108 formal yang baik ini menandakan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman
mereka tinggi sehingga dapat menjadi faktor kunci yang penting bagi pengembangan kegiatan HTR di daerah tersebut.
Tingkat pengetahuan. Tidak seperti pendidikan formal, tingkat pendidikan
informal responden sangat rendah. Secara keseluruhan sebanyak 76.54 responden tidak pernah mengikuti pendidikan informal khususnya bidang
kehutanan Tabel 40. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti masyarakat di lokasi penelitian sebagian besar merupakan pelatihan mengenai perkebunan dan
pertanian, sedangkan pelatihan bidang kehutanan yang pernah diikuti oleh beberapa responden yaitu mengenai konservasi hutan serta studi banding
pengelolaan hutan bersama masyarakat PHBM dan hutan rakyat di Jawa yang kebanyakan diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat kehutanan.
Tabel 40 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Informal Kriteria
Desa Total
Seko Besar Lamban Sigatal
Taman Bandung
n n
n n
6 thn 22
81.48 17
68.00 23
79.31 62
76.54 6 - 9 thn
5 18.52
6 24.00
6 20.69
17 20.99
9 thn 0.00
2 8.00
0.00 2
2.47
Tingkat pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat mengenai implementasi kebijakan HTR, termasuk ketentuan yang ada
dalam perundangan-undangan. Persentase tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan HTR dengan katagori tinggi terdapat di Desa Taman
Bandung yaitu 55.17 lampiran 7. Hal ini disebabkan karena desa ini pernah menjadi lokasi percontohan areal HTR di Jambi sehingga pernah dilaksanakan
sosialisasi secara intensif, sedangkan Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori sedang 52 dan Desa Seko Besar masuk dalam katagori rendah 70.37.
Rendahnya tingkat pengetahuan responden di Desa Seko Besar terhadap kegiatan HTR disebabkan oleh: 1 kurangnya dukungan yang diberikan oleh
aparat desa, 2 tidak ada pihak yang membantu proses fasilitasi serta 3 status lahan yang masih berkonflik dengan penggunaan lain.
Konflik lahan terjadi karena sebagian dari total LU II Lahan Usaha II yang ditunjuk oleh Kementerian Transmigrasi sebagai lahan garapan tambahan
109 masyarakat termasuk ke dalam kawasan hutan produksi terbatas HPT yang saat
ini ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR. Masyarakat berpendapat bahwa lahan tersebut adalah milik mereka meskipun hingga saat ini belum ada
sertifikatnya. Adanya program KTM Kota Mandiri Terpadu yang diluncurkan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menjadi salah satu penyebab rendahnya dukungan aparat desa. Kepala desa berharap desa mereka akan
dijadikan pilot project program KTM. Dengan demikian, mereka berharap kejelasan status LU II akan terselesaikan sertifikat akan dikeluarkan oleh
pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden yang menguasai lahan di areal HTR, mereka berharap areal tersebut dapat menjadi hak
milik sebagai lahan usaha yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai transmigran. Dengan demikian jatah lahan mereka sama luasnya dengan
masyarakat lain yang lahan usahanya tidak berada di dalam areal HTR.
Tingkat pendapatan. Menurut Sayogyo 1991 sebagaimana diacu oleh
Salim 1980, yang paling mudah untuk menentukan tingkat kemiskinan adalah pada ekonomi rumah tangga, yaitu tingkat mencapai kebutuhan dasar manusia.
Salim 1980 menyebutkan bahwa berdasarkan kriteria Sayogyo 1977 tingkat pendapatan petani miskin di daerah pedesaaan adalah setara dengan 240-320 kg
perkapita pertahun. Bila diasumsikan 1 KK memiliki empat anggota keluarga, maka setiap KK hendaknya berpenghasilan setara dengan 960-1 280 kg beras
dalam satu tahun. Dengan kondisi jalan yang buruk, harga beras di lokasi penelitian berkisar antara Rp.10 000.00 hingga Rp.15 000.00 tergantung cuaca.
Sehingga pendapatan minimal responden dalam katagori miskin di lokasi penelitian hendaknya berkisar antara 9.6 juta rupiah– 19.2 juta rupiah pertahun.
