Pak Sinaga Pak Darsono

148 tersebut tentunya sangat sensitif dan berpengaruh fatal saat itu. Berikut kutipan 149 membuktikan sikap berani Pak Koentono di atas. 149 Awalnya ia heran mengapa saat Pak Koentono membicarakan Ganesha, ia berani sekali mengeritik pemerintah Soeharto. Mengapa bapak-bapak itu membiarkan Pak Koentono mengoceh seenaknya tentang Pak Harto. Bukankah itu berisiko sekali? Suyono, 2014: 195

3.2.2.2.8 Suryo

Suryo merupakan bagian dari paguyuban. Bergabungnya ke paguyuban memang tanpa niatan sejak awal. Ia sampai masuk ke dalam paguyuban karena sering dimintai oleh Pak Sinaga dan bapak-bapak anggota paguyuban lainnya untuk berurusan dengan benda-benda antik lih. kutipan 27. Relasinya dengan bapak-bapak tersebut yang kemudian memosisikan Suryo untuk ikut bergabung dalam paguyuban dan menjadi bagian organik dari kelompok tersebut. Jeanne pernah ikut membantu Suryo membungkus pedang samurai. Pedang itu sepasang…. Pedang tersebut milik seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang pada tahun 1942 memimpin pendudukan ladang minyak Tarakan. Jeanne tahu Suryo diminta Pak Sinaga, seorang kenalan Suryo, mengurus pembelian pedang. Berkali-kali sebelumnya Pak Sinaga bertemu dengan keluarga polisi di Tarakan. Membujuk agar keluarga tersebut mau melepas samurai. Dan akhirnya setelah harga disepakati, ia mengutus Suryo menjemput pedang. Suryo dibekali sebuah tas berisi uang tunai sekitar 20 juta rupiah Suyono, 2014: 139-140-Kutipan 27.

3.2.2.2.9 Jeanne

Jeanne sebenarnya ikut keciprat kebiasaan Suryo untuk berelasi dengan bapak-bapak paguyubandan akhirnya juga ikut bergabung dengan paguyuban. 149 Sebagai anak tentara, Jeanne telah terbiasa hidup dengan didikan bapaknya yang militer. Dampak dari pendidikan ini bisa jadi kemudian ikut membentuk pandangan Jeanne terhadap Soeharto. Ia menjadi iba bahkan takut saat anggota paguyuban membicarakan tentang Soeharto seperti yang tertuang dalam kutipan 17. Namun, bergabungnya Jeanne dengan anggota paguyuban telah mengikat hatinya di sana. Ia tidak dapat keluar dari kelompok ini meskipun telah teguh niatnya sebelum itu sebagaimana tergambar dalam kutipan 18. Jeanne dan Suryo pun memiliki wawasan arkeologis yang cukup luas. Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban Suyono, 2014: 230-Kutipan 17. Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu. Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di sidang paguyuban Suyono, 2014: 247-248-Kutipan 18.