Soedjono Hoemardani Phu Tram

86

2.2.2.16 Mualim Satu

Mualim Satu merupakan sahabat Phu Tram yang hobi mengumpulkan benda- benda spesialis sekaligus ahli terhadap artefak-artefak Champa. Menurut Phu Tram, lelaki ini seolah merasa bertanggung jawab atas segala harta kekayaan Champa di dasar laut. Itulah mengapa ia bekerja sama dengan Phu Tram untuk mencari harta Champa. Phu Tram pun banyak belajar darinya. Di rumah Mualim Satu, banyak terdapat barang-barang Champa yang ditata layaknya pajangan museum. Benda- benda tersebut didapatkan dari perairan Vietnam maupun dari berbagai lokasi punggung bukit Vietnam. Beberapa barang yang diperoleh oleh Phu Tram di dasar laut dijual kepada sahabatnya ini. Mualim Satu merupakan orang yang lebih luwes dan cerdas daripada Phu Tram. Kedatangan Jeanne di rumahnya pun disambut dengan sangat ramah, meskipun baru pertama kalinya mereka bertemu. Keluwesan Mualim tersebut membuat Jeanne tidak sungkan dan keberatan untuk bercerita dan berbagi banyak hal. Pada mulanya, sosok Mualim di dalam pikiran Jeanne adalah pria bertubuh kekar dengan tampak menyeramkan. Bagaimana tidak, dari cerita Phu Tram, sang Mualim bahkan pernah mengisap abu pembakaran layaknya mengisap bubuk-bubuk madat. Berikut ini gambaran mengenai sosok Mualim Satu dan tempat tinggalnya dalam kutipan 80 dan 81. 80 Bersamaan dengan itu, muncul sesosok laki-laki dari dalam, melangkah gesit, melintasi taman menghampiri mereka. Dialah Mualim Satu. Sang penghisap arwah. Laki-laki yang pernah mencimeng abu pembakaran tubuh ayahnya itu ternyata bukanlah seorang pria kekar seperti yang ada dalam bayangan 87 Jeanne. Tampangnya sama sekali tak angker. Ia jangkung. Kurus. Umurnya 60-an. Ia menyongsong mereka Suyono, 2014: 564. 81 Orangnya ramah. Jauh lebih luwes daripada Phu Tram. Ia menuangkan teh dari poci ke cangkir-cangkir. Ia membuka beberapa stoples camilan dan membujuk Jeanne agar tak sungkan mencicipi kudapan. Jeanne mengedarkan pandangan. Seluruh ruangan berdinding kayu papan-papan cokelat. Ia merasa berada di dalam relung sebuah gua atau di dalam kabin kapal pinisi. Atau di dalam sebuah tong kosong brendi raksasa atau perut ikan. Papan-papan kayu itu adalah sirip-sirip dan duri- duri ikan. Entah kenapa, ruangan terasa cembung. Ia tertarik dengan seorang wanita berkerudung yang dipasang dengan pigura indah. Sang Mualim mengenakan sarung. Di satu foto ia mengenakan destar. Di foto lain songok Suyono, 2014: 565. Kehidupan Mualim ternyata tidak sebaik dan sematang dalam gambaran Jeanne. Ia juga memiliki pengalaman menyedihkan yang banyak merubah kehidupannya. Istri dan kedua anaknya mengalami peritistiwa yang tragis dalam perjalanan liburan ke Kamboja. Kala itu, Pol Pot sedang gencar-gencar menjalankan misinya. Keluarga Mualim tersebut menjadi bagian dari kekejaman yang dilakukan Khemer Merah. Kejadian tersebut sangat memukul Mualim. Ia turut merasa bersalah karena mengizinkan istri dan kedua anaknya berlibur pada masa-masa kondisi Kamboja sedang tidak kondusif tanpa mengantarkan mereka. Berikut ini tergambar dalam kutipan 82 mengenai kekejaman yang diterima istri dan kedua anak Maulim. 82 Istri saya saat tiba di kampungnya ketahuan masih berambut panjang. Ia menolak rambutnya dipotong. Rambutnya katanya dijambak. Kerudungnya diempaskan. Dia diseret di balai desa dan kemudian perutnya ditusuk bayonet. Dua anak saya yang tak bersalah disuruh menggunakan serban, lalu katanya disuruh meneriakkan kata “Allahu Akbar”, kemudain ditembak, padahal mereka masih sangat kecil, tak mengerti apa-apa Suyono, 2014: 571.” 88 Tidak digambarkan secara jelas apakah kebiasaan madat Mualim terjadi sebagai pelarian dari kesedihannya. Akan tetapi, bisa dianalisis bahwa kesedihannya menjadi alasan Mualim untuk terus menerus mengisap bubuk penenang. Jeanne pun menduga demikian karena dadanya yang sesak mendengar cerita pilu Mualim sejenak tenang setelah mengisap bubuk yang sama. Sebuah sedotan meringankan segalanya. 83 Jeanne sendiri juga merasa sebuah sedotan akan melegakannya. Sebab, setiap kali ia menoleh ke foto wanita berkerudung itu, dadanya sesak. Air matanya mau meleleh. Baru kali ini ia mendengar sejarah sedih muslim Champa. Selama ini hanya penderitaan muslim Palestina yang ia tahu. Sebuah sedotan akan meringankan segalanya Suyono, 2014: 572. Bubuk tersebut berbentuk serbuk cokelat kekuningan dan disimpan dalam sebuah kotak. Dengan bubuk tersebut Mualim pernah menyaksikan penampakan Kuil di Dasar Laut seperti yang pernah dilihat oleh Phu Tram dan Jeanne. Bedanya, Phu Tram hanya bisa memasuki kuil pertama sedangkan Mualim dan Jeanne telah memasuki kuil kedua. Untuk mencapai kuil ketiga, mereka banyak mengalami tantangan. Oleh karena itu, Mualim Satu percaya bahwa hanya Jeanne saja yang bisa memasuki kuil ketiga dan bisa menjawab rasa penasaran Phu Tram dan Mualim Satu. Bubuk pembayang akan sangat ampuh membantu Jeanne. 84 Aku yakin, bila kamu mengisap bubuk ini, kamu bisa menyaksikan lilin yang aku lihat. Juga mampu masuk lebih jauh daripada aku, sampai ke kuil ketiga. Aku ingin sekali sampai ke kuil ketiga, Jeanne. Sudah berkali-kali kuisap, tapi tetap bayanganku tumpul. Aku sadar, memang aku hanya diperbolehkan sampai ke ruangan kuil kedua. Lalu kudengar dari Phu Tram ada kamu, Jeanne, yang tanpa mengisap apa-apa bisa sampai melongok ke kuil kedua. Alhamdulillah, aku tak menghabiskan bubuk ini. Aku merasa ada orang lain yang tepat untuk menyedot bubuk ini, Jeanne Suyono, 2014: 576.” 89

