Pemasaran Lingkungan Kebijakan .1. Dukungan pemangku kepentingan

91 Masyarakat pada umumnya menjual getah karet kepada pedagang-pedagang pengumpul tauke yang datang ke desa, untuk penjualan skala kecil. Bila penjualan dalam skala besar, umumnya masyarakat langsung menjualnya di pasar kecamatan atau kabupaten dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan bila dijual ke pedagang pengumpul. Pola pemasaran karet di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun Di Desa Lamban Sigatal, hasil utama dari lahan HTR selain karet adalah rotan jernang. Desa ini memang ditujukan sebagai kawasan budidaya jernang. Pemasaran jernang di Desa Lamban Sigatal umumnya dilakukan melalui pedagang pengumpul tauke di desa, yang kemudian membawa jernang ke pedagang pengumpul kabupaten Ardi, 2011. Pola pemasaran jernang di Desa Lamban Sigatal dapat dilihat pada Gambar 14. Pengumpul Jernang Pedagang pengumpul desa tauke desa Pedagang pengumpul Kabupaten tauke kabupaten Pedagang pengumpul provinsi tauke besarekspor Gambar 11. Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal Sumber : Ardi,2010 PETANIPEMILIK LAHAN PEDAGANG PENGUMPUL TAUKE DESA BURUH SADAP PEDAGANG PENGUMPUL TAUKE KECAMATAN PEDAGANG PENGUMPUL TAUKE KABUPATEN PABRIK PENGOLAHAN KARET PEDAGANG PENGUMPUL TAUKE PROVINSI 92

