Abah Moertopo, Bante Poernomo, dan Gus Mutaqqin

80 Mutaqqin, kiai itu langsung spontan merogoh sarung Suryo dan tampak memegang kemaluan Suryo. Ia membenarkan posisi titit Suryo supaya tidak menggelantung terjepit paha Suyono, 2014: 180- 181.

2.2.2.12 Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi

Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi merupakan tiga guru Soeharto. Mereka saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Soeharto biasanya banyak berkonsultasi dengan mereka jika akan mengambil keputusan-keputusan penting baik menyangkut kenegaraan, masyarakat, hingga urusan pribadi. Romo Dijat memiliki karakter yang misterius sekaligus sangat berwibawa. Itulah mengapa ia sangat dikagumi oleh Soeharto. Sebagai seseorang yang menekuni aliran kebatinan, Romo Dijat sering melakukan tirakat di pepunden-pepunden leluhur. Soeharto melihat Romo Dijat untuk yang pertama kali saat melakukan ziarah di makam Trowulan. Berikut ini kutipan 70 yang menggambarkan mengenai perangai Romo Dijat. 70 Pada tahun 1961, saat Soeharto belum menjadi presiden, Romo Marto menganjurkannya tirakat di Trowulan. Tatkala Soeharto memasuki sebuah makan di Trowulan, ia melihat seorang lelaku setengah baya tengah melakukan meditasi dan terlihat berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Lelaki itu sangat karismatik. Aura menenangkan keluar dari tubuhnya. Soeharto mendadak merasa tenteram berada di dekat lelaki itu. Seusai melakukan meditasi, lelaki tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto kagum, terkesan, dan penasaran dengan lelaki itu Suyono, 2014: 227. Romo Marto menjadi guru pertama Soeharto sebelum bertemu dengan Romo Dijat. Sebagai seorang guru, ia tidak berhenti melatih Soeharto agar semakin peka dengan suara hatinya. Model pelatihan yang diberikan oleh Romo Marto pun sesuai 81 dengan metode latihan aliran kebatinan seperti kungkum ataupun puasa. Telaga Titis di Jogja menjadi salah satu tempat Romo Marto melatih Soeharto. Romo Budi merupakan guru ketiga Soeharto. Memang dalam novel KdDL, tidak banyak disebutkan seperti apa karakter dan perawakan dari Romo Budi. Perannya membantu Soeharto terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga Cendana.

2.2.2.13 Sunuwarsono dan Setyarso

Sunuwarsono merupakan ayah Jeanne. Sebagai seorang militer, ia sangat ketat mendisiplinkan rumah tangganya, termasuk dalam mendidik Jeanne. Kutiapan 8 di atas menggambarkan seperti apa model kedisiplinan yang ia terapkan ketika membesarkan Jeanne. Sunuwarsono memiliki seorang ajudan yang bernama Setyarso. Tidak heran jika Setyarso menjadi ajudan dari Pak Sunuwarsono. Badannya cukup kekar. Banyak orang bahkan preman di sekitar tempat tinggalnya yang takut padanya. Bersama dengan Pak Sunuwarsono, Setyarso pernah bertugas di Timor- Timur untuk menahan amukan pasukan Fretilin. Berikut ini gambaran mengenai Setyarso pada kutipan 71. 71 Setyarso adalah sersan, ajudan ayah Jeanne. Setyarso adalah tentara yang paling ditakuti kalangan preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira-perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat-tempat Jeanne tinggal. Setyarso baru keluar dari hutan-hutan Timor-Timur. Ia lima tahun ditanam di pegunungan untuk mengintai gerak gerilyawan kiri. Rambutnya cepak. Badannya tinggi kekar. Kulitnya cokelat gosong. Otot biseps dan triseps pada lenagan atas dan lengan bawahnya menonjol. Raut mukanya sebenarnya tidak 82 tampak ganas. Namun rahangnya keras. Itu yang membuat karakternya tampak tegas. Setyarso tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya. Banyak orang yang salah menyangka usianya mendekati 40 Suyono, 2014: 68-69.

2.2.2.14 Soedjono Hoemardani

Seodjono Hoemardani merupakan sahabat seperguruan Pak Harto. Keduanya ditabiskan sebagai saudara kebatinan oleh Romo Marto. Selama bersama Soeharto, ia menjaga Soeharto dan keluarganya. Gambaran mengenai siapa Soedjono Hoemardani akan disampaikan pada bab III.

