7.3 Keterkaitan Kualitas Sumberdaya Manusia, Struktur Ekonomi dan
Disparitas Pembangunan Wilayah
Pelayanan publik di Kabupaten Lebak memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kualitas sumberdaya manusia yang ada. Kenyataan yang terjadi
menerangkan bahwa pelayanan publik dalam bidang pendidikan dan kesehatan masih di bawah rata-rata. Masih banyak kekurangan dalam hal insfrastruktur dan
juga tenaga pelayan baik tenaga pendidik maupun tenaga kesehatan. Selain itu, apabila ditinjau dari sisi penilaian sikap masyarakat, kinerja pelayanan publik
pendidikan dan kesehatan masih kurang memuaskan. Akibatnya, IPM Lebak hingga tahun 2008 masih di bawah rata-rata Provinsi Banten, yakni 67,10 dengan
usia harapan hidup 63 tahun dan rata-rata lama sekolah 6,2 tahun atau setingkat sekolah dasar. Setelah dianalisis dengan pemodelan ekonometrika, kualitas
sumberdaya manusia yang ditunjukan oleh IPM ini dipengaruhi oleh rasio bangunan dan guru SD, SMP dan SMA. Dari keenam faktor tersebut, terdapat tiga
faktor yang secara positif ikut meningkatkan IPM yakni rasio bangunan SD dan SMP serta rasio guru SD. IPM tersebut juga dipengaruhi oleh pelayanan
kesehatan berupa rasio bangunan puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, dokter, perawat dan bidan, namun faktor yang secara positif meningkatkan IPM di
Kabupaten Lebak adalah rasio puskesmas, rumah sakit, dokter dan bidan. Keterkaitan selanjutnya dalam penelitan adalah antara kualitas sumberdaya
manusia itu sendiri terhadap struktur perekonomian dan tingkat disparitas di Kabupaten Lebak. Kondisi umum sumberdaya manusia yang dirujuk berdasarkan
angka IPM ini memberikan warna tersendiri yang cukup khas terhadap struktur ekonomi wilayah. Hingga tahun 2009, PDRB Kabupaten Lebak sebesar 7,3 triliun
rupiah dengan rata-rata per kapita 5,8 juta per tahun. Angka PDRB per kapita Lebak termasuk di bawah rata-rata apabila dibandingkan denga standar
penghasilan menurut World Bank yang mengharuskan seorang berpenghasilan sebesar Rp. 20.000 per hari atau setara dengan 7,2 juta per tahun. Rendahnya
penghasilan penduduk Lebak sangatlah wajar, karena hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya tingkat pendidikan akan
menyebabkan penduduk sulit untuk mencari pekerjaan yang ber-salary tinggi, pilihan untuk mencapai penghidupan yang layak pun mau tak mau ikut terbatas.
Sama halnya dengan tingkat kesehatan yang rendah, ikut menyumbangkan produktivitas pekerja yang kurang optimal. Alhasil, pendapatan per kapita
penduduk pun masih di bawah rata-rata standar internasional. Selain itu, kondisi PDRB tersebut ikut mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, dimana dalam
lima tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lebak mengalami tren pertumbuhan yang negatif, di tahun 2009 LPE lebak sebesar 7,7 persen.
Dengan kondisi sumberdaya manusia yang secara pendidikan setingkat dengan sekolah dasar, maka hal tersebut cukup mempengaruhi sebaran tenaga
kerja yang ada di Lebak. Tenaga kerja yang ada sebagian besar menempati sektor- sektor primer. Hal tersebut terlihat dari analisis Location Quotient yang
menerangkan bahwa terdapat enam sektor yang menjadi basis seperti pertanian, jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan konstruksi, keungan,
sewa dan jasa perusahaan, serta pertambangan dan penggalian. Di antara beberapa sektor basis tersebut yang masih paling dominan adalah pertanian primer. Hal ini
menunjukan bahwa ciri-ciri karakteristik penduduk Lebak yang masih memiliki level pendidikan cukup rendah, sehingga sektor yang paling banyak memberikan
sumbangan adalah pertanian primer, dimana menyumbangankan angka 38 persen terhadap PDRB Lebak di tahun 2009.
Kaitan lainnya antara kualitas sumberdaya manusia dengan struktur ekonomi dapat dilihat pada keragaan struktur perekonomian yang dianalisis
menggunakan Tipologi Klassen. Dengan tingkat sumberdaya manusia Kabupaten Lebak yang ada saat ini, berdasarkan hasil dari analisis Tipologi Klassen dapat
dijelaskan bahwa hampir 80-90 persen kecamatan di Lebak termasuk dalam daerah yang relatif tertinggal. Pada tahun 2009, sebanyak 26 kecamatan dari total
28 kecamatan termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal. Hanya ada dua kecamatan yang cukup baik, itu pun termasuk ke dalam daerah yang relatif
tertekan karena memiliki pendapatan tinggi namun pertumbuhan rendah, yakni Kecamatan Rangkasbitung dan Kalang Anyar. Khusus Kalang Anyar, walaupun
termasuk ke dalam wilayah dengan pendapatan tinggi namun pertumbuhan rendah, namun pada hakikatnya kecamatan ini sebelumnya adalah bagian dari
Rangkasbitung sebelum memekarkan diri pada tahun 2007. Status ketertinggalan
wilayah ini menandakan bahwa sebagian besar wilayah di Lebak memiliki angka pendapatan yang relatif rendah dengan pertumbuhan yang rendah pula.
Kualitas sumberdaya manusia juga selanjutnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan melalui Indeks Kemiskinan Manusia. Jumlah penduduk
miskin Kabupaten Lebak pada tahun 2008 masih tergolong sangat tinggi yakni sebanyak 156.940 jiwa atau setara dengan 12,05 persen dari total penduduk.