4.2.4. Kelangkaan Kayu

Kelangkaan kayu merupakan masalah yang serius di lokasi penelitian dan sekitarnya saat ini. Permasalahan ini muncul setelah berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam akibat kebijakan yang kurang tepat di masa lalu. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan diketahui bahwa masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan kayu dengan kualitas yang baik untuk membangun rumah di lokasi penelitian. Saat ini masyarakat hanya menggunakan tanaman berdiameter kecil atau jenis tanaman non komersial sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan untuk kayu pertukangan. Kebutuhan masyarakat terhadap kayu pertukangan yang paling utama adalah untuk membuat dan memperbaiki rumah atau membuat gubuk di ladang. Dua desa yang menjadi lokasi penelitian merupakan desa transmigrasi PPH pemukiman perambah hutan, yaitu Desa Seko Besar dan Desa Taman Bandung, sehingga mereka telah mendapatkan jatah rumah dari pemerintah. Namun rumah bagi mayarakat di lokasi penelitian bukan hanya sebagai tempat berteduh, tetapi juga merupakan lambang kemakmuran ukuran tingkat kesejahteraan seseorang, sehingga membuat atau memperbaiki rumah merupakan sebuah kebutuhan bagi masyarakat. Simon 1994 menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi masyarakat akan kayu pertukangan merupakan fungsi dari pendapatan, pendidikan dan kebudayaan masyarakat. Makin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka akan makin tinggi konsumsi kayu mereka. Demikian pula semakin tinggi tingkat pendidikan dan kebudayaan seseorang, akan makin tinggi pula konsumsi mereka akan kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45.68 responden menggunakan berbagai jenis kayu untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam lima tahun terakhir, baik untuk membangunmerenovasi rumah maupun membangun gubug di ladang. Jenis kayu yang digunakan antara lain adalah balam Palaquium ridleyi K.et.G, durian hutan Durio carinatus, jabon Anthocepalus chinensis, jelutung Dyera costulata, pulai Alstonia scholaris, randu Ceiba petandra, bangkirai Shorea laevifolia, kempas Koompasia malcensis, sungkai Peronema canescens, medang Litsea sp, tengkawang Shorea pinanga dan lain-lain. 93 Umumnya kayu yang mereka gunakan berasal dari ladang mereka sendiri. Meskipun demikian, 56.79 responden mengaku kesulitan untuk mendapatkan kayu dengan kualitas baik, sehingga mereka terpaksa menggunakan kayu apa saja yang tersedia dalam ladang mereka. Tingkat kesulitan responden dalam mendapatkan kayu berkualitas baik dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu Untuk mengetahui kebutuhan masyarakat akan kayu pertukangan dalam penelitian ini tidak didasarkan pada pada penelitian khusus, melainkan menggunakan data hasil survey yang dilaksanakan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 1980 mengenai kebutuhan kayu pertukangan rata- rata masyarakat di Jawa, yaitu 0.04 m 3 Tabel 21 Kebutuhan Masyarakat akan Kayu Pertukangan kapitatahun Simon, 1994. Berdasarkan hal tersebut, dapat diprediksi kebutuhan kayu pertukangan masyarakat akan kayu pertukangan masyarakat desa di lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Kecamatan Desa Jumlah Penduduk jiwa Kebutuhan Kayu m 3 tahun Sarolangun Ladang Panjang 1 155 46.20 Pauh Sepintun 1 557 62.28 Lamban Sigatal 1 088 43.52 Lubuk Napal 1 184 47.36 Karang Mendopo 2 010 80.40 Seko Besar 1 574 62.96 Taman Bandung 1 925 77.00 Pengidaran 1 107 44.28 Mandiangin Mandiangin Pasar 4 080 163.20 Pemusiran 1 077 43.08 Rangkiling Simpang 2 064 82.56 Total 18 821 752.84 Sumber : BPS Kabupaten Sarolangun, 2007 SULIT 57 SEDANG 21 MUDAH 22 94 Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan kayu masyarakat di sekitar areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun akan kayu pertukangan diprediksi sejumlah 752.84 m 3 Sementara itu, kebutuhan kayu industri di Kabupaten Sarolangun diprediksi masih tinggi, bila didekati dari kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada di Kabupaten Sarolangun, kebutuhan kayu gergajian adalah 38 700 m tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ini, masyarakat masih mengandalkan kayu alam yang berasal dari kawasan hutan produksi yang menjadi areal pencadangan HTR meskipun sangat minim. 3 pertahun, sedangkan kebutuhan kayu untuk bahan baku veneer adalah 60 000 m 3 Tabel 22 Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Kabupaten Sarolangun pertahun Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007. Tabel 22 menyajikan kebutuhan kayu untuk industri di Kabupaten Sarolangun. Jenis Industri Nama Perusahaan Kapasitas m 3 tahun Izin Terpasang Kayu Gergajian CV. Belato Jaya 3 000 3 000 CV. Air Hitan Baru 6 000 6 000 CV. Wira Kayu Abadi 4 500 4 500 CV. Tambir Mas 1 200 1 200 CV. Karya Utama 1 500 1 500 CV. Dua Enam 1 500 1 500 CV. Riau Mandiri 3 000 3 000 PT. Nipah Kurnia Utama 6 000 6 000 PT. Cahaya Sangkutindo 6 000 6 000 PT. Samhutani 6 000 6 000 Veneer PT. Samhutani 60 000 60 000 Total 98 700 98 700 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2007; Badan Litbang Kehutanan, 2007. Tabel di atas menunjukkan bahwa kebutuhan kayu gergajian di Kabupaten Sarolangun sebesar 98 700m 3 tahun. Bila diasumsikan rendemen industri rata-rata adalah 60 maka dibutuhkan kayu bulat sebesar 138 180 m 3 tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat Kabupaten Sarolangun pada tahun 2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah sebesar 92 773.98 m 3 , 41 311.51 m 3 dan 48 485.6 m 3 Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007. Sehingga diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar 45 500 - 96 869 m 3 Penyediaan bahan baku kayu sebagian besar hanya mengandalkan hutan alam. Meskipun di Provinsi Jambi terdapat tiga belas perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan kayu dari hutan tanaman IUPHHK HTI, hanya tahun.