Indeks Williamson Disparitas Pembangunan Wilayah

Tabel 44 IKM dan Komponennya Kabupaten lebak Tahun 2002 dan 2008 No. Komponen Ikm Tahun 2002 2008 1 penduduk 40 tahun 22.8 20.1 2 Angka Harapan Hidup 61.9 63.1 3 Buta Huruf Dewasa 9.8 5.9 4 Penduduk tanpa akses ke air bersih 65.2 54.9 5 Penduduk tanpa akses ke Fasilitas Kesehatan 52.5 45.6 6 Balita Kurang Gizi 16.5 11 Indeks Kemiskinan Manusia IKM 32.43 27.09 Sumber : Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009 Apabila diperhatikan masing-masing indikator pembentuk indeks komposit IKM, tampak bahwa standar hidup layak masyarakat yang diukur melalui tiga jenis variabel masih relatif rendah. Hal tersebut ditunjukan dengan masih tingginya persentase penduduk yang berusia pendek yang meninggal sebelum usia 40 tahun sebesar 20,1 persen, banyaknya penduduk yang belum memiliki akses ke fasilitas air bersih sebesar lebih dari setengah penduduk Kabupaten Lebak 54,9 persen dan persentase penduduk yang jarak ke fasilitas kesehatan lebih dari 5 kilometer km sebesar 45,6 persen. Namun trend perkembangan tiap komponen pembentuk IKM dari tahun 2002 dan 2008 memperlihatkan perkembangan yang cukup baik dan menggembirakan, dimana menandakan pesatnya perkembangan pembangunan di Kabupaten Lebak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteran penduduknya.

7.2.2 Indeks Williamson

Melalui pengunaan nilai PDRB per kapita, maka dapat diketahui kondisi ketimpangan atau disparitas dalam suatu wilayah. Nilai PDRB per kapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah melalui alat berupa Indeks Williamson. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang menunjukan variasi produksi antar wilayah, semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin kecil nilai ini maka menunjukan kemerataan antar wilayah yang baik. Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2010 Gambar 32 Perkembangan Indeks Williamson Kabupaten Lebak Tahun 2005-2009 Berdasarkan perhitungan Indeks Williamson, disparitas pembangunan di Kabupaten Lebak hingga tahun 2009 masih relatif tinggi. Saat terjadi krisis di tahun 2008, angka disparitas di Kabupaten meningkat sangat tajam, yakni 0,711. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan kondisi wialayah dalam hal ini kecamatan dalam menanggapi terjadinya krisis akibat dari ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sektor primer pertanian. Tingginya angka disparitas Indeks Williamson ini konsisten dengan kondisi umum wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten lebak. Dimana pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita kecamatan-kecamatan sebagian besar jauh di bawah rata-rata kecamatan. Hal itu mengindikasikan terjadinya disparitas antar wilayah yang cukup mencolok, dimana satu kecamatan jauh tinggi sedangkan kecamatan lainnya tetap tertinggal di belakang. Angka disparitas yang tinggi ini dapat dikatakan sangat wajar bagi kabupaten seperti Kabupaten Lebak. Karena secara geografis, Lebak memiliki wilayah luas dengan tingkat keragaman wilayah yang sangat variatif. Setiap wilayah kecamatan dikaruniai sumberdaya berbeda satu dengan lainnya, ada yang berlimpah sumberdaya baik sumberdaya alami maupun buatan, sedangkan ada wilayah lainnya yang kekurangan sumberdaya. Luasnya wilayah Lebak menjadi kendala utama dalam proses pemerataan pembangunan. Kendala ini juga ditambah dengan rendahnya aksesibilitas, sehingga mesin-mesin pertumbuhan 0,683 0,686 0,695 0,771 0,690 0,62 0,64 0,66 0,68 0,7 0,72 0,74 0,76 0,78 1 2 3 4 5 2009 2008 2007 2006 2005 seperti pemberdayaan masyarakat dalam mengolah sumberdaya pertanian yang menjadi potensi utama terhambat karena sulitnya transportasi. Akibatnya, biaya ekonomi dalam proses produksi menjadi sangat tinggi dan mengurangi keuntungan. Kendala aksesibilitas dan luasnya wilayah ini juga menyebabkan terbengkalainya wilayah-wilayah yang jaraknya sangat jauh dari ibukota kabupaten sehingga beberapa wilayah di selatan kurang diperhatikan dan pertumbuhan pun berjalan lambat. Faktor lain penyebab disparitas adalah terjadinya pemusatan aktivitas ekonomi di Rangkasbitung sebagai pusat pemerintahan dimana sektor industri dan jasa berkembang pesat. Akibatnya terjadi mobilisasi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia secara besar-besaran dari luar Rangkasbitung menuju Rangkasbitung. Penyebab disparitas pembangunan wilayah di Kabupaten Lebak tidak terlepas oleh pengaruh yang besar dari faktor sosial ekonomi. Faktor sosial seperti keterampilan, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah di luar Kecamatan Rangkasbitung mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan. Kemudian rendahnya pendapatan ini menurunkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya ketiga hal tersebut selamanya menjadi lingkaran setan yang membuat sebagian besar wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Lebak semakin tertinggal dan terbelakang. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini menjadi perhatian yang sangat khusus, baik sebagai objek utama penelitian maupun fokus kebijakan Pemkab Lebak. Dari sisi kualitas kesehatan, di tahun 2008, angka harapan hidup sebesar 63,12 tahun, masih di bawah rata-rata Banten yang telah mencapai 64,60 tahun. Indeks kelangsungan hidup pun masuh di bawah rata-rata Banten yang telah mencapai 66,60, Kabupaten Lebak baru mencapai 63,60. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia atau human resources Kabupaten Lebak ini pun dilengkapi dengan rendahnya kualitas pendidikan masyarakat yang diindikasikan dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka melek huruf Kabupaten Lebak tahun 2008 adalah 94,10, sedangkan pada tingkat Provinsi Banten sudah mencapai 95,60. Untuk rata-rata lama sekolah, Kabupaten Lebak masih jauh di bawah rata-rata yakni 6,20 tahun, sedangkan Provinsin Banten sudah mencapai 8,10 tahun. Tingginya angka rata- rata lama sekolah Provinsi Banten ini tidak terlepas dari masukan angka yang tinggi dari kabupaten dan kota yang telah maju seperti Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Serang dan Kota Cilegon. Akibat dari rendahnya tingkat kelangsungan hidup, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang di bawah rata-rata, maka IPM Kabupaten Lebak pun masih di bahwa banten yakni 67,10 sedangkan Banten itu sendiri sebesar 69,70. Ketertinggalan IPM pada tingkat kabupaten pun diturunkan pada tingkat kecamatan, dimana tingkat kualitas kesehatan dan pendidikan kecamatan di luar Rangkasbitung masih di bawah rata-rata. Pada akhirnya, tingkat sumberdaya manusia ini kembali mempengaruhi pendapatan per kapita tiap kecamatan dan tentu saja angka disparitas wilayah di Kabupaten Lebak yang ditunjukan dengan Indeks Williamson yang tinggi selama lima tahun terakhir 2005-2009. Tingginya angka Indeks Williamson juga dilengkapi dengan masih tingginya indeks kemiskinan manusia. Jumlah penduduk miskin suatu wilayah secara sederhana dapat menjelaskan terjadinya disparitas pada wilayah tersebut. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lebak Tahun 2009 sebesar 12 persen, kemudian angka disparitas sesuai dengan Indeks Williamson adalah 0,69.

7.2.3 Analisis Sumber Disparitas