167 karena 1 mereka lebih mempercayai keluarga dibandingkan dengan orang lain;
2 pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak berkurang karena tidak harus dibagi dengan orang lain; dan 3 dapat mengamankan masa depan anak-
anak mereka. Selain itu , dengan cara pertama pengambilan keputusan tetap dapat dilakukan oleh pemilik utama sehingga mengurangi konflik dengan orang lain.
Cara kedua jarang dilakukan karena potensi konflik lebih besar jika dirasa pembagian keuntungan tidak saling menguntungkan. Adanya sifat tidak mudah
percaya dan tidak mudah bekerjasama dengan orang lain juga mempengaruhi keputusan mereka tidak membagi penguasaan lahannya dengan orang lain.
Pola HTR yang digunakan oleh masyarakat dalam satu kelompok hendaknya sama, dapat menggunakan pola mandiri atau kemitraan. Berdasarkan
hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa pola HTR yang ditawarkan pada masyarakat sebelumnya adalah pola mandiri. Namun demikian masyarakat
memiliki tingkat persepsi yang tinggi terhadap peluang kerjasama dengan mitra atau investor. Pudjiastuti 2011 menyebutkan bahwa persepsi masyarakat
terhadap mitra kerjasamainvestor cukup tinggi 61.73. Hal ini diduga karena responden tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola
lahannya. Pola penanaman yang digunakan oleh masyarakat dalam satu kelompok
tani hendaknya dapat diselaraskan satu sama lainnya agar memudahkan dalam pengelolaan, mencari mitra bila masyarakat ingin mengelola dalam bentuk pola
kemitraan dan mencari peluang pasar.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan bawa prospek implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun rendah. a.
Berdasarkan hasil evaluasi kebijakan: masih terdapat perbedaan persepsi terhadap tujuan kebijakan HTR, asumsi yang digunakan tidak sesuai
dengan kondisi lapangan dan struktur implementasi yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya
b. Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan: kesiapan, komitmen dan
kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang sampai rendah, sedangkan modal
fisik, modal manusia dan modal sosial masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR masuk dalam katagori sedang
c. Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan: masyarakat masih
bersifat subsisten dan memiliki kebiasaan menanam tanaman karet d.
Berdasarkan hasil gap implementasi: tingkat partisipasi masyarakat masih rendah dengan derajat kesukarelaan dalam berpartisipasi
terinduksi. 2.
Kebijakan HTR masih perlu penyesuaian dalam implementasinya di Kabupaten Sarolangun. Rekomendasi yang diberikan untuk perbaikan adalah
sebagai berikut: a.
Dari sisi isi kebijakan: perumusan kebijakan hendaknya dapat mempertimbangkan kebutuhan pemda dan masyarakat; asumsi yang
digunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi lapangan, menyederhanakan struktur implementasi dengan lebih memberikan
dukungan sdm dan finansial kepada stakeholder kunci implementasi. b.
Dari sisi pelaku kebijakan: diperlukan peningkatan koordinasi antar instansi dalam implementasi kebijakan HTR sehingga dukungan sdm dan
finansial dalam implementasi kebijakan HTR dapat meningkat,
170 c.
Dari sisi lingkungan kebijakan: perlu mengakomodir tanaman karet sebagai salah satu tanaman pokok dalam implementasi HTR di Kabupaten
Sarolangun 3.
Rekomendasi strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun, adalah:
a. Mengakomodir pola pemanfaatan lahan yang ada saat ini sebagai salah
satu bentuk HTR b.
Mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan,
pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat
c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT
Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu
8.2 SARAN
1. Kementerian Kehutanan hendaknya mempertimbangkan kepentingan
pemerintah daerah dan masyarakat selaku implementator dan kelompok target dalam kebijakan HTR.
2. Kementerian Kehutanan perlu mempertimbangkan kembali peraturan
mengenai budidaya tanaman HTR yang menyebutkan bahwa tanaman budidaya berkayu termasuk karet paling luas hanya 40 dari areal HTR,
karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanaman karet merupakan primadona masyarakat.
3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun selaku core
pelaksana penentu keberhasilan implementasi HTR hendaknya dapat meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam implementasi kebijakan HTR,
terutama terhadap kelompok stakeholder yang memiliki tingkat kekuatan yang tinggi namun memiliki kepentingan yang rendah seperti Bappeda,
DPRD dan PT Samhutani.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin SZ. 2006. Kebijakan Publik. Edisi Revisi. Jakarta: Pancur Siwah. Alder PS, Seok WK. 2002. Social Capital: Prospect for a New Concept. Academy
of Management Journal 271:17 Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola
Agroforestry Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun-Jambi [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arnstein S. 1969. A Ladder of Citizen Partisipation. Journal of The American Planning Association35:216-224
Birner R, Wittmer H. 2000. Converting Social Capital into Political Capital. How do Local Communities Gain Political Influence? A Theoretical Approach
and Empirical Evidence from Thailand and Columbia. Paper submitted to the 8
th
[BKKBN Kabupaten Sarolangun] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2007. Laporan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten
Sarolangun. Sarolangun: BKKBN Kabupaten Sarolangun. Biennal Conference of International Association for the Study of
Common Property IASCP. Institute of Rural Development. Göttingen: Georg-August University.
[BPS Kabupaten Sarolangun] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun. 2007. Kabupaten Sarolangun dalam Angka. Sarolangun: BPS Kabupaten
Sarolangun Brown TH. 2004. Analysis of Population and Poverty in Indonesia‘s Forests.
Draft. USAID. Natural Resources Management Program. Jakarta. Budi, Wibawa G, Ilahang, Akiefnawati R, Joshi L, Penot E, Janudianto. 2008.
Panduan Pembangunan Wanatani Berbasis Karet Klonal. Bogor: World Agroforestry Center [ICRAF] SEA Regional Office, Indonesia
Chambers, R.1986. “Sustainable Livelihood, Environment and Development : Putting Poor People First, dalam Institute of Development Studies.
University of Sussex. Brighton, England.
Colchester M, Fay C. 2007. Land, Forest and People: Facing the Challenges in
South-East Asia. Rights and Resources Initiative Listening, Learning and Sharing, Asia Final Report September 2007.
Coleman J. 1988. Social Capital in Creation of Human Capital. American Journal of Sociology 94 supplement: pp S95-S120