Bila dihitung berdasarkan nilai hasil perhitungan kebutuhan hidup layak KHL perkapita masyarakat desa di lokasi penelitian diketahui adalah sebesar 32
juta rupiah. Perhitungan ini didasarkan pada pengeluaran rumah tangga masyarakat yang setara dengan nilai 800 kg berasorangtahun berdasarkan harga
rata-rata patokan untuk kebutuhan fisik minimum KFM 320 kg, pendidikan 160 kg, kesehatan 160 kg, dan sosial 160 kg Sinukaban 2007. Perhitungan kebutuhan
110 hidup layak KHL masyarakat di sekitar hutan di lokasi penelitian selengkapnya
tertera pada Tabel 41. Tabel 41 Kebutuhan Hidup Layak KHL Masyarakat di Sekitar Hutan
Jenis Pengeluaran
Kg Beras
Harga Beras Rpkg
Pengeluaran Rporang
1
Jumlah Keluarga
th Kebutuhan
RpKK
2
th KFM
100 320
10 000 3 200 000
4 12 800 000
Pendidikan 50
160 10 000
1 600 000 4
6 400 000 Kesehatan
50 160
10 000 1 600 000
4 6 400 000
SosialTabungan 50
160 10 000
1 600 000 4
6 400 000 KHL
8 000 000 32 000 000
1
rata-rata harga beras di lokasi penelitian pada saat penelitian
2
diasumsikan jumlah anggota keluarga 4 orang
Bila ditinjau dari tingkat pendapatan responden Tabel 47, maka sebagian besar responden 80.25 berada dalam katagori rendah dengan pendapatan rata-
rata 10 juta rupiah pertahun. Pendapatan rata-rata responden tertinggi adalah Rp. 12.68 juta rupiah terdapat di Desa Lamban Sigatal dan rata-rata pendapatan
terendah adalah 6.83 juta rupiah di Desa Seko Besar. Jumlah pendapatan ini masih jauh dari katagori dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, sebagaimana
yang tercantum dalam Tabel 42. Tabel 42 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan dalam Jutaan Rupiah
2
Kriteria Desa
Total Seko Besar
Lamban Sigatal Taman Bandung
n Rata-
rata n
Rata- rata
n Rata-
rata n
Rata- rata
Tinggi 0.00
1 4.00
1 3.45
2 2.47
Sedang 2
7.41 6.83
9 36.00 12.68 3 10.35 10.71 14 17.28 10.02
Rendah 25 92.59
15 60.00 25 86.20
65 80.25
Sumber pendapatan responden sebagian besar berasal dari getah karet baik dari lahan sendiri maupun dari hasil menjadi buruh karet atau sebagai pedagang
pengumpul. Mereka biasanya menyadap getah enam kali dalam satu minggu dan hasilnya rata-rata bisa mencapai 50-100 kgminggu. Harga getah karet yang
digunakan untuk perhitungan pendapatan dalam penelitian ini adalah Rp.15.000kg yang merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian ini
dilaksanakan. Sumber pendapatan lainnya diperoleh dari usaha dagang, ternak,
2
Data merupakan hasil penelitian bersama Sdr. Endang Pudjiastuti dan telah dipublikasikan dalam Tesis yang berjudul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam
Kegiatan HTR Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
111 wiraswasta dan honor atau gaji PNS. Pendapatan responden di Desa Lamban
Sigatal lebih besar dibandingkan dengan dua desa lainnya karena di desa tersebut kebanyakan responden mendapatkan tambahan penghasilan dari mengambil atau
mencari getah jernang.
5.2.3 Modal sosial
Modal sosial dalam penelitian diukur dengan menggunakan instrument berupa Measuring Social Capital an Integratesd Quisioner SC-IQ yang telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Modal Sosial yang diukur adalah 1
kepercayaan terhadap sesama, 2 kepatuhan terhadap norma, 3 kepedulian antar sesama dan 4 keterlibatan dalam organisasi sosial.
Hasil penelitian Tabel 43 menunjukkan bahwa modal sosial di lokasi penelitian termasuk dalam katagori sedang 53. Bila dilihat berdasarkan desa
asal responden lampiran 8 diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di ketiga lokasi termasuk ke dalam katagori sedang, dengan persentase
44.4 untuk Desa Seko Besar, 56 untuk Desa Lamban Sigatal dan 48.27 untuk Desa Taman Bandung.
