2. Indikator kebutuhan dasar : penurunan angka kematian bayi, rasio fasilitas kesehatanjumlah penduduk meningkat, rasio tenaga medis per penduduk
masih tinggi, penurunan angka putus sekolah, rasio murid per guru tinggi dan lainnya
3. Indikator pemerintahan : rasio penduduk per PNS meningkat dan rasio PAD per jumlah penduduk meningkat tajam dari Rp. 716.000 menjadi Rp.1.071.600
2003
2.8.3.3 Kehidupan Demokrasi Lokal
1. Indikator jumlah parpol: parpol yang mendapat suara dalam pemilu masih parpol lama
2. Indikator rasio jumlah pemilih: partisipasi penduduk tinggi dalam pemilu 3. Indikator unjuk rasa : kecenderungan meningkat
4. Indikator demokrasi lokal : jumlah LSM mengalami peningkatan
2.9 Standar Pelayanan Minimal
Standar pelayanan minimal adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah
yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sebagai sebuah kebijakan yang baru diperkenalkan, standar pelayanan minimal sudah selayaknya didukung
oleh peraturan perundang-undangan yang memadai mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan menteri terkait.
Standar pelayanan minimal minimum service standard merupakan suatu istilah dalam pelayanan publik yang menyangkut kualitas dan kuantitas pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Oentarto 2004, memberikan pemahaman arti bahwa standar
pelayanan minimal memiliki nilai yang sangat strategis bagi pemerintah baik pusat maupun daerah atau bahkan masyarakat sebagai konsumen. Adapun nilai
strategis tersebut terdidi dari beberapa bagian, yakni pertama, bagi pemerintah daerah, standar pelayanan minimal dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam
penentuan biaya yang diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan. Kedua,
bagi masyarakat, standar pelayanan minimal dapat dijadikan sebagai acuan mengenai suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.
2.10 Disparitas Pembangunan antar wilayah
Disparitas antar wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Disparitas antar wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-
sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan,
fasilitas perumahan dan sebagainya Rustiadi, 2007. Isu utama masalah pembangunan wilayah dewasa ini adalah disparitas
yang meliputi 1 disparitas antar wilayah, 2 disparitas antar sektor ekonomi dan 3 disparitas antar golongan masyarakatindividu. Permasalahan ini disebabkan
antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, top down, dan seragam. Konsep pembangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan
dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa rezim yang selama ini ternyata menyisakan ketimpangan.
Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan
kompleks. Pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi mikro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesanjangan
pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan
misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timut dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya.
Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.
Wilayahkawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash, yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai
tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara massif dan berlebihan. Sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan.
Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang Teori
Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu Negara
dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotes ini kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik.
Pada permulaan proses pembangunan menurut Hipotesa Neo-Klasik, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat sampai
ketimpangan tersebut mencapai titik puncak Divergence. Bila pembangunan terus berlanjut, maka setelah itu secara berangsur-angsur ketimpangan
pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun Covergence. Dengan kata lain, berdasarkan hipotesa ini kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah
atau ketimpangan regional adalah berbentuk huruf U terbalik Reserve U-shape Curve.
Sumber : Syafrizal , Tahun 2008 Gambar 5 Kurva Hipotesa Neo-Klasik
Beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan telah membuktikan bahwa ketimpangan pembangunan dan ketidakseimbangan melekat dalam setiap tahap
pembangunan. Gunnar Myrdal dalam Jhingan, 2003 mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses akibat sirkuler yang membuat
si kaya mendapat keuntungan lebih banyak dan mereka yang tertinggal di belakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik backwash effect cenderung
membesar dan dampak sebar spread effect cenderung mengecil yang semakin
Ketimpangan Regional
Tingkat Pertumbuhan Nasional
Kurva Ketimpangan Regional
memperburuk ketimpangan internasional dan regional di negara-negara yang sedang berkembang.
Hal tersebut sejalan dengan Hipotesis Kuznets mengenai relasi antara ketimpangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang dikenal dengan
kurva U terbalik inverted U. Simon Kuznets menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang berbentuk
U terbalik Kuncoro, 2004. Hasil ini diinterpretasikan sebagai suatu evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan menuju
ekonomi perkotaan atau dari ekonomi pertanian tradisional ke ekonomi industri modern. Pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah
besar sebagai akibat dari proses urbanisasi ke industrialisasi. Namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan,
ketimpangan menurun yakni pada saat sektor industri sudah dapat menyerap sebagian tenaga kerja yang datang dari perdesaaan sektor pertanian atau pada
saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. Kurva “U Terbalik” dari Kuznets ini adalah penjabaran dari kurva hipotesa Neo-
Klasik. Sumbu horizontal berupa “tingkat pembangunan nasional” diproksi dengan besarnya pendapatan perkapita dan sumbu vertikal berupa variabel
“ketimpangan regional” diproksi dengan kesenjangan pendapatan melalui Indeks Williamson.
Sumber : Van den Berg, Tahun 2001 Gambar 6 Kurva Hipotesis Kuznets
Ketimpangan Regional
Pendapatan per kapita
Ketimpangan pembangunan memiliki perbedaan dengan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pendapatan
digunakan untuk melihat ketimpangan kelompok masyarakat, sementara ketimpangan pembangunan bukan hanya melihat ketimpangan antar kelompok
masyarakat tetapi juga berorientasi untuk melihat perbedaan antar wilayah. Jadi yang dipersoalkan bukan hanya antar kelompok kaya dan miskin, melainkan
perbedaan antara daerah maju dengan terbelakang. Menurut sebagian ekonom, antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
memiliki hubungan kausal. Dimana ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan dan sebaliknya pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan. Pandangan dan
debat mengenai hubungan antara ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh Hipotesa Kuznets 1955 – dikenal dengan Kuznets
Hypothesis, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-shaped terbalik. Pada tahap awal pembangunan ekonomi,
distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negera tersebut mencapai status berpendapatan menengah middle-income. Implikasi
lebih lanjut ini sangat jelas, jika pada tahap awal pertumbuhan akan menciptakan ketimpangan, maka kemiskinan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk
berkurang di negara-negara berkembang Adams, 2003. Pandangan ketimpangan pembangunan di atas tersebut didukung oleh
penelitian Dollar dan Kray 2001 dan Adams 2003 yang lebih percaya bahwa pertumbuhanlah yang menciptakan ketimpangan dengan argumentasi bahwa
pertumbuhan akan menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan. Namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal
biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan kelompok lainnya dalam hal ini para buruh.
Perotti 1996 dan Forbes 2000 lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa ketimpangan yang diproksi oleh distribusi pendapatanlah yang
mempengaruhi pertumbuhan. Hal ini didasarkan bahwa distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun
sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan.
2.11 Penelitian Terdahulu