Meneer Widjinarko Tokoh Tambahan
77
Abah Moertopo merupakan tokoh tambahan dalam novel KdDL. Ia pernah hidup di Kathmandu, Nepal dan bertemu dengan kaum hippie asal San Fransisco.
Selama di Nepal, Abah Moertopo pernah mempelajari berbagai yoga dan berbagai rahasia agama Syiwa dan Mahayana Budhisme. Raut wajah Abah Moertopo memang
keindia-indiaan padahal ia tidak sedikitpun memiliki darah Gujarat ataupun Tamil. Berikut kutipan 64 yang menggambarkan seperti apa Abah Moertopo.
64 Raut wajah Abah Moertopo memang tidak keindia-indiaan, apalagi bila kacamatanya dibuka. Padahal menurut dia sama sekali taka da
setetes darah Gujarat atau Tamil mengalir di tubuhnya. Asalnya Sragen. Ia kelahiran desa yang masih kawasan purbakala Sangiran.
Jeanne agak kaget karena di awal perkenalan, Abah Moertopo menyebut-nyebut kaum bohemian San Fransisco tahun 1970-an. Ia
mengaku berkawan dengan para pengikut band Grateful Dead dan Jerry Garcia Suyono, 2014: 163.
Abah Moertopo memiliki jiwa “liar” sama seperti kaum hippie dari San Fransisco. Karakter tersebut yang mendorong Abah Moertopo dengan spontan
mengikuti gerombolan kaum hippie yang sdang mencari jalan ke Kathmandu dan rela keluar dari tempat kerjanya di kapal pariwisata. Ia tertarik karena di Kathmandu
juga mereka bisa bertemu dengan guru-guru yang dapat mengajarkan perjalanan astral. Keputusannya saat itu yang menyebabkan Abah Moertopo menguasai Kitab
Bardo Thodol. Berikut ini kutipan 65 yang menggambarkan sebagian perjalanan Abah Moertopo bertemu dengan kaum hippie.
65 Jeanne ingat acara pertemuan tersebut dimulai dengan Abah Moertopo menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke Kathmandu. Ia ternyata
orang kapal. Kerja sebagai bartender di kapal pariwisata. Saat kapalnya menyandar di Pelabuhan New Delhi, ia bertemu dengan
rombongan hippie asal San Fransisco. Anak-anak muda berjanggut tebal dan berambut pelintir-pelintir panjang itu sehari-hari
78
menggelandang dan bermain musik di sepanjang jalan Haight- Ashbury, pusat bohemian San Fransisco. Abah Moertopo berkenalan
dengan mereka. Ternyata mereka mencari jalan ke Kathmandu. Menurut mereka, Kathmandu lebih eksotis daripada India. Mereka
ingin sekali sampai ke Kathmandu karena mereka mendengar di sana ada guru-guru yang mau mengajarkan perjalanan astral. Perjalanan
jiwa keluar dari tubuh. Abah Moertopo tertarik. Ia langsung memutuskan keluar kerja dari kapal dan bergabung dengan para
hippie itu Suyono, 2014: 163.
Bante Purnomo memiliki latar belakang sebagai pengurus sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Ia memang bukan seorang bante, tetapi orang
memanggilnya dengan gelar tersebut karena karena pernah tinggal di wihara. Perawakannya tinggi, wajahnya cerah. Berbekal pengalaman tinggal di wihara
tersebut, ia mendapatkan banyak pengetahuan tentang rahasia ajaran Budhis, salah satunya kitab yang ia ajarkan kepada anggota paguyuban, yaitu Kitab
Satthapanita.Berikut ini kutipan 66 yang menggambarkan siapa Bante Poernomo. 66 Pada pertemuan itu datang seseorang bernama Pak Poernomo.
Orangnya tinggi bersih. Parasnya cerah bagaikan baru saja digurah. Rambutnya disisir ke samping. Umurnya 60-an. Ia mengenakan
kemeja putih lengan pendek bagai seorang guru. Ia bukan seorang bante, namun anggota memanggilnya bante karena ia pernah tinggal di
sebuah wihara di Sri Lanka.
Pak Poernomo memiliki latar belakang pengurus sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Dalam pertemua itu, ia akan membabar
kitab Budha Satthapanita Suyono, 2014: 173.
Sebagai seorang pengajar Kitab Budha Satthapanita, Bante Poernomo harus memiliki daya imajinasi yang baik juga dapat menuntun orang untuk berimajinasi.
Oleh karena Kitab Budha Satthapanita bertolak dari refleksi pembusukan mayat, maka Bante Poernomo harus dapat menghidupkan imajinasi tentang pembusukan
mayat. Kemampuannya tersebut mengakibatkan anggota paguyuban terbawa
79
imajinasi dan kewalahan mengatasinya. Kutipan 67 berikut menggambarkan bagaimana Pak Sinaga menghentikan tuntunan pengimajinasian tentang proses
pembusukan mayat karena tidak mampu lagi melanjutkannya lagi. 67
”Stop, stop Bante, stop semua…,” akhirnya Pak Sinaga memerintahkan Bante Poernomo menyetop latihan malam itu
Suyono, 201: 176.
Gus Mutaqqin merupakan simpatisan paguyuban yang tinggal di lereng Merapi-Merbabu. Ialah yang akan mengurai kitab asli Jawa dari zaman Sultan
Agung bernama Kitab Pangrucutan. Ia adalah seorang kiai dengan penampilan klimis. Berikut kutipan 68 yang menggambarkan Gus Mutaqqin.
68 Ia adalah seorang kiai yang katanya memiliki sebuah pesantren kecil di lereng Gunung Merapi-Merbabu. Orangnya sih menurut Jeanne
tidak seperti sosok kiai. Dalam bayangan Jeanne, Gus Mutaqqin orangnya agak sepuh, berpeci, berjanggut. Tapi ternyata wajahnya
klimis. Rapi. Ia tampak sebagai seorang petugas pelelangan atau seorang analis kredit. Ia mengenakan hem abu-abu berbalut jas hitam
desa yang necis. Walaupun begitu, pengetahunannya tentang kitab Pangrucutan cukup luas Suyono, 2014: 178-179.
Dalam konteks tertentu, Gus Mutaqqin dapat dikatakan polos atau lebih tepatnya lugas. Ketika melakukan praktik kitab Pangrucutan, dibutuhkan seorang
volounteer untuk menjadi mayat. Salah satu syaratnya ialah zakar dari orang yang bersedia menjadi mayat tidak boleh dijepit oleh kedua paha, tetapi dihadapkan ke
atas. Saat itu yang menjadi mayat adalah Suryo. Terlambat memperbaiki posisi zakarnya, Gus Mutaqqin tidak sungkan merogoh sarung Suryo dan membetulkan
sesuai yang diinginkan. Berikut kutipan 69 yang menggambarkan kejadian tersebut. 69 Yang membuat penglihatan Jeanne tak percaya, Saat Suryo bingung-
dan juga dirinya serta bapak-bapak itu-mengenai apa yang dimaui Gus