Pak Djayeng Intelektual Counter-Hegemonic

149 Sebagai anak tentara, Jeanne telah terbiasa hidup dengan didikan bapaknya yang militer. Dampak dari pendidikan ini bisa jadi kemudian ikut membentuk pandangan Jeanne terhadap Soeharto. Ia menjadi iba bahkan takut saat anggota paguyuban membicarakan tentang Soeharto seperti yang tertuang dalam kutipan 17. Namun, bergabungnya Jeanne dengan anggota paguyuban telah mengikat hatinya di sana. Ia tidak dapat keluar dari kelompok ini meskipun telah teguh niatnya sebelum itu sebagaimana tergambar dalam kutipan 18. Jeanne dan Suryo pun memiliki wawasan arkeologis yang cukup luas. Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban Suyono, 2014: 230-Kutipan 17. Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu. Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di sidang paguyuban Suyono, 2014: 247-248-Kutipan 18. 150

3.2.2.2.10 Abah Moertopo

Abah Moertopo merupakan simpatisan paguyuban. Dengan demikian, ia menjadi bagian dari paguyuban juga. Kehadirannya dalam paguyuban memberikan sumbangsi wawasan mengenai kitab Bardo Thodol. Kitab itu semacam bekal bagi jenazah agar dalam kematiannya tak terombang-ambing dalam halusinasi dan mampu menggerakkan dirinya masuk ke dalam Rahim seorang ibu dan dilahirkan kembali. Pengetahuan mengenai Bardo Thodol ini semacam bekal bagi anggota paguyuban untuk siap mati kapan pun saat melakukan penyerangan terhadap sisi metafisik Soeharto. Dalam perjalan ke Jogja untuk menapaktilasi tempat Soeharto melakukan kungkum, Abah Moertopo juga ikut bergabung dalam perjalanan tersebut. 150 Dengan suara yang membuat orang seperti tersirap masuk ke sebuah pelataran punden yang suwung, Abah Moertopo menerangkan bahwa orang yang telah mempelajari Bardo Thodol harus sadar sedari sekarat kematian hanyalah sebuah daur yang beruntun. Bahwa tiap orang telah mengalami ribuan kematian dan kelahiran kembali Suyono, 2014 165.

3.2.2.2.11 Bante Purnomo

Bante Purnomo juga merupakan salah satu simpatisan paguyuban. Kehadirannya di paguyuban memberikan wawasan mengenai kitab Buddha Satthapanita, kitab dari zaman Sultan Agung. Wawasan ini ia peroleh sebab pernah menjadi pengurus di sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Istilah bante sebenarnya muncul karena pengalamannya pernah di wihara tersebut. Kitab Satthapanita adalah kitab teknik meditasi yang bertolak dari refleksi pembusukan