Aksi Demonstrasi Perlawanan Keras

169 di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar tikar Suyono, 2014: 363-Kutipan 52. Bertahan selama seminggu berarti duduk dalam posisi samadi dan berpuasa dengan tidak makan dan tidak minum. Aksi ini tentunya tidak dapat dilakukan oleh banyak orang. Dalam pikiran rasional, dengan tidak makan dan minum selama seminggu berarti mengakibatkan rasa lapar dan haus yang sangat menyiksa. Tidak makan dan minum juga mengakibatkan tubuh lemah dan kekurangan cairan dehidrasi. Selain itu, Pak Radjiman juga mesti menahan godaan dan ketakutan yang menyelimuti hutan Situ Panjalu. Apalagi hutan ini banyak terdapat harimau, ular, babi hutan baik yang asli maupun yang jadi-jadian. Motivasi Pak Radjiman melakukan tapak tilas dan tirakat ini ialah untuk mendapatkan wahyu ataupun pusaka. Ia melanjutkan misi paguyuban untuk menemukan wahyu tandingan menantang Soeharto. Meskipun sendirian, semangat perlawanan Pak Radjiman masih tetap ada di dalam hatinya.

4.2.2.2 Menantang Maut

Menantang maut berarti siap untuk menanggung sekian risiko berat bahkan kehilangan nyawa sekali pun. Dalam novel KdDL, terdapat beberapa tokoh yang melakukan aksi ini. Mereka itu ialah Pak Darsono dan Pak Djayeng serta Phu Tram. Mereka dinilai berani untuk mengambil risiko besar dengan motivasi untuk memperjuangkan suatu keinginan yang besar. Pak Darsono dan Pak Djayeng ialah untuk memotong pengaruh bunga wijayakusuma bagi keberlangsungan kekuasaan 170 Soeharto. Sedangkan Phu Tram, berjuang untuk menyelamatkan benda-benda kebudayaannya di dasar laut. Dalam rangkaian perjalanan spiritual melawan Soeharto, anggota paguyuban pergi ke tempat bernama Jambe Pitu, Cilacap. Perjalanan ini sebenarnya dengan maksud untuk melihat dari jauh Pulau Biru Majeti tempat bunga wijayakusuma tumbuh dan merencanakan perjalanan ke tempat tersebut. Berdasarkan orang-orang yang telah lama tinggal di sana bernama Pak Notodirojo dan Pak Soetomo, Pulau Biru Majeti dilindungi oleh alam dan laut. Siapa pun yang menuju ke sana pasti akan diserang oleh keganasan laut – gelombang di perairan ini memang dikenal cukup besar. Siapa pun pasti akan takut untuk mengemban tugas menyeberang ke Pulau Biru Majeti. Keperkasaan laut dan samudera akan menakutkan bagi siapa pun bahkan pelaut sekali pun. Tugas berat tersebut dengan berani diambil oleh Pak Darsono dan Pak Djayeng. Mereka bahkan bersumpah untuk berusaha sekuat mungkin mendapatkan bunga tersebut. Ketakutan mereka sebenarnya cuma satu, yaitu orang-orang suruhan Soeharto sampai lebih dahulu mengambil bunga tersebut. Pilihan tegas mereka berdua tentunya menantang rasa takut mereka sendiri termasuk kekhawatiran akan keganasan laut yang bisa kapan saja membalikkan perahu mereka dan menelan mereka sekaligus lih. kutipan 45 dan 46. “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera 171 ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut terbunuh. Kami tak ingin saling santet- menyantet,” kata Pak Dasono dari depan pintu Suyono, 2014: 288-Kutipan 45. “Saya akan berangkat” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul, saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad kita.Bagaiman a Pak Darsono?” Suyono, 2014: 287-Kutipan 46. Seminggu setelah melakukan sumpah mengambil bunga wijayakusuma. Pak Darsono dan Pak Djayeng bertolak ke Pulau Biru Majeti. Gelombang ganas memang menyerang mereka bertubi-tubi. Akan tetapi, mereka tidak peduli dan gentar sedikit pun. Perjalanan tetap dilakukan hingga kemudian setelah 20 menit melaju, sebuah gelombang besar membalikkan perahu mereka. Pak Darsono dan Pak Djayeng bersusah payah berenang kembali ke pantai meskipun tubuh mereka dihempaskan ke sana kemari oleh ombak besar. Mereka mengalami sesak nafas, sesaat dirawat di Cilacap, namun setelah itu dibawa ke Jogja dan dirawat di RS. Panti Rapih. Kejadian di perjalan pertama ini tidak membuat mereka kapok dan takut. Mereka bahkan lebih semangat dari sebelumnya. Pada perjalanan yang kedua, kondisi laut cukup tenang dan juga cuaca cukup cerah. Pak Sinaga melepas mereka dari atas bukit dan mereka pun kembali