Angka penduduk miskin di Lebak ini disebabkan oleh sebagian besar penduduk yang masih memiliki tingkat pendidikan rendah, akibatnya mereka kesulitan
untuk bisa mendapatakan pekerjaan yang layak. Dengan pekerjaan yang kurang layak seperti buruh kasar atau buruh tani, maka penghasilan mereka pun cukup
rendah. Dengan rendahnya penghasilan mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian besar penghasilan tersebut hanya bisa digunakan
untuk kebutuhan-kebutuhan dasar saja. Garis kemiskinan penduduk Lebak di tahun 2009 telah mencapai angka Rp. 160.190. Angka tersebut dapat
diterjemahkan bahwa penduduk yang memiliki penghasilan per bulan lebih kecil dari Rp. 160.190 akan termasuk ke dalam penduduk miskin.
Keterkaitan terakhir adalah hubungan antara pengaruh kualitas sumberdaya manusia yang dilihat dari IPM terhadap angka Indeks Williamson.
Selama lima tahun terakhir, Indeks Williamson mengalami angka yang fluktuatif, namun apabila diambil garis regresi, angka tersebut cenderung mengalami
peningkatan. Di tahun 2009 angka disparitas masih sangat tinggi yakni 0,69, sedangkan pada tahun 2008 angka tersebut jauh lebih tinggi yakni 0,77 karena
dampak dari krisis ekonomi global yang berimbas pada perekonomian daerah. Berdasarkan perhitungan dari analisis regresi berganda, didapatkan bahwa angka
perkembangan IPM signifikan menjadi sumber disparitas di Lebak. Meningkatnya IPM akan menurunkan angka disparitas pembangunan wilayah Indeks
Williamson di Kabupaten Lebak. Beberapa faktor lain yang juga ternyata menjadi sumber disparitas dan apabila meningkat akan menurunkan menurunkan
angka disparitas adalah pertumbuhan PDRB, rasio belanja infrastruktur umum, dan pendidikan.
Pengaruh negatif dari faktor-faktor indikator pembangunan yang seharusnya diprediksi mampu menurunkan angka disparitas adalah fenomena
yang sangat wajar. Hal tersebut disebabkan karena proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini masih belum merata. Dimana wilayah yang lebih
banyak mendapatkan perhatian adalah wilayah utara, sedangkan wilayah di selatan masih belum mendapatkan porsi yang seharusnya. Akibatnya,
pembangunan yang dilaksanakan justru hanya akan memperlebar jurang pemisah antara wilayah utara dengan selatan, atau dengan kata lain angka disparitas akan
semakin meningkat. Oleh karena itu, agar mampu menurunkan angka disparitas pembangunan, maka langkah utama yang harus dijalankan adalah segera
mengimplemetasikan pemerataan pembangunan. Wilayah utara dan selatan harus dibanguan sebagaimana porsinya.
Dengan diketahuinya peran IPM terhadap perkembangan perekonomian Lebak seharusnya pemerintah segara melakukan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan IPM. Tentu saja, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia tersebut akan memberikan dampak turunan atau lebih popular disebut dengan
multiplier effect terhadap perkembangan pembangunan daerah, khususnya di Kabupaten Lebak yang tengah berbenah dan berhias diri agar mampu bangkit dari
keterpurukan.
BAB VIII STRATEGI ALTERNATIF KEBIJAKAN
Strategi alternatif kebijakan terbagi dalam tiga tahap, yakni tahap input, tahap pemaduan dan tahap keputusan. Pertama, tahap input merupakan tahap awal
dalam kerangka kerja perumusan strategi. Pada tahap ini, hasil audit lingkungan internal dan eksternal Kabupaten Lebak dikembangkan untuk menyusun matriks
IFE dan EFE. Kedua, tahap pemaduan menggunakan informasi yang diturunkan dari tahap input untuk mencocokan peluang dan ancaman eksternal dengan
kekuatan dan kelemahan internal. Pemaduan faktor-faktor strategis ini merupakan kunci untuk menghasilkan alternatif strategi yang layak dan kelak memberikan
perkembangan positif dalam pembangunan wilayah yang terdesentralisir di Kabupaten Lebak. Tahapan ini akan menggunakan analisis yang sering disebut
dengan analisis SWOT. Langkah selanjutnya dalam perumusan strategi alternatif adalah tahap
keputusan dengan analisis QSPM. Dengan QSPM ini akan ditentukan peringkat strategi sebagai acuan prioritas strategi yang akan diimplementasikan. Penentuan
peringkat ini merupakan tahapan akhir dalam perumusan strategi alternatif kebijakan pembangunan. Penentuan peringkat ini dilakukan dengan pemberian
daya tarik relatif strategi-strategi yang telah dihasilkan oleh analisis SWOT dengan menggunakan analisa Quantitative Strategic Planning Matrix QSPM.
Dengan adanya pembobotan nilai sesuai dengan penilaian stakeholder tersebut diharapkan kebijakan alternatif yang didapat pun memiliki tingkat efektifitas lebih
baik dalam melakukan perbaikan pembangunan.
8.1 Analisis Matriks IFE Internal Factor Evaluation
Analisis matriks IFE dan EFE dilakukan untuk mengkuantifikasi secara subjektif faktor-faktor strategis internal dan eksternal. Faktor-faktor strategis
tersebut kemudian diberi rating dan bobot oleh responden yang dianggap memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi pelayanan publik pendidikan dan kesehatan
di Kabupaten Lebak, sehingga alternatif kebijakan diharapkan akan lebih tajam dan mengenai terhadap permasalahan utama di Kabupaten Lebak.