Mahkamah Militer Internasional Mahkamah Pidana Internasional

122 Pendidikan Kewarganegaraan X Sesudah diberlakukannya Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional hanya mengadili perbuatan yang terjadi. Walaupun memiliki hubungan formal, mahkamah ini tidak menjadi bagian dari organisasi PBB sebab pembentukannya bukan atas inisiatif PBB, melainkan didasarkan pada perjanjian multilateral. Namun, Dewan Keamanan PBB mempunyai peranan penting dalam mahkamah tersebut. Dewan Keamanan bisa memprakarsai suatu penyelidikan terhadap sebuah kejahatan yang menjadi kewenangan mahkamah tersebut. Mahkamah Pidana Internasional terdiri atas 18 hakim yang bertugas selama 9 tahun. Pengangkatan para hakim dipilih oleh minimal 23 anggota yang telah meratifikasi Statuta Roma. Hakim-hakim tersebut tidak boleh dipilih kembali. Prinsip kerja Mahkamah Pidana Internasional adalah sebagai pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional bukan pengganti. Hal ini berarti bahwa mahkamah ini mengutamakan sistem peradilan nasional. Apabila sistem peradilan nasional tidak dapat maupun tidak bersedia melakukan proses hukum kepada suatu kejahatan, barulah berlaku yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

d. Pengadilan internasional khusus

Untuk menangani tindakan pelanggaran berat hak asasi manusia, dibentuklah pengadilan internasional khusus oleh PBB. Contohnya, sebagai berikut. 1 International Criminal Tribund for Yugoslavia ICYT , didirikan pada tahun 1993 untuk mengadili kasus pelanggaran HAM akibat perang etnik di negara bekas Yugoslavia berdasarkan Resolusi 808 Dewan Keamanan PBB Februari 1993. Pengadilan terhadap Slobodan Milosevic dan Ratko Mladic merupakan contoh pelaksanaan peradilan khusus ini. Keduanya adalah pemimpin Serbia yang dianggap paling bertanggung jawab dalam pembersihan etnik etnic cleansing terhadap orang-orang Kroasia dan Bosnia- Herzegovina yang hendak memisahkan diri dari Yugoslavia. 2 International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB tahun 1994 untuk mengadili kasus pelanggaran HAM akibat peperangan antara suku Huttu dan suku Tutsi di Rwanda, Afrika. Sumber: http:news.bbc.co.ukolmedia1420000images _1420066_milosevic300afp.jpg Gambar 3.12 Pengadilan terhadap Slobodan Milosevic mantan Presiden Serbia terkait dukungannya terhadap pembersihan muslim Bosnia oleh etnis Serbia-Bosnia selama perang Balkan 1993. 123 Bab 3 Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia Bermusyawarah Bermusyawarah 1. Buatlah kelompok kerja yang terdiri atas 4–5 orang, laki-laki dan perempuan. 2. Diskusikanlah sebuah tema “Perbandingan antara Perang Bosnia dengan Perang Rwanda dalam kaitannya dengan aspek HAM”. 3. Buatlah sebuah ringkasan, lalu presentasikanlah di depan kelas di hadapan kelompok yang lain. Mintalah guru bertindak sebagai moderator. 4. Kumpulkanlah hasil pembahasan tiap kelompok kepada guru untuk dinilaikan. 4 . 4 . 4 . 4 . 4 . K K K K Ke ik e ik e ik e ik e ikutse r utse r utse r utse r utse r ta a n I ndone sia da la m k ta a n I ndone sia da la m k ta a n I ndone sia da la m k ta a n I ndone sia da la m k ta a n I ndone sia da la m kon on on on onv v v v ve nsi inte r na siona l e nsi inte r na siona l e nsi inte r na siona l e nsi inte r na siona l e nsi inte r na siona l Pada tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights. Untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut, bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk ikut serta secara aktif dan meratifikasi berbagai instrumen internasional HAM ke dalam perundang-undangannya sendiri. Meratifikasi suatu perjanjian berarti bahwa suatu negara mengikatkan diri untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian dan bahwa ketentuan-ketentuan itu menjadi bagian dari hukum nasionalnya. Pada umumnya, pelaksanaan suatu perjanjian internasional melalui proses negosiasi perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Setelah diratifikasi, isi perjanjian tersebut berlaku sebagai hukum nasionalnya. Dengan meratifikasi berbagai instrumen internasional mengenai hak asasi manusia, maka Indonesia secara langsung sudah mengikatkan diri pada isi dokumen tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Selain itu, Indonesia harus siap mendapat pengawasan dari dunia internasional sewaktu-waktu mengenai praktik-praktik pelaksanaan ataupun pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Beberapa macam konvensi internasional tentang hak asasi manusia yang sudah diratifikasi Indonesia adalah sebagai berikut. a. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention on The Elimination of Discrimination Against Women diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984. b. Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Beracun serta Pemusnahannya Convention on the Prohibition of The Development, Production, and Stockpiling of Bacteriological Biological and Toxic Weapons and on Their Destruction diratifikasi dengan Keppres No. 58 tahun 1991. c. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 diratifikasi dengan UU No. 59 tahun 1928.