Struktur implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat .1 Kejelasan dan konsistensi tujuan

69 Tabel 12. Pengemban Tugas yang Dilakukan Dinas Kehutanan Kabupaten No Kegiatan Tugas Dasar hukum Pengemban Tugas Pelaksana Lapangan 1. Penetapan Areal Pertimbangan teknis pada Bupati Permenhut No. P.52008 pasal 1A ayat 2 huruf d Disbunhut Kabupaten Disbunhut Kabupaten Sosialisasi Permenhut No. P.552011 Pasal 13 ayat 5 Bupati Walikota Disbunhut Kabupaten 2. Fasilitasi proses perizinan Fasilitasi permohonan Permenhut No. P.552011 Pasal 13 ayat 1,3 Kepala desa Disbunhut Kabupaten Laporan rekapitulasi perizinan IUPHHK Permenhut No.P.052008 Pasal 2 ayat 3 4 Disbunhut Kabupaten Disbunhut Kabupaten Fasilitasi pembuatan kelompok Permenhut No. P.552011 Pasal 17 ayat 1 Tidak ada Disbunhut Kabupaten bekerjasama dengan FLEGT 3. Fasilitasi kelembagaan Fasilitasi penguatan kelembagaan Permenhut No. P.552011 Pasal 19 ayat 4 Bupati, camat dan kepala desa, LSM yang ditunjuk Disbunhut Kabupaten bekerjasama dengan FLEGT Pembuatan RKU dan RKT Permenhut No.P.622008 Psl 7 ayat 1, psl 14 ayat 1 Kepala UPT Disbunhut Kabupaten 4. Fasilitasi RKU dan RKT Persetujuan RKU dan RKT Permenhut No.P.622008 Psl 7 ayat 2, psl 16 ayat 1 Disbunhut Kabupaten Disbunhut Kabupaten Penilaian dan persetujuan revisi Permenhut No.P.622008 Pasal 9 ayat 3 Disbunhut Kabupaten Disbunhut Kabupaten Melakukan Pendampingan teknis Juknis Pembangunan HTR Bab VIII Teknisi yang ditunjuk Staff Dishutbun Kabupaten selaku pendamping 5. Fasilitasi pelaksanaan Melakukan Pendampingan kelembagaan Juknis Pembangunan HTR Bab VIII Tenaga kerja kehutanan, LSM, organisasi lain LSM FLEGT bekerjasama dengan Disbunhut Kabupaten 6. Pengawasan dan monitoring Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan HTR Permenhut No. P.552011 Pasal 24 Kepala desa, Kepala Dinas ProvinsiUPT Disbunhut Kabupaten Berdasarkan observasi di Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko Besar yang saat ini dalam proses pengajuan IUPHHK, sistem yang digunakan oleh Dishutbun Kabupaten Sarolangun adalah ‘menjemput bola’ dimana setelah 70 mengadakan sosialisasi secara berkala ke desa yang dituju, maka semua fasilitasi permohonan mulai dari memfasilitasi persyaratan hingga pembentukan kelompok dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten di desa yang dituju. Berbeda dengan kedua desa di atas, Desa Taman Bandung difasilitasi oleh Disbunhut Kabupaten Sarolangun bekerjasama dengan EC- Indonesia FLEGT support project. FLEGT mengawal proses perizinan hingga keluarnya izin IUPHHK di Desa Taman Bandung, termasuk memfasilitasi penguatan kelembagaan. Salah satu syarat administrasi yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan HTR di Desa Taman Bandung yang telah mendapatkan izin IUPHHK- HTR adalah pembuatan RKU dan RKT. Berdasarkan Permenhut No.P.622008 Pasal 7 ayat 1, fasilitasi pembuatan RKU dan RKT merupakan tugas dari UPT Kementerian Kehutanan BP2HP wilayah IV Jambi. Namun tugas tersebut juga harus dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten untuk memperlancar implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun. Tugas pendampingan sebagaimana yang tertulis dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06VI-BPHT2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat memiliki dua sifat yaitu pendampingan teknis dan pendampingan kelembagaan. Di Kabupaten Sarolangun, yang ditunjuk sebagai pendamping teknis adalah staf Disbunhut Kabupaten, sementara pendamping kelembagaan khusus untuk Desa Taman Bandung difasilitasi oleh EC-Indonesia FLEGT