Pak Sinaga Tokoh Tambahan

66 sehingga ia telah terbiasa dengan deburan ombak laut di tempat tersebut. Berikut kutipan 46 yang menggambarkan keberanian Pak Djayeng. 46 “Saya akan berangkat” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul, saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad kita.Bagaiman a Pak Darsono?” Suyono, 2014: 287 Kematian Pak Djayeng bersama rekannyaa Pak Darsono diawali oleh sumpah mereka berdua untuk mengambil bunga wijayakusuma. Mereka berdua memang keras kepala. Meskipun telah diperingatkan bahwa menjelang bunga wijayakusuma mekar, laut di sekitaran pulau tempat ia tumbuh akan sangat ganas, tidak dihiraukan oleh mereka. Pada perjalanan mereka yang pertama, perahu mereka tidak bertahan hingga 20 menit. Mereka terseret ombak, mengalami sesak napas, dan di rawat di rumah sakit di Cilacap. 47 Seluruh peritiwa menyedihkan ini dimulai dengan kematian Pak Djayeng dan Pak Darsono. Masih hangat dalam benak Suryo saat akhir April 1996 ia dan Jeanne setelah kemarian Bu Tien, mengikuti paguyuban ke Jambe Pitu di Pantai Cilacap. Di situ Pak Djayeng dan Pak Darsono bersumpah memetik bunga wijayakusuma di Pulau Biru Majeti. Seminggu kemudian, di awal Mei, mereka melaksanakan niat tersebut. Menurut kabar, mereka tak peduli ombak ganas. Baru 20 menit melaju, ombak membalikkan perahu mereka. Tubuh mereka terlempar-lempar. Susah payah mereka berenang ke pantai Suyono, 2014: 305. Kegagalan di perjalanan yang pertama tidak sedikit pun menggetarkan hati Pak Djayeng dan Pak Darsono. Sepuluh hari kemudian, mereka kembali 67 melaksanakan keinganan mereka tersebut. Kembali dengan motivasi yang sama, mereka tidak ingin bunga itu jatuh di tangan yang salah. Mereka ingin untuk mengamankan bunga tersebut sebelum didahului utusan Soeharto. Pada perjalanan mereka yang kedua tersebut, cuaca cukup cerah dan ombak pun tenang. Mereka berdua di lepas oleh Pak Sinaga dari atas bukit. Akan tetapi, perjalanan kedua ini memang betul merenggut nyawa mereka. Niat untuk mengambil bunga wijayakusuma pupus tanpa hasil. Berikut ini gambaran kecelakaan yang dialami Pak Djayeng dan Pak Darsono dalam kutipan 48. 48 Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas mereka. Mulanya perahu mereka berjalan lancar. Tapi begitu perahu hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran gelombang seperti angin lesus berputar-putar kencang memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang berbeda. Mayat mereka tak ditemukan. Hanya pecahan lambung perahu yang dilihat penduduk pantai Suyono, 2014: 306.

2.2.2.4 Pak Sewaka

Pak Sewaka merupakan pensiunan ahli radar. Pak Sewaka tinggal di kawasan Cibubur. Dia salah satu anggota paguyuban yang memiliki cukup banyak wawasan mengenai latar belakang kekuatan Soeharto. Kecerdasannya ini yang mewarnai sekian banyak diskusi mengenai Soeharto. Dari dialah muncul wacana bahwa kekuatan Soeharto sebenarnya juga disokong wahyu Bu Tien. Letak kekuatan Bu Tien terletak pada tusuk kondenya. Gambarannya mengenai masa kecil Bu Tien dan hubungan dengan Soeharto digambarkan cukup detail. Gambaran cerita Pak Sewaka ini terdapat pada halaman 197-206 Suyono, 2014. 68 Pengetahuan Pak Sewaka mengenai wahyu Bu Tien yang tersimpan di tusuk konde, membawanya untuk ikut terlibat dalam perburuan tusuk konde tersebut. Bersaing dengan banyak orang di petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Dalam perburuan tusuk konde tersebut, Pak Sewaka menjadi salah satu yang tidak pernah menyerah untuk bertahan. Ia bahkan menyewa sebuah tenda milik warga untuk tetap bertahan di sana. Perburuannya ini yang kemudian merebut nyawa Pak Sewaka. Berikut ini kutipannya 49. 49 Pak Sewaka tak pantang menyerah. Ia bahkan sampai menyewa sebuah bilik milik warga di sekitar Banglampir. Tiap hari sampai menjelang subuh, ia keluar dan memilih tempat konsentrasi di dekat patung-patung yang ada di situ. Tapi, suatu hari, setelah dua minggu berturut-turut bersemadi, ia ditemukan meninggal di antara pepunden-pepunden batu. Sama sekali tidak ada tanda- tanda ia dianiaya. Tubuhnya bersih, tak ada darah atau torehan luka. Dokter yang memeriksanya menyatakan ia meninggal seperti sesak napas karena kehabisan oksigen Suyono, 2014: 362.

2.2.2.5 Pak Radjiman

Pak Radjiman adalah ahli kartografi, pernah bekerja di Jawatan Topografi TNI AD. Sebagai mantan pegawai topografi, ia dikenal sebagai kolektor peta tua dan litografi Nusantara. Ia mengumpulkan peta dan gambar saring cetak dari pasar-pasar loakan dan balai lelang di Eropa. Rumahnya yang di Kelapa Gading seperti museum. Ia memigura peta-peta itu dan memasangnya di hampir setiap sudut rumah, dari lantai pertama hingga lantai kedua. Sebagai seorang kolektor, Pak Radjiman memiliki