Tapak Tilas dan Tirakat

172 melakukan perjalan berbahaya tersebut. Berikut kutipan 158 yang mengambarkan perjalan laut kedua Pak Darsono dan Pak Djayeng. 158 Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas mereka. Mulanya perahu mereka meluncur lancar. Tetapi begitu hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran kencang memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang berbeda. Mayat mereka tidak ditemukan. Hanya pecahan perahu yang dilihat penduduk pantai Suyono, 2014: 306. Aksi menantang maut yang dilakukan Pak Darsono dan Pak Djayeng menjadi sebuah aksi Perlawanan Pasif karena mereka dengan berani melawanbersaing dengan Soeharto untuk bersaing mendapatkan bunga wijayakusuma. Apabila bunga tersebut jatuh ke tangan Soeharto maka kekuasaannya masih dapat bertahan. Untuk itu, tanpa mempedulikan risiko besar yang menanti di depan, Pak Darsono dan Pak Djayeng bahkan menjalankan aksi yang bisa berdampak maut bagi mereka demi menantang Soeharto. Aksi menantang maut juga sama dilakukan oleh Phu Tram. Bedanya, perlawanan tersebut bukan ditujukan kepada rezim Soeharto, tetapi kepada pemerintahan Vietnam. Sebelum menantang pemerintahan Vietnam secara tidak langsung, Phu Tram bekerja sebagai penyelam dengan sertifikat resmi. Ia sering menyelam di berbagai perairan untuk mengambil barang-barang antik di dasar laut. Namun, profesinya itu seringkali diawasi secara ketat oleh aparat keamanan. Memang telah ada aturan kepada para penyelam agar tidak ikut mengangkut barang-barang peninggalan suku Champa dari dasar laut. Jika ada yang ikut terbawa, maka barang 173 tersebut harus dibuang kembali ke laut. Pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa kemudian bangkit lagi dan mengalahkan kebudayaan Vietnam. 159 Jeanne mendengar dari mulut lelaki buntung itu, pemerintah Vietnam tak begitu suka dengan temuan-temuan barang Champa dari dasar laut. Pemerintah Vietnam merasa cukup banyak memiliki barang Champa. Pada masa penjajahan Prancis, banyak arkeolog Prancis yang berminat khusus mengumpulkan artefak Champa. Dan peninggalan mereka kini disimpan di museum. Menurut Phu Tram, pemerintah tak mau lagi menambah koleksi barang Champa Suyono, 2014: 91. Sebagai satu-satunya penyelam berdarah Champa, tentunya Phu Tram mendapat pengawasan yang lebih ketat dibandingkan penyelam-penyelam lainnya. Tidak jarang Phu Tram mengalami diskriminasi dari para aparat hegemoni seperti polisi dan Jawatan Kelautan Vietnam. Memang di kapal pengangkut barang-barang antik ada nakhoda, pembersih keramik, koki, dan para penyelam lainnya. Namun, ia merasa dirinya paling banyak diawasi. Diskriminasi itu juga muncul dalam hal pembagian tabung menyelam. Tabung selam milik Phu Tram dibedakan dengan tabung selam milik penyelam lainnya. Bukan hanya sekadar mengalami diskriminasi, Phu Tram juga bahkan pernah mengalami percobaan pembunuhan. Itu terjadi saat ia sedang menyelam. Belum lama ketika mencapai dasar lautan, tabung oksigen Phu Tram mendadak habis, sementara teman-teman penyelam lainnya masih hilir-mudik menggali harta karun. Pada akhirnya, ia sadar bahwa tabung oksigennya ternyata telah dirusak oleh para polisi agar ia mati ketika di dasar laut. Phu Tram pun berhenti dari kegiatan penyelaman setelah peristiwa tersebut.