Alas Ketonggo, Ngawi Situ Panjalu
104
Baik Phu Tram, Jeanne, maupun Mualim Satu memiliki pengalaman yang pahit dalam kehidupan mereka. Phu Tram memiliki pengalaman didiskriminasi oleh
orang-orang Vietnam dalam setiap upayanya untuk menyelamatkan harta bangsanya. Ia diperlakukan tidak wajar dan nyaris dibunuh suatu ketika saat menyelam oleh
orang-orang Vietnam. Kenyataan direpresi oleh pemerintah Vietnam yang membuatnya untuk melakukan perlawanan dengan cara keluar dari kelompok
penyelaman negara dan melakukan penyelaman ilegal. Mualim Satu mengalami nasib buruk ditinggal oleh istri dan kedua anaknya secara tidak wajar. Selama hidupnya ia
menyesal karena mengizinkan istrinya untuk liburan ke Kamboja hingga mereka terbunuh dengan kejam oleh tangan orang Khemer Merah. Ia melawan kesedihannya
dengan madat. Jeanne mengalami nasib buruk karena dikejar oleh teluh sejak melakukan perlawanan terhadap dunia metafisik Soeharto. Nasib rumah tangganya
dengan mas Tubagus juga hancur di tengah jalan. Ia “melawan” masalah kehidupannya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri.
Kuil di Dasar Laut - secara khusus kuil lapisan yang ketiga – dapat
digambarkan semacam representasi keagungan zat tertinggi yang bisa menjawab berbagai persoalan orang-orang dengan serangkaian tantangan dalam hidup. Untuk
mencapainya, diperlukan berbagai upaya yang tidak mudah. Tidak sembarang orang pula yang dapat melihatnya. Kuil lapisan ketiga menjadi kuil teragung. Di sana
bersemayam hal yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun sebelum mencapainya. Dalam novel KdDL, penampakan Kuil di Dasar Laut hanya dilihat oleh Jeanne,
Mualim Satu, dan Phu Tram, tokoh-tokoh yang memiliki serangkaian persoalan
105
hidup. Itulah mengapa mencapai kuil ketiga merupakan kerinduan dari mereka. Dengan segala upaya, mereka bertekad untuk mengetahui isi kuil ketiga.
107 Semoga engkau bisa masuk ke kuil ketiga. Semoga engkau bisa mencapai alam tantrayana itu. Kalau bisa masuk, jangan lupa
doakan kami, Jeanne Suyono, 2014: 606.” Untuk mencapai representasi keagungan tertinggi itu memang tidaklah
mudah. Banyak hal yang harus ditinggalkan. Bahkan orang-orang yang dicintai. Dalam novel KdDL, digambarkan bagaimana Jeanne dikejutkan dengan kehadiran
ayah, suami, dan anaknya bernama Meyra. Mereka jelas menentang Jeanne agar tidak terus berupaya memasuki kuil ketiga. Secara manusiawi, tentunya nasehat orang tua
dan larangan orang-orang yang dicintai menjadi hal yang paling sulit untuk diabaikan, demikian juga Jeanne. Namun, kehadiran keluarganya tersebut justru tidak
menggetarkan hari Jeanne. Ia tetap menjalankan niatnya yang selama ini terus menggerogoti hatinya. Dengan mengabaikan kehadiran dan nasihat orang-orang
terdekatnya, Jeanne tetap memasuki kuil ketiga. Berikut tergambar dalam kutipan 108 dan 109 godaan yang menghambat niat Jeanne memasuki kuil ketiga.
108 “Jeanne, jangan masuk ke kuil Champa itu. Nduk, jangan
menjadi pelacur kuil….” Sang Ayah menatap tajam dirinya Suyono, 2014: 607.
109 “Ya, Itu sebuah sekte dari Syiwa-Budhis yang menganggap jalan
pencerahan bisa dilakukan pada saat ini juga. Tak perlu reinkarnasi berkali-kali. Aku percaya bubuk yang diisap atau
dihirup oleh pandita yang tubuh dan jiwa mereka telah dipersiapkan memotong kelairan kembali yang berulang-ulang.
Bubuk ini disedot menggunakan pipa panjang atau dihirup langsung dari hidung. Aku yakin kuil ketiga yang belum kita
lihat itu adalah kuil terinti tempat pendeta melakukan ritual
mengisap bubuk semacam ini..Suyono, 2014: 573.”