2.2.2.15 Phu Tram

Phu Tram bukanlah bagian dari paguyuban. Ia adalah orang yang dikenal oleh Jeanne saat berkunjung ke Vietnam. Phu Tram adalah seorang penyelam berpengalaman bersuku bangsa Champa. Sudah sejak lama ia bekerja untuk pemerintahan Vietnam mengumpulkan barang-barang antik yang tenggelam di perairan Vietnam seperti Hon Cau, Hon Dam, Cu Lao Cham, Ca Mau, dan Binh Thuan. Dengan bermodalkan sertifikat resmi penyelam harta karun negara, Phu Tram telah melakukan banyak ekspedisi ke banyak negera untuk mengumpulkan harta karun kapal-kapal yang karam. Berbekal kepeduliannya terhadap arca Prajnaparamita ia mendapat permata yang digunakan untuk membangun kafe Champa; tempat ia dan Jeanne kemudian bertemu. Berikut digambarkan dalam kutipan 72. 72 “Manik-manik ini kujual. Lalu uangnya untuk mendirikan kafe ini, Jeanne,” kata Phu Tram Suyono, 2014: 107. 83 Di awal perkenalan Jeanne dengannya, Phu Tram memang sedikit dinilai Jeanne kurang sopan. Sikap ini yang pada awalnya menjadikan Jeanne sedikit kurang nyaman dengan upaya Phu Tram untuk memulai percakapan dengan Jeanne. Sikap kurang sopan tersebut ditunjukkan dalam kutipan 73. 73 Jeanne bertanya-tanya mengapa lelaki di kursi roda itu Phu Tram mengemukakan hal yang menjijikan kepadanya. Bahasa Inggrisnya bagus. Namun sungguh kurang sopan santunnya Suyono, 2014: 35. Di balik sikap Phu Tram yang menurut Jeanne itu kurang sopan, sebenarnya ia adalah pemeluk agama yang taat. Karena ia merupakan keturunan Champa asli, Phu Tram merupakan pemeluk Islam yang taat. Dalam setiap aktivitas, Phu Tram selalu memulai dengan mengucapkan bismillah. Menurutnya, semua aktivitas menyelamnya tidak akan pernah berhasil kalau tidak dimulai dengan doa. Berikut ini kutipan yang menggambarkan sikap agamais Phu Tram dalam kutipan 74 dan 75. 74 “Aku selalu mengucapkan bismillah sebelum mengambil barang- barang di laut itu. Suyono, 2014: 104” 75 Phu Tram mengaku selalu berbekal doa. Ia yakin arwah-arwah itu tak akan mengganggunya bila ia tak lancang. Mereka bagaimanapun, tetap makluk Tuhan Suyono, 2014: 105. Dalam suatu kali pengalaman pertama Phu Tram menemukan Kuil di Dasar Laut, ia menunjukkan sikapnya yang ambisius dan penasaran. Dalam penyelaman yang pertama, ia tidak berhasil untuk memasuki kuil induk. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk melanjutkan di penyelaman yang kedua. Dalam penyelaman yang kedua tersebut, Phu Tram justru tidak menemukan apa yang ia cari. Kegagalan di penyelaman kedua ini tidak memupuskan harapan Phu Tram. Ia kembali melakukan 84 penyelaman hingga lima kali. Pada penyelaman tersebut, Phu Tram menemukan kuil itu lagi. Keahlian Phu Tram sepertinya menjadi alasan mengapa ia kemudian menjadi nyaman dengan lingkungan bawah laut. Itulah sebabnya sehingga melakukan eksplorasi bawah laut menjadi hal yang menyenangkan bagi Phu Tram, apalagi dalam misi mencari sesuatu yang tidak pernah ia temukan sebelumnya – Kuil di Dasar Laut. Berikut ini kutipan 76 dan 77 yang menggambarkan karakter Phu Tram yang ambisius dan pantang menyerah. 76 Ia mengatakan dalam dirinya sendiri bahwa ia harus mampu berjalan sampai kuil induk. Ia harus bisa memasuki bagian paling inti dari kuil. Ia telah sampai ke jaba awal. Besok harus mampu menuju jaba tengah, lalu jaba dalam. Yang ia capai baru tanah bhurloka. Ibarat tubuh, masih kaki. Belum sampai dada dan otak. Ia ingin menembus sampai dada dan otak kuil. Bhuwarloka dan swarloka Suyono, 2014: 116-117. 77 Ia mencoba tak menyerah. Baru ketika sampai kelima kali ia meloncat ke dasar laut, pandangannya menatap kembali stupa itu. Alhamdulillah Hatinya bersorak gembira. Seperti tak mau kehilangan waktu, ia langsung menyusuri trek stupa tersebut. Kori agung itu tetap berdiri tegak. Baru tiga langkah memasukinya, ia sudah merasa dari bilik-bilik serambi berbagai mata menyorot dia. Ia tak peduli Suyono, 2014: 117-118. Setelah sekian eksplorasi mencari harta karun dari kapal karam di dasar laut, pemerintah Vietnam melarang agar penyelam tidak boleh menyelamatkan harta-harta yang berasal dari kebudayaan Champa. Hal tersebut terjadi karena suku Champa menjadi musuh Vietnam dan pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa menyaingi kebudayaan mereka. Phu Tram sebagai salah satu penyelam yang berasal dari suku Champa diawasi secara berlebihan agar tidak melanggar peraturan tersebut. Merasa tidak nyaman dengan perlakuan itu, Phu Tram pun memutuskan untuk