Perjalanan Spiritual Pak Sawito
186
Perjalanan menuju ke Padang Lawas dilakukan oleh Pak Sinaga, Pak Koentono, dan Suryo. Tempat yang akan mereka pergi adalah Bhairo Bahal. Tempat
tersebut merupakan lokasi pemujaan kepercayaan Heruka lih. kutipan 97. Maksud kedatangan mereka ke tempat tersebut ialah untuk memohon kepada leluhur-leluhur
di sana agar tidak terjadi pertumpahan darah saat masa transisi kekuasaan Soeharto. Mereka takut terjadi pertumpahan darah dan penjarahan hebat seperti peristiwa Muso
Madiun atau peristiwa pembantaian bengis di tahun 1966. Pak Sinaga lalu menguraikan betapa sampai sekarang masih susah
mencapai Bairo Bahal. Daerahnya sangat tandus, tapi sangat luas, berhektar-hektar. Pak Sinaga mengenang, saat ia masih kecil, Bairo
Bahal sama sekali belum dijamah arkeolog. Di padang gersang Bairo Bahal, di sana-sini, ia menyaksikan puing-puing candi batu bata.
Betapapun
candi-candi itu
sekarang sudah
sedikit-sedikit direkonstruksi, masih banyak yang masih reruntuhan atau bekas-bekas
Suyono, 2014: 255-Kutipan 97. Hubungan antara kepercayaan Heruka dengan ketakutan akan pertumpahan
darah sebenarnya terletak pada model ritual-ritual Heruka yang selalu menggunakan manusia sebagai sesaji-sesaji. Para penganut agama Heruka percaya bahwa dengan
melakukan meditasi di kuburan dan memakan daging manusia, serta meminum darah merupakan jalan singkat atau metode cepat untuk mencapai tingkatan tinggi
spiritualitas. Model kepercayaan ini juga tumbuh subur di Jawa dan berkembang hingga saat ini. Berikut kutipan 167 yang mencontohkan kebiasaan kepecayaan
Heruka yang dipraktikkan saat pembantaian warga PKI di tahun 1966. 167
”Saudara-saudara,tanpa kita sadari,agama Bhairo Bahal meresap sampai jauh ke zaman kita. Saudara-saudara ingat bukan di Jawa
Timur, tatkala geger tahun 1966, banyak anggota BTI dan organisasi-organisasi pemuda onderbouw PKI diburu oleh massa
187
dan pendekar-pendekar pesantren. Mereka ditangkapi dan para pemimpinnya
sering digorok
oleh masyarakat.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana ada pendekar yang meraup
darah anggota PKI itu dan meminumnya. Itu dikatakan agar roh gentayangan anggota PKI tidak mengejar-ngejarnya. Tapi saya
melihat, perbuatan mereguk dan meminum darah itu sebenarnya sisa-sisa dari tradisi ritual agama Heruka, Padang Lawas. Agama
Heruka dan Bhairawa itu masih bergolak dalam alam bawah sadar masyarakat kita. Dan yang bahaya, itu bisa muncul spontan
saat terjadi kerusuhan…,” Suyono, 2014: 254. Anggota paguyuban percaya, dengan memandikan arca Heruka dan Bhairawa
dan meruwat, tidak akan terjadi pertumpahan darah. Bila tidak, leluhur-leluhur penganutnya masih akan bergentayangan meminta korban. Pak Sinaga akan berdoa di
tempat itu agar jatuhnya Pak Harto tidak akan menimbulkan kekacauan panjang. Selain arca Heruka, ada pula arca Bhairawa. Arca Bhaiwara ternyata bukan
saja ada di Bhairo Bahal, tetapi juga ada di Museum Nasional dan di Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden. Pak Koentono menugasi Suryo untuk mengurusi arca
Bhairawa di Museum Nasional dan teman Pak Koentono bernama Van Mollen yang mengurusi arca Bhairawa di Belanda. Arca Bhairawa tersebut nanti akan diberikan
sesajen pada bagian kakinya dan mengurapi seluruh bagian tubuhnya hingga wajahnya.
