Gunung Sapto Renggo Latar Tempat

103 105 “Kuil ketiga itu terlarang bahkan untuk sesama pandita. Para sulinggih yang belum mencapai taraf tertentu tak diperbolehkan masuk. Kuil tersebut tempat para pandita senior melakukan latihan-latihan menerbangkan roh seperti yang pernah mereka lihat di Jawa Suyono, 2014: 573. Perbincangan mengenai Kuil di Dasar Laut dalam novel ini cukup serius. Meskipun sebenarnya, penampakkan kuil tersebut hanya merupakan fatamorgana dari imajinasi Phu Tram, Jeanne, dan Mualim Satu. Hanya saja ada sedikit keunikan yang terjadi di antara mereka bertiga. Mereka melihat penampakkan kuil dengan bentuk yang sama persis. Mualim menceritakan mengenai apa yang dilihatnya saat terlintas dalam penglihatan membuat Jeanne kaget. Itu karena apa yang disaksikan oleh Mualim persis sama dengan apa yang disaksikan oleh Jeanne. Jika kuil tersebut hanya merupakan hasil dari fantasi mereka masing-masing maka tentu bayangan tentang kuil tersebut akan berbeda-beda. Itulah sebabnya, dapat digambarkan bahwa sebenarnya Kuil di Dasar Laut merupakan representasi sesuatu yang kadar pemahamannya sama di antara Jeanne, Phu Tram, maupun Mualim Satu. Berikut ini gambaran dalam kutipan 106 mengenai kesamaan penampakkan Kuil di Dasar Laut dalam penglihatan Jeanne dan Mualim Satu. 106 Jeanne terkesima. Apa yang dilaluinya juga dilalui oleh Mualim Satu. Bagaimana bisa? Ia mulai percaya bahwa memang kuil itu benar-benar ada. Kuil itu tak hanya ada dalam benak, tapi memang karam di dasar laut. Phu Tram, dirinya, dan Mualim Satu menyaksikan melalui jalan yang berbeda. Dan kini jalan yang mereka tempuh sendiri-sendiri mulai hendak disamakan. Jeanne mulai yakin dengan khasiat bubuk yang diisap Mualim Satu Suyono, 2014: 575. 104 Baik Phu Tram, Jeanne, maupun Mualim Satu memiliki pengalaman yang pahit dalam kehidupan mereka. Phu Tram memiliki pengalaman didiskriminasi oleh orang-orang Vietnam dalam setiap upayanya untuk menyelamatkan harta bangsanya. Ia diperlakukan tidak wajar dan nyaris dibunuh suatu ketika saat menyelam oleh orang-orang Vietnam. Kenyataan direpresi oleh pemerintah Vietnam yang membuatnya untuk melakukan perlawanan dengan cara keluar dari kelompok penyelaman negara dan melakukan penyelaman ilegal. Mualim Satu mengalami nasib buruk ditinggal oleh istri dan kedua anaknya secara tidak wajar. Selama hidupnya ia menyesal karena mengizinkan istrinya untuk liburan ke Kamboja hingga mereka terbunuh dengan kejam oleh tangan orang Khemer Merah. Ia melawan kesedihannya dengan madat. Jeanne mengalami nasib buruk karena dikejar oleh teluh sejak melakukan perlawanan terhadap dunia metafisik Soeharto. Nasib rumah tangganya dengan mas Tubagus juga hancur di tengah jalan. Ia “melawan” masalah kehidupannya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri. Kuil di Dasar Laut - secara khusus kuil lapisan yang ketiga – dapat digambarkan semacam representasi keagungan zat tertinggi yang bisa menjawab berbagai persoalan orang-orang dengan serangkaian tantangan dalam hidup. Untuk mencapainya, diperlukan berbagai upaya yang tidak mudah. Tidak sembarang orang pula yang dapat melihatnya. Kuil lapisan ketiga menjadi kuil teragung. Di sana bersemayam hal yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun sebelum mencapainya. Dalam novel KdDL, penampakan Kuil di Dasar Laut hanya dilihat oleh Jeanne, Mualim Satu, dan Phu Tram, tokoh-tokoh yang memiliki serangkaian persoalan