support project. Namun setelah proyek FLEGT berakhir, hingga saat ini Disbunhut Kabupaten belum memiliki partner dalam pelaksanaan pendampingan kelembagaan di desa-desa lainnya Seko Besar dan Lamban Sigatal. Sehingga proses pendampingan baik teknis maupun kelembagaan dalam desa tersebut difasilitasi oleh Disbunhut Kabupaten. Penunjukan staf Disbunhut sebagai pendamping pelaksanaan pembangunan HTR perlu ditinjau ulang. Proses pendampingan menjadi kurang optimal karena tupoksi yang diemban oleh staff dishutbun tersebut bukan hanya kegiatan HTR. Jarak rumah pendamping dengan lokasi HTR juga menjadi kendala dalam proses pendampingan. Aksesibilitas jalan yang jelek terutama pada musim hujan merupakan kendala utama dalam proses pendampingan, di samping masalah finansial. Di sisi lain, penunjukan staf Disbunhut dapat menjadi strategis karena 71 kegiatan HTR dapat dijalankan secara bersamaan dengan tupoksi lainnya, sehingga dapat meminimalkan biaya operasional. Namun secara keseluruhan, tetap menyebabkan proses pendampingan menjadi tidak optimal. Subarsono 2006 mengungkapkan bahwa keberhasilan sebuah kebijakan sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan keterampilan dari para implementor kebijakan. Berdasarkan observasi, diketahui bahwa Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun cukup kompeten dalam implementasi kebijakan HTR. Strategi untuk ‘menjemput bola’ dalam memperlancar proses permohonan IUPHHK cukup tepat untuk desa-desa di Kabupaten Sarolangun, mengingat sebagian besar kepala desa di sekitar areal pencadangan HTR yang belum berkompeten melaksanakan tugas sebagaimana yang dituntut dalam kebijakan HTR. Selain itu, aksesibilitas jalan yang buruk juga menghambat mobilisasi kepala desa untuk keluar desa.

4.1.4. Dukungan sumber daya manusia dan finansial

Dukungan sumberdaya manusia dan finansial yang memadai akan mempermudah implementasi sebuah kebijakan. Dukungan sumberdaya manusia dan finansial dalam kebijakan HTR hendaknya tidak terbatas hanya pada lingkup Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan, namun juga pada pemerintah daerah dan masyarakat selaku pelaksana dan kelompok target kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya manusia dalam mengimplementasi HTR baik pada tataran UPT pusat BP2HP wilayah IV Jambi dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH wilayah XIII Bangka Belitung, maupun pemerintah daerah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun masih terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa pelaksana lapangan di Dinas Kehutanan yang secara aktif menangani kegiatan HTR hingga ke lapangan hanya berjumlah 3-4 orang dengan kualifikasi sarjana kehutanan, di mana dua orang di antaranya telah ditunjuk sebagai pendamping kegiatan HTR. Sementara sumber daya manusia di BP2HP yang menangani kegiatan HTR berjumlah kurang dari lima orang. Dukungan sumber daya manusia Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dapat dilihat melalui tingkat partisipasi aparat pemda dalam implementasi kebijakan HTR Tabel 13. 