11.1 ribu ton, dan kopal 149 ton Kemenhut 2011b. Lemahnya power pemerintah pasca reformasi menyebabkan pemerintah merasa kesulitan untuk mengamankan hutan dengan menggunakan instrumen masa lalu, seperti pengamanan dengan menggunakan polisi kehutanan atau penegakan hukum. Hal ini menimbulkan banyaknya kawasan hutan produksi yang semula areal konsesi HPH menjadi kawasan yang tidak bertuan secara de facto menjadi open access. Di sisi lain, modal sosial masyarakat mulai melemah, tingkat kepercayan masyarakat terhadap pemerintah dan sesama masyarakat mulai menurun. Secara teoritis, dalam kondisi seperti ini kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah adalah dengan memberikan kesempatan mengelola hutan secara private baik oleh masyarakat maupun pengusaha swasta Gambar 2. Maka kebijakan HTR menjadi keputusan pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat, dimana masyarakat diperbolehkan untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan dengan tujuan membangun hutan untuk kelestarian.