Perjalanan Spiritual Paguyuban Anggoro Kasih
189
168 Obor-obor kecil kemudian ditancapkan membentuk lingkaran. Mereka semua duduk di samping obor-obor. Anggota
rombongan memperoleh informasi bahwa tatkala Pak Sawito selesai mendapat cahaya itu, R.M. Panji Trisirah yang
mendapingi Pak Sawito menemukan sebatang kayu hutan langka. R.M. Panji Trisirah percaya kayu tersebut disediakan
Tuhan sebagai bahan tongkat komando bagi Sawito Suyono, 2014: 289-290.
Menemukan tongkat tersebut bukan berarti Perjalanan Spiritual tersebut berakhir. Anggota paguyuban masih melanjutkan perjalan ke Alas Ketonggo. Kalau
di Gunung Sapto Renggo, anggota paguyuban mencari tongkat komando, maka perjalanan ke Alas Ketonggo tersebut untuk mencari tahta Kerajaan Majapahit yang
pernah ditinggal oleh Prabu Brawijaya V lih. kutipan 110. Dalam upaya mencari tahta di Alas Ketonggo ini, anggota paguyuban tidak berhasil mendapatkan apa yang
mereka cari. Rangkaian perjalanan ke Alas Ketonggo ini juga merupakan rute perjalanan yang juga pernah dilakukan oleh Pak Sawito sebelumnya.
Astaga, bukankah itu Alas Ketonggo di Ngawi, dekat Madiun? Jeanne tak percaya. Bagaimana mungkin hutan ini bisa
menyambung dengan kuil ketiga? Ia mengucek-ngucek matanya. Mirip ya mirip. Ya, tidak salah lagi. Ia ingat betul bagaimana
juru kunci bernama Saleh Pandan membimbing rombogan Pak Sinaga menapaktilasi perjalanan Sawito Kartowibowo memasuki
Hutan Ketonggo. Rombongan mencari lokasi pendapa istana tak terlihat bernama Manik Kumolo. Lokasi itu dipercaya menjadi
tempat penyimpanan takhta istana Suyono, 2014: 609-Kutipan 110.
Pada 27 Juli 1996, tepat pada saat peristiwa Sabtu Kelabu, Pak Sinaga menganjurkan kepada semua anggota paguyuban agar memencar. Ia menyadari
bahwa aktivitas metafisik mereka mulai tercium oleh mistikus Soeharto. Lagi pula kondisi Jakarta saat itu sedang tidak aman. Pak Sinaga khawatir jika anggota
190
paguyuban yang lain tertangkap oleh aparat. Sejak saat itu aktivitas paguyuban berhenti. Beberapa bapak-bapak melanjutkan perjalanan spiritual sendiri-sendiri.
Pak Sinaga melanjutkan perjalanan spiritual sendiri ke Desa Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Perjalanan ke tempat ini adalah untuk mencari sisa-sisa
pusaka keluarga Pak Sawito. Setelah dari desa tersebut, Pak Sinaga melanjutkan perjalan ke Candi Sawetar, Desa Kanigoro. Di situlah Pak Sinaga dibunuh oleh juru
makam jadi-jadian lih. kutipan 43. Pak Djayeng dan Pak Darsono sebelumnya juga sudah melaksanakan sumpah mereka mengambil bunga wijayakusuma yang
kemudian merenggut nyawa mereka. Pak Sewaka melanjutkan perjalanan ke petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Ia
memang sejak awal percaya bahwa Soeharto juga disokong oleh wahyu Bu Tien. Wahyu tersebut terdapat pada tusuk konde Bu Tien. Semenjak kematian Bu Tien,
tusuk konde tersebut menghilang. Pak Sawito ke Banglampir untuk mencari tusuk konde tersebut. Sedangkan Pak Radjiman melanjutkan perjalan ke Situ Panjalu untuk
menemukan pusaka di kuncup-kuncup kuburan lih. poin 4.2.2.1. Meneer Widjinarko pun tetap melakukan perjalanan mandiri. Ia berupaya untuk bertemu
dengan Jalono, sosok gaib, sosok yang dipercaya memegang mahkota kerajaan Majapahit. Upaya Meneer tersebut juga gagal. Perjalanan tersebut merenggut nyawa
Meneer Widjinarko. Meneer meninggal tanpa memberi informasi kepada siapa sebenarnya mahkota Majapahit tersebut akan diberikan.
“Pak Sinaga ditusuk di Blitar. Pak Sinaga mengunjungi Desa Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Pak Sinaga berusaha
191
mencari pusaka-pusaka yang masih disimpan oleh keluarga Pak Sawito, tapi agaknya diikuti…”
Suryo syok. “Ia ditikam juru makam saat berziarah ke Candi Sawentar, di
Desa Konigoro Suyono, 2014: 308- 309.”-Kutipan 43.
169 Meneer Widjinarko kemudian berulang kali nyekar Trowulan. Ia melakukan tirakat di pepunden-pepunden hutan pakis tempat
kompleks pemakaman kuno. Ia manekung di Candi Waringin Lawang sampai Gua Anggar Besi. November 1997, dikabarkan
Meneer Widjinarko melakukan tirakat di Siti Inggil, tempat yang dipercaya sebagai makam Raden Wijaya. Mendadak napasnya
tersenggal-senggal. Dari mulutnya keluar buih-buih. Juru kunci melarikannya ke Rumah Sakit Mojokerto. Ia sempat dirawat di
rumah sakit. Di sela-sela infus yang menancap di hidungnya, suster mendengar sepatah-patah ia menceritakan Jalono datang
Suyono, 2014: 367-368.
Paguyuban Anggoro Kasih dan aktivitasnya perlahan hilang seiring dengan tewasnya satu per satu anggota paguyuban. Jeanne dan Suryo juga masih mengalami
teror dari teluh para mistikus Soeharto bahkan hingga zaman Reformasi. Soeharto memang pada akhirnya jatuh karena sedikit demi sedikit wahyu yang menopangnya
terkikis habis oleh sisa-sisa perlawanan metafisik atasnya. Orang-orang kepercayaan Soeharto pun satu-persatu pergi meninggalkannya karena pemimpin rezim tersebut
semakin sewenang-wenang. Ia akhirnya jatuh atas nama aksi fisik mahasiswa dan demonstran yang keras. Tidak banyak yang tahu bahwa perlawanan metafisik
paguyuban dan Pak Sawito juga berperan menggeser Pak Harto dari tahtanya. Kejatuhan Soeharto bukan berarti menghilangkan bayang-bayang Pak Harto.
Teluh yang masih mengejar Jeanne dan Suryo sebenarnya menggambarkan bahwa musuh Orde Baru tersebut masih hidup hingga saat ini. Ia masih mengisi berbagai
posisi dan kepemimpinan di jajaran-jajaran kursi pemerintahan. Kemiskinan yang di
192
atasi di masa Orde Baru muncul di masa kini. Kebijakan Soeharto di masanya seperti bom waktu. Reformasi menanggung hutang dan kerusakan alam yang disebabkan
oleh Orde Baru.