Tabel 43
Modal Sosial Indikator
Tinggi Sedang
Rendah n
n n
Kepercayaan terhadap sesama 12
14.81 38
46.91 31
38.27 Kepatuhan terhadap norma
40 49.38
30 37.04
11 13.58
Kepedulian kepada sesama 42
51.85 34
41.98 5
6.17 Keterlibatan dalam organisasi sosial
28 68.29
40 49.38
13 16.05
Modal Sosial 16
19.75 43
53.09 23
28.36
5.2.3.1 Tingkat kepercayaan terhadap sesama
Tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat di lokasi penelitian masuk ke dalam katagori sedang 46.91. Tabel 44 menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat 41 mudah percaya terhadap orang yang berasal dari desa yang sama, namun 61 responden mengaku sulit percaya orang asing. Perbedaan suku
dan agama tidak mempengaruhi tingkat kepercayaan responden. Namun sebagian besar masyarakat 70.37 berhati-hati untuk percaya pada orang lain bila
berhubungan dengan uang. Kondisi ini menurut 53 responden sama saja dengan
112 kondisi lima tahun yang lalu dan 30 responden mengatakan lebih baik dari lima
tahun yang lalu. Tabel 44 Tingkat Kepercayaan Masyarakat
Latar Belakang Tinggi
Sedang Rendah
n n
n Desa yang sama
41 50.62
38 46.91
2 2.47
Desa yang berbeda asing 11
13.58 61
75.31 9
11.11 Suku berbeda
36 44.44
25 30.86
20 24.69
Agama beda 39
48.15 21
25.93 21
25.93 Uang
2 2.47
57 70.37
22 27.16
Mayoritas masyarakat mudah percaya kepada aparat pemerintah. Tabel 44 memperlihatkan bahwa 88.89 responden mudah percaya kepada guru dan
61,73 responden mudah percaya pada pemerintah daerah. Meskipun demikian, sebagian besar responden 50.62 mengaku berhati-hati untuk percaya kepada
pemerintah pusat dan sulit percaya kepada polisi 38.27. Tabel 45 menunjukkan bahwa meskipun 75.31 responden mengaku
berhati-hati percaya dengan orang asing, namun sebagian besar responden 43.21 mengaku mudah percaya dengan LSMNGO. Hal ini disebabkan karena
lokasi ini sering mendapatkan sosialisasi dan pendampingan dari beberapa LSM terkait kehutanan, pertanian dan lingkungan hidup.
Tabel 45 Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Aparat Pemerintah
Tingkat Kepercayaan Terhadap
Tinggi Sedang
Rendah n
n n
Pemerintah Daerah 50
61.73 23
28.40 8
9.88 Pemerintah Pusat
29 35.80
41 50.62
11 13.58
LSM 35
43.21 19
23.46 27
33.33 Polisi
28 34.57
12 14.81
31 38.27
Guru 72
88.89 9
11.11 0.00
5.2.3.2 Tingkat kepatuhan terhadap norma
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku di desa mereka termasuk dalam katagori tinggi 49.38. Ini berarti masyarakat masih
sangat mematuhi peraturan-peraturan yang ada dalam lingkungan mereka. Tingkat kepatuhan masyarakat Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal masuk ke dalam
113 katagori tinggi 37.04 dan44, sedangkan tingkat kepatuhan masyarakat desa
Taman Bandung termasuk dalam katagori Sedang 55.17 Lampiran 8. Dalam memutuskan sebuah perkara termasuk perkara di bidang
kehutanan, 67.3 masyarakat menggunakan hukum adat, sedangkan sisanya 24.69 menggunakan hukum pemerintah dan 13.58 menggunakan hukum
agama Tabel 46. Masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Taman Bandung umumnya lebih memilih untuk menggunakan hukum adat dalam memutuskan
suatu perkara, sementara masyarakat Desa seko besar memilih untuk menggunakan hukum pemerintah. Hal ini diduga karena Desa Seko Besar
merupakan areal transmigrasi dengan penduduk mayoritas adalah pendatang dari Jawa, Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan, sehingga merasa kurang cocok
dengan hukum adat Jambi yang digunakan oleh masyarakat pribumi dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 46 Hukum yang Berlaku di Kalangan Masyarakat
Hukum Adat
Agama Pemerintah
n n
n Desa Seko Besar
11 40.74
4 14.81
12 44.44
Desa Lamban Sigatal 19
76.00 2
8.00 4
16.00 Desa Taman Bandung
20 68.97
5 17.24
4 13.79
Total 50
61.73 11
13.58 20
24.69
5.2.3.3 Kepedulian kepada sesama
Tabel 47 menunjukkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat kepada sesama termasuk dalam katagori tinggi 51.85. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
keakraban yang sedang 59.26 dan keinginan untuk saling membantu yang tinggi 66.67. Tingkat keakraban dapat dilihat dari banyaknya jumlah teman
akrab yang dimiliki oleh responden dan jumlah orang yang mau membantu bila mereka dalam kesulitan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 65
responden memiliki teman akrab lebih dari lima orang dan 51 responden merasa aman meninggalkan keluarga bila ingin bepergian jauh karena lebih dari lima
orang yang bersedia menjaga anak mereka. Bila dilihat dari desa asal responden diketahui bahwa tingkat kepedulian
masyarakat di Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori tinggi 52, sedangkan tingkat kepedulian masyarakat Desa Seko Besar dan Desa Taman