Menantang Maut Perlawanan Pasif

173 tersebut harus dibuang kembali ke laut. Pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa kemudian bangkit lagi dan mengalahkan kebudayaan Vietnam. 159 Jeanne mendengar dari mulut lelaki buntung itu, pemerintah Vietnam tak begitu suka dengan temuan-temuan barang Champa dari dasar laut. Pemerintah Vietnam merasa cukup banyak memiliki barang Champa. Pada masa penjajahan Prancis, banyak arkeolog Prancis yang berminat khusus mengumpulkan artefak Champa. Dan peninggalan mereka kini disimpan di museum. Menurut Phu Tram, pemerintah tak mau lagi menambah koleksi barang Champa Suyono, 2014: 91. Sebagai satu-satunya penyelam berdarah Champa, tentunya Phu Tram mendapat pengawasan yang lebih ketat dibandingkan penyelam-penyelam lainnya. Tidak jarang Phu Tram mengalami diskriminasi dari para aparat hegemoni seperti polisi dan Jawatan Kelautan Vietnam. Memang di kapal pengangkut barang-barang antik ada nakhoda, pembersih keramik, koki, dan para penyelam lainnya. Namun, ia merasa dirinya paling banyak diawasi. Diskriminasi itu juga muncul dalam hal pembagian tabung menyelam. Tabung selam milik Phu Tram dibedakan dengan tabung selam milik penyelam lainnya. Bukan hanya sekadar mengalami diskriminasi, Phu Tram juga bahkan pernah mengalami percobaan pembunuhan. Itu terjadi saat ia sedang menyelam. Belum lama ketika mencapai dasar lautan, tabung oksigen Phu Tram mendadak habis, sementara teman-teman penyelam lainnya masih hilir-mudik menggali harta karun. Pada akhirnya, ia sadar bahwa tabung oksigennya ternyata telah dirusak oleh para polisi agar ia mati ketika di dasar laut. Phu Tram pun berhenti dari kegiatan penyelaman setelah peristiwa tersebut. 174 Setelah kembali pulih, Phu Tram kembali diterima dalam suatu ekspedisi menyelamatkan harta karam di perairan Binh Thuan. Inilah awal dari kekecewaan Phu Tram kepada pemerintahan Vietnam. Dalam misi tersebut Phu Tram dan teman- teman penyelamnya menyelamatkan lebih dari 60 ribu keramik di kedalaman 40 meter. Ia kemudian merasa dikhianati karena keramik-keramik hasil pengangkatan tersebut diunduh ke tempat lelang Amerika dan Eropa. Padahal benda-benda tersebut bisa diselamatkan dengan membangun museum khusus dan benda-benda sejarah Asia Tenggara tersebut bisa disimpan dan dirawat dengan baik. Kekecewaan atas perlakuan pemerintahan Vietnam tersebut menjadikan Phu Tram memutuskan untuk tidak lagi tergabung dalam kelompok penyelaman negara. Ia merasa bahwa dengan mengambil benda kebudayaan Champa untuk pemerintahan Vietnam berarti sama dengan menjual kebudayaannya sendiri. Keluar dari kelompok penyelaman bukan berarti Phu Tram berhenti menyelam. Ia memutuskan untuk tetap menyelam meskipun dengan peralatan yang sangat sederhana lih. kutipan 78. Yang gila, ia juga tidak menggunakan peralatan menyelam standar. Ia sama sekali tak membawa tabung oksigen. Ia hanya membawa kompresor dengan selang panjang. Sahabat- sahabatnya dari atas yacht akan menjaga kompresor tersebut dan mengulurkan selang panjang yang akan menjadi alat bernapasnya di dasar laut. Sungguh nekat. Ia percaya Allah turut ambil bagian dalam usaha penyelamatan harta karun Champa Suyono, 2014: 99-Kutipan 65. Berdasarkan kutipan tersebut, peralatan yang digunakan Phu Tram memiliki risiko yang cukup besar atas dirinya. Selang yang digunakannya sebagai satu-satu sumber oksigen bisa saja terlilit karang ataupun bangkai kapal lalu pasokan oksigen 175 pun bisa saja berhenti. Kedalaman lokasi penyelaman Phu Tram juga memungkinkan ia tidak memiliki cukup waktu untuk kembali naik ke atas. Dalam kondisi tanpa oksigen, bisa menyebabkan seorang penyelam akan gelisah dan energinya bisa saja habis dalam upaya keras untuk kembali berenang ke atas. Itu pun jika tidak mengalami kram. Risiko tersebut tidak mengkhawatir Phu Tram. Ia tetap berani mengambil risiko yang sewaktu-waktu bisa saja merenggut nyawanya. Aktivitas penyelaman ilegal Phu Tram sebenarnya dibantu oleh rekan sesama suku Champa bernama Mualim Satu. Dari Mualim Satu-lah Phu Tram banyak belajar sekaligus mendapatkan bantuan dana. Sebagian besar benda-benda suku Champa yang ditemukan oleh Phu Tram di dasar laut di bawa ke rumah Mualim Satu. Di rumah Mualim Satu itulah, semua barang temuan Phu Tram dan penyelam lainnya dikumpulkan dan diamankan. Tindakan mengoleksi benda-benda kebudayaan suku Champa yang dilakukan oleh Phu Tram dan Mualim Satu juga bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Vietnam. Barang-barang yang secara jelas dilarang oleh pemerintahan Vietnam, dikumpulkan oleh Mualim Satu. Rumahnya seolah-olah menjadi sebuah museum yang kemudian hari semakin bertambah banyak dan dapat menyaingi kebudayaan Vietnam. Mengumpulkan barang-barang dari dasar laut tersebut seperti menumbukan kembali kejayaan suku Champa di masa lalu. 176