72 Tabel 13 Tingkat Partisipasi Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun Indikator Partisipasi Tinggi Sedang Rendah n n n Keterlibatan 4 26.67 5 33.33 6 40.00 Sosialisasi 15 100.00 0.00 0.00 Rapat koordinasi 6 40.00 4 26.67 5 33.33 Pelatihan 3 20.00 5 33.33 7 46.67 Turun ke Lapangan 3 20.00 4 26.67 8 53.33 Total Partisipasi 3 20.00 3 20.00 9 60.00 Tabel 13 menunjukkan bahwa dukungan sumber daya manusia Pemerintah Daerah Kabupaten termasuk dalam kategori rendah 60 dengan tingkat keterlibatan yang rendah 40. Keterlibatan responden umumnya terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu 1 kelompok yang selalu dilibatkan dalam kegiatan HTR; 2 kelompok yang kadang-kadang dilibatkan; dan 3 kelompok yang tidak dilibatkan. Kelompok pertama merupakan aparat Dishutbun Kabupaten Sarolangun yang mengawal implementasi kebijakan HTR hingga ke lapangan. Umumnya mereka telah mendapatkan pelatihan-pelatihan mengenai implementasi HTR berupa pelatihan pendampingan dan pembuatan RKURKT. Kelompok kedua adalah merupakan aparat Dishutbun dan Bappeda Kabupaten Sarolangun yang sering dilibatkan dalam rapat-rapat koordinasi guna membahas perkembangan HTR atau hal lain yang berkaitan dengan HTR. Kelompok ketiga merupakan aparat Dishutbun Kabupaten Sarolangun yang tidak dilibatkan dalam kegiatan HTR, namun pernah mendapatkan sosialisasi mengenai kebijakan HTR dan secara kepegawaian termasuk dalam bidang yang membawahi proyek HTR. Dukungan sumber daya manusia yang rendah ini berpotensi menghambat implementasi kebijakan HTR. Berdasarkan peraturan dan perundangan mengenai kebijakan HTR diketahui bahwa sebagian besar sumber dana untuk implementasi kebijakan HTR dibebankan kepada pemerintah. Namun tidak disebutkan secara jelas instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal finansial untuk setiap jenis kegiatan. Sehingga setiap stakeholders yang terlibat dalam kebijakan ini harus berasumsi sendiri bahwa pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah pusat Kementerian Kehutanan sebagai penyedia sumber dana utama dan pemerintah 73 daerah sebagai sumber dana pendamping. Ketidakjelasan penanggung jawab finansial ini berpotensi menghambat implementasi kebijakan HTR. 4.2 Lingkungan Kebijakan 4.2.1. Dukungan pemangku kepentingan stakeholder Analisis pemangku kepentingan stakeholder dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholders dalam implementasi HTR dan memanfaatkan kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh setiap stakeholders dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa pada inisiasi awal HTR tahun 2007 hingga tahun 2009 cukup banyak pihak yang tertarik dan terlibat dalam program HTR, baik pihak instansi pemerintah maupun organisasi nirlaba. Dari hasil inventarisasi pemangku kepentingan stakeholders, diketahui bahwa stakeholders yang terlibat dan potensial terlibat dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun saat ini terdiri atas beberapa komponen, yaitu: 1 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2 BP2HP Wilayah IV Jambi, 3 Bappeda Kabupaten Sarolangun, 4 Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sarolangun, 5 DPRD Komisi II Kabupaten Sarolangun, 6 PT Samhutani, 7 LP3D, 8 Universitas Jambi dan 9 masyarakat. Dukungan yang diberikan oleh masing-masing stakeholders tergantung kepada tingkat kepentingan yang dipengaruhi dan keuntungan yang diharapkan Grindle, 1980. Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan persepsi mereka terhadap kebijakan HTR harapan mereka terhadap tujuan HTR dan bagaimana cara mereka menyikapi kebijakan ini keuntungan atau biaya apa yang pernah dikeluarkan dan sumber daya apa yang telah dimobilisasi. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat tiga persepsi stakeholder mengenai tujuan dari kebijakan HTR yaitu 1 perbaikan kawasan hutan produksi; 2 kesejahteraan masyarakat; dan 3 supply bahan baku kayu. Meskipun beberapa stakeholders memiliki persepsi bahwa tujuan HTR lebih dari satu dengan takaran yang berbeda-beda. Tabel 14 menunjukkan persepsi harapan responden terhadap tujuan kebijakan HTR.