2.2.2.17 Souvvana

Souvvana merupakan orang yang dikenal oleh Suryo suatu ketika Suryo sedang beristirahat di sebuah kafe pastri. Lelaki ini telah tiga hari terus menerus mengamati keberadaan Suryo. Tidak disangka oleh Suryo, ternyata lelaki tersebut merupakan orang asli Laos yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap beberapa tradisi kebudayaan Laos. Berikut ini tergambar dalam kutipan 85 mengenai ciri fisik Souvvana. 85 Suryo menaksir umurnya mendekati 60. Sosoknya lebih mirip hippie Eropa. Melihatnya, Suryo sepintas ingat foto penyair Bengal Amerika bernama Allen Ginsberg. Seperti Ginsberg rambut dan janggut putih lelaki itu awut-awutan, pakaiannya acak-acakan, dan tampangnya selalu terlihat mabuk. Tampangnya juga mirip tokoh utama, seorang penyelundup, di film lawas Anjing-anjing Geladak-Suryo lupa namanya Suyono, 20014: 322-323. Pada pertemuan pertama dengan Souvvana, mereka berdua dengan cepat akrab dan saling mempercayai. Tidak sungkan, Souvvana mengajak Suryo untuk bertandang ke tempat tinggalnya untuk menceritakan banyak rahasia yang belum pernah diceritakan Souvvana kepada orang lain bahkan kepada orang sebangsanya. Keterbukaan Souvvana inilah yang membuat Suryo tahu banyak mengenai rahasia patung Prabang bangsa Laos dan berbagai rahasia lainnya. Suryo diberikan oleh Souvvana sebuah Prabang Budha yang melindungi Suryo dari kejaran teluh. Berikut ini tergambar dalam kutipan 86 mengenai sikap kepercayaan Souvvana kepada Suryo. 86 Datang ke rumah saya besok. Jangan dibicarakan di sini. Banyak rahasia yang tidak bisa saya ceritakan di sini.” Janggut putih 90 pemilik kedai roti itu bergoyang-goyang saat ia menghela napas panjang Suyono, 2014: 334.

2.2.2.18 Phhoung

Phhoung adalah seorang pegawai lepas di Museum 1000 Buddha - museum milik pemerintah Kamboja di Siem Reap. Phhoung dikenal Suryo dari seorang temannya, karyawan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta yang memberi banyak proyek pembuatan buku mengenai candi-candi di Jawa. Phhoung- lah yang menjadi pemandu wisata bagi Suryo selama mengadakan riset di Kamboja. Penampilan Phhoung yang menarik menjadikan Suryo merasa puas didampingi oleh Phhoung. Bukan hanya itu saja, Phhoung bahkan bersedia menjadi quide di luar museum. Berikut ini gambaran mengenai ciri fisik dan sebab ketertarikan Suryo pada Phhoung dalam kutipan 87. 87 Mereka bertemu di Museum 1000 Buddha. Begitu bersua, Suryo segera manangkap kemandirian Phhoung. Perempuan itu berambut pendek, hampir cepak malah, namun sangat feminis auranya. Ia gesit dan cekatan meladeni semua rasa ingin tahu Suryo. Ia fasih benar isi perut Museum 1000 Buddha. Ia menjelaskan kepada Suryo seluruh koleksi museum secara detail. Ia mengatakan, sebelum terjun ke lapangan memang lebih baik memahami dulu isi museum. Yang membuat Suryo senang, perempuan yang selalu menggunakan rok ini menyediakan diri menjadi guide di luar museum Suyono, 2014: 523-524. Tinggal di Kamboja, Phhoung juga keluarganya pernah mengalami masa- masa berat ketika Pol Pot berkuasa. Bapaknya terlibat dalam misi besar Pol Pot sebelum misi tersebut berubah menjadi misi berdarah. Ayah Phhoung bertugas sebagai fotografer para calon korban pembantaian orang-orang Pol Pot. Awal