4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri

K ata “melawan” dalam pemahaman umum diartikan sebagai kontradiksi frontal antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang lain. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang dilakukan oleh Jeanne dan Suryo. Kepergian mereka ke luar negeri sebenarnya dapat juga diartikan sebagai sebuah perlawanan. Dalam pemahaman Perlawanan Pasif di atas, perlawanan dapat dilakukan dengan tidak melaksanakan kehendak mainstream atau kehendak umum sebagai bentuk protes. Sehingga jelas bahwa perlawanan tidak selalu ada kontak fisik maupun perang gagasan. Apa yang dilakukan oleh Jeanne dan Suryo adalah tindakan yang tidak dimengerti oleh banyak orang sebagai tindakan “melawan”. Itu berarti bahwa mereka tidak melaksanakan sikap dan tindakan mainstream. Jeanne dan Suryo setelah terlepas dari aktivitas paguyuban – tepatnya saat terjadi penyerangan Markas Besar PDI pada 27 Juli 1996, tidak lagi tergabung dalam perlawanan metafisik bersama anggota paguyuban. Mereka masuk dalam kesibukan mereka masing-masing tanpa terikat lagi dengan paguyuban. Jeanne kembali ke Malang dan akhirnya mendapatkan pengganti Suryo, sedangkan Suryo hidup tidak jelas dengan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sampai ia aktif di kegiatan- kegiatan kharismatik sebuah gereja dan bekerja suatu kantor penerbitan. Kepergian Suryo ke luar negeri atas dasar tugas dari tempat kerjanya atas mandat Kementerian Pariwisata untuk mendokumentasikan foto-foto candi yang ada di Asia Tenggara. Ia ke sana juga sebenarnya untuk melupakan rasa bersalahnya selama ini atas kematian ayahnya. Kepergian Jeanne ke luar negeri juga sebenarnya 177 atas permintaan ibunya karena melihat Jeanne mengalami kekecewaan atas kandanya pernikahan Jeanne dan Mas Tubagus. Untuk itu, ia berencana ke Hoi An untuk mengunjungi sepupunya Linda. Ketakutan tentang teluh dan pengalaman mistik di masa lalunya juga masih melanda perasaan Jeanne. Dengan tetap berada di Indonesia, kegelisahan dan kenangan dengan paguyuban bisa saja masih terbawa. Ketika di luar negeri, Jeanne dan Suryo masih tetap dikejar oleh teluh dari mistikus Soeharto, bahkan hingga masa Reformasi. Keberadaan mereka di luar negeri bukan berarti terhindar dari kenangan menakutkan masa lalu dan teluh. Jeanne saat mengunjungi Angkor masih dihantui oleh bayangan bapak-bapak paguyuban. Saat itu Jeanne sedang masuk ke dalam sebuah kolam kering Angkor. Tiba-tiba ia melihat sebuah kolam air imajiner yang sebelumnya berupa susu berubah menjadi keruh kecokelatan bercampur darah. 160 Dan dari air yang pekat menyembul tujuh kepala orang sepuh. Wajah bapak-bapak yang sekali waktu pernah dikenalnya. Ya, mereka sahabat-sahabat Suryo. Jeanne masih ingat nama bapak- bapak itu. Pak Sinaga, Pak Djayeng, Pak Priyambodo, Pak Danisworo, Pak Sewaka, Pak Radjiman. Ia merasa bapak-bapak itu juga mengenalnya Suyono, 2014: 9. Menyaksikan pemandangan mengerikan itu, Jeanne memutuskan untuk pergi meninggalkan kolam kering Angkor dan melanjutkan perjalanan ke Pnom Bakheng. Berdasarkan latar waktu kejadian di atas, bapak-bapak itu sudah 14 tahun tidak lagi dilihat oleh Jeanne bukan karena mereka menyepi di suatu tempat yang tidak diketahui oleh Jeanne, tetapi karena mereka sudah lama tewas secara tidak wajar oleh teluh mistikus Soeharto. Jeanne pergi meninggalkan Angkor bukan karena menyerah 178 pada bayangan ketakutannya, tapi ia melawan dengan pergi meninggalkannya. Selama di luar negeri pun Suryo masih dibayangi perasaan bersalah atas sakit jiwa yang diderita oleh ayahnya. Menurutnya, apa yang dialami oleh ayahnya sebenarnya merupakan teluh mistikus Soeharto yang sebenarnya kena kepada dirinya.