Setelah melakukan perjalanan ke Bhairo Bahal, paguyuban melanjutkan perjalanan ke Jogja. Tempat yang dituju di Jogja adalah Telaga Titis, tempat Soeharto
dilatih oleh Romo Marto lih. poin 2.3.1.3. Perjalanan ke tempat ini dilakukan oleh Pak Sinaga, Jeanne, Suryo, Pak Djayeng, Pak Darsono, Pak Priyambodo, Pak
Danisworo, Pak Radjiman, Pak Sewaka, Abah Moertono, Bante Purnomo, Gus
188
Mutaqqin, dan Pak Burhan. Di tempat ini mereka juga melakukan kungkum, seperti yang pernah dilakukan oleh Soeharto. Harapan dari aksi ini adalah agar ketika Pak
Harto turun nanti, tidak terjadi huru-hara. Setelah dari Jogja, rombongan melanjutkan perjalanan ke pertapaan Jambe
Pitu, Cilacap. Perjalanan tersebut dimulai pada pukul 12 malam. Jambe Pitu merupakan lokasi yang biasa dikunjungi Pak Harto untuk menerima wisik dan
menguatkan batin. Pada perjalanan kali ini, mereka ditemani oleh murid Romo Dijat. Di tempat ini, mereka bisa melihat Pulau Biru Majeti. Pulau ini ditumbuhi bunga
wijayakusuma. Dalam upaya mengambil bunga ke pulau tersebutlah Pak Darsono dan Pak Djayeng tewas diterjang gelombang laut. Perjalanan ke Jambe Pitu memang
sebenarnya untuk membahas mengenai bunga wijayakusuma. Dari Jogja, anggota paguyuban melanjutkan perjalanan ke perbatasan Kudus-
Jepara, tepatnya di Gunung Sapto Renggo. Tempat ini dipercaya oleh anggota paguyuban sebagai lokasi Pak Sawito memperoleh wangsit berhubungan dengan
susunan kabinet dan pembantu-pembantu presiden. Saat tiba di sana, anggota paguyuban langsung menanam sejumlah obor berbentuk lingkaran dan mereka duduk
di samping obor-obor tersebut. Mereka bermeditasi sambil berharap bahwa akan mendapatkan tongkat pemberian Tuhan, sama seperti yang pernah diberikan oleh
R.M. Panji Trisirah kepada Pak Sawito. Tongkat tersebut dipakai oleh Pak Sawito sebagai tongkat komando. Di tengah meditasi, beberapa bapak paguyuban mencoba
mencari tongkat tersebut di rerumputan sekitar tempat mereka bersemadi. Mereka akhirnya betul-betul mendapatkan tongkat tersebut.
189
168 Obor-obor kecil kemudian ditancapkan membentuk lingkaran. Mereka semua duduk di samping obor-obor. Anggota
rombongan memperoleh informasi bahwa tatkala Pak Sawito selesai mendapat cahaya itu, R.M. Panji Trisirah yang
mendapingi Pak Sawito menemukan sebatang kayu hutan langka. R.M. Panji Trisirah percaya kayu tersebut disediakan
Tuhan sebagai bahan tongkat komando bagi Sawito Suyono, 2014: 289-290.
Menemukan tongkat tersebut bukan berarti Perjalanan Spiritual tersebut berakhir. Anggota paguyuban masih melanjutkan perjalan ke Alas Ketonggo. Kalau
di Gunung Sapto Renggo, anggota paguyuban mencari tongkat komando, maka perjalanan ke Alas Ketonggo tersebut untuk mencari tahta Kerajaan Majapahit yang
pernah ditinggal oleh Prabu Brawijaya V lih. kutipan 110. Dalam upaya mencari tahta di Alas Ketonggo ini, anggota paguyuban tidak berhasil mendapatkan apa yang
mereka cari. Rangkaian perjalanan ke Alas Ketonggo ini juga merupakan rute perjalanan yang juga pernah dilakukan oleh Pak Sawito sebelumnya.
Astaga, bukankah itu Alas Ketonggo di Ngawi, dekat Madiun? Jeanne tak percaya. Bagaimana mungkin hutan ini bisa
menyambung dengan kuil ketiga? Ia mengucek-ngucek matanya. Mirip ya mirip. Ya, tidak salah lagi. Ia ingat betul bagaimana
juru kunci bernama Saleh Pandan membimbing rombogan Pak Sinaga menapaktilasi perjalanan Sawito Kartowibowo memasuki
Hutan Ketonggo. Rombongan mencari lokasi pendapa istana tak terlihat bernama Manik Kumolo. Lokasi itu dipercaya menjadi
tempat penyimpanan takhta istana Suyono, 2014: 609-Kutipan 110.
Pada 27 Juli 1996, tepat pada saat peristiwa Sabtu Kelabu, Pak Sinaga menganjurkan kepada semua anggota paguyuban agar memencar. Ia menyadari
bahwa aktivitas metafisik mereka mulai tercium oleh mistikus Soeharto. Lagi pula kondisi Jakarta saat itu sedang tidak aman. Pak Sinaga khawatir jika anggota