4.2.3 Perlawanan Humanistik

Perlawanan humanistik merupakan perlawanan terhadap kekuasaan tanpa kekerasan tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan tindakan mainstream sudah dipandang tepat atau belum. Perlawanan ini dilakukan oleh Romo Dijat.

4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa

Negosiasi dengan penguasa berarti melibatkan orang yang dilawan untuk mencapai kesepakatan tertentu. Dengan kehadiran penguasa atau pihak yang dilawan bukan berarti intensitas perlawanan tersebut menjadi berkurang atau bahkan tidak membawa pengaruh apa-apa. Negosiasi berarti melakukan proses tawar-menawar untuk mencapai kesepatakan tertentu. Entah itu meloloskan keinginan kelas penguasa ataupun orang yang melawan. Itu berarti terjadi perang gagasan untuk memenangkan kepentingan para penegosiasi melalui cara musyawarah dan tawar-menawar. Dalam konteks novel KdDL, Romo Dijat merupakan orang yang melakukan negosiasi kepada Soeharto. Kepentingan Romo Dijat saat itu adalah untuk menawarkan Soeharto agar tidak lagi melanjutkan kekuasaannya. Alasan Romo Dijat saat itu ialah tawaran tersebut merupakan petunjuk yang ia terima dari para leluhur. 179 Kepentingan Soeharto saat itu ialah meminta Romo Dijat agar tetap mendukungnya kembali berkuasa lih. kutipan 6. Romo Dijat sebetulnya sudah memperingatkan Soeharto. Tahun 1982, sebelum Soeharto menjabat presiden untuk periode yang ketiga, Romo Dijat sudah menyarankan Soeharto agar mengurungkan niatnya. Romo Dijat menerima wisik dari roh leluhur bahwa Soeharto ngotot. Ia tidak mau mendengar suara roh itu. Ia memohon kepada Romo Dijat agar merestuinya menjadi presiden lagi. Soeharto meminta Romo Dijat agar bersiarah dari petilasan ke petilasan leluhur lain untuk meminta restu. Bila perlu, sampai leluhur-leluhur di Bali dan Sumatera,” kata Pak Sungkono, diikuti anggukan dari rombongan Yogya Suyono, 2014: 235-Kutipan 6. Dalam proses negosiasi tersebut, Romo Dijat tidak memenangkan proses negosiasi. Proses negosiasi tersebut bisa saja berdampak sangat menguntungkan para oposisi Orde Baru jika seandainya Soeharto benar-benar melaksanakan petunjuk Romo Dijat. Dalam kasus ini, meskipun Romo Dijat merupakan bagian organik dari Soeharto. Namun, saat negosiasi dia menjadi senada dengan perjuagan para Intelektual Counter-Hegemoni, meskipun maksud negosiasi tersebut sebenarnya untuk menjaga Soeharto agar tidak berada di luar kendali dan semakin sewenang- wenang.

4.2.4 Perlawanan Metafisik

Perlawanan Metafisik merupakan perlawanan tidak kasatmata yang dilakukan melalui cara-cara spiritual kebatinan gaib oleh para mistikus atau pegiat kebatinan. Perlawanan ini dilakukan oleh dua pihak. Pihak pertama ialah anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih. Kedua, Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono 180 rekannya. Dalam novel KdDL, pembahasan mengenai jenis perlawanan ini cukup banyak dan runtut. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto telah menimbukan banyak penantangan dan protes. Cukup banyak aksi demostrasi kasar dan penyebaran petisi- petisi seperti yang dilakukan oleh Pak Sawito mulai banyak bermuculan. Gerakan tersebut tentu dengan cepat direspon oleh para aparat pemerintah. Banyak terjadi gesekan fisik di banyak tempat. 161 Saya lihat di sana-sini mulai ada gerakan buruh. Gerakan mahasiswa juga makin membesar. Sekuat-kuatnya gerakan mahasiswa menurut saya masih bakalan tak menggoyahkan Pak Harto. Jutaan orang berkumpul di lapangan Monas dikerahkan menuju istana, menurut saya, malah akan mengundang pertempuran dengan para loyalis Pak Harto. Katakanlah ada anggota MPR yang mengundurkan diri, membiokot, lalu ada divisi-divisi kepolisian dan tentara yang membelot, pasti itu menimbulkan counter dari orang-orang Pak Harto Suyono, 2014: 248-249. Namun, menyerang secara fisik saja sepertinya tidak mungkin. Legitimasi Soeharto juga ditopang oleh dunia kebatinan. Loyalisnya bukan hanya dari birokrasi, kalangan ABRI, dan partai politik saja, tetapi juga dari para mistikus kebatinan. Untuk itu, perlu sebuah aksi perlawanan terhadap dunia batin Pak Harto. Melalui cara inilah, Pak Sawito maupun anggota paguyuban yakin bisa menjatuhkan Soeharto. Dengan memutuskan untuk melawan secara metafisik, maka aksi mereka dilakukan secara diam-diam dengan menapaktilasi pepunden-pepunden yang pernah dikunjungi Pak Harto untuk mencari wahyu tandingan dan menggeser kekuatan wahyu yang menopang Pak Harto.