Konsep perencanaan transportasi

2.5 Konsep perencanaan transportasi

Terdapat beberapa konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang sampai dengan saat ini − yang paling populer adalah ‘Model Perencanaan Transportasi

Empat Tahap’. Model perencanaan ini merupakan gabungan dari beberapa seri submodel yang masing-masing harus dilakukan secara terpisah dan berurutan. Submodel tersebut adalah:

• aksesibilitas •

bangkitan dan tarikan pergerakan •

sebaran pergerakan •

pemilihan moda •

pemilihan rute •

arus lalulintas dinamis

2.5.1 Bangkitan dan tarikan pergerakan

Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memper- kirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan lalulintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalulintas. Bangkitan lalulintas ini mencakup:

2.5.1.1 Umum

• lalulintas yang meninggalkan suatu lokasi •

lalulintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi. Bangkitan dan tarikan pergerakan terlihat secara diagram pada gambar 2.3 (Wells,

pergerakan yang berasal pergerakan yang menuju

dari zona i ke zona d Gambar 2.3

Bangkitan dan tarikan pergerakan

40 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalulintas berupa jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Kita dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau kendaraan yang masuk atau keluar dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari (atau satu jam) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan dan tarikan lalulintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan:

• jenis tata guna lahan dan •

jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.

Jenis tata guna lahan yang berbeda (permu- kiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda:

2.5.1.2 Jenis tata guna lahan

• jumlah arus lalulintas; •

jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil); •

lalulintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada pagi dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalulintas di sepanjang hari).

Jumlah dan jenis lalulintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi; seperti contoh di Amerika Serikat (Black, 1978):

1 ha perumahan menghasilkan 60 − 70 pergerakan kendaraan per minggu;

1 ha perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari; dan

1 ha tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari. Beberapa contoh lain (juga di Amerika Serikat) diberikan dalam tabel 2.6. Tabel 2.6 Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan

Deskripsi aktivitas tata

guna lahan kendaraan per 100 m 2 Jumlah kajian

Rata-rata jumlah pergerakan

Pasar swalayan

Pertokoan lokal*

Pusat pertokoan**

Restoran siap santap

Gedung perkantoran

Rumah sakit

Daerah industri

*4.645 − 9.290 (m 2 ) **46.452 − 92.903 (m 2 )

Sumber: Black (1978)

Pendekatan perencanaan transportasi

Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya. Tabel 2.7 memperlihatkan bangkitan lalulintas dari suatu daerah permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan berbeda di Inggris (Black, 1978).

2.5.1.3 Intensitas aktivitas tata guna lahan

Tabel 2.7 Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya

Kepadatan

Jenis perumahan

permukiman

Pergerakan

Bangkitan (keluarga/ha) per hari pergerakan per ha

Permukiman di luar kota

Permukiman di batas kota

Unit rumah

Flat tinggi

Sumber: Black (1978) Walaupun arus lalulintas terbesar yang dibangkitkan berasal dari daerah

permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena bangkitan lalulintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi tidak linear.

2.5.2 Sebaran pergerakan

Tahap ini merupakan tahap ketiga dari lima tahap yang menghubungkan interaksi antara tata guna lahan, jaringan tranportasi, dan arus lalulintas. Pola spasial arus lalulintas adalah fungsi dari tata guna lahan dan sistem jaringan transportasi.

2.5.2.1 Umum

Gambar 2.4 Pola pergerakan kendaraan di kota Bandung Sumber: Tamin (1994d, 1995acde)

42 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Gambar 2.4 memperlihatkan pola spasial pergerakan kendaraan di kota Bandung (Tamin, 1995c). Ketebalan garis menunjukkan jumlah arus kendaraan dan panjang garis menunjukkan jarak antarzona yang dihubungkan. Gambar 2.4 ini dikenal dengan gambar garis keinginan karena menunjukkan arah pergerakan arus lalulintas, tetapi tidak menunjukkan rute pergerakan yang sebenarnya digunakan.

Pola sebaran arus lalulintas antara zona asal i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Contohnya, pergerakan dari rumah (permukiman) ke tempat bekerja (kantor, industri) yang terjadi setiap hari.

Jarak antara dua buah tata guna lahan merupakan batas pergerakan. Jarak yang jauh atau biaya yang besar akan membuat pergerakan antara dua buah tata guna lahan menjadi lebih sulit (aksesibilitas rendah). Oleh karena itu, pergerakan arus lalulintas cenderung meningkat jika jarak antara kedua zonanya semakin dekat. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang lebih menyukai perjalanan pendek daripada perjalanan panjang. Pemisahan ruang tidak hanya ditentukan oleh jarak, tetapi oleh beberapa ukuran lain, misalnya hambatan perjalanan yang diukur dengan waktu dan biaya yang diperlukan.

2.5.2.2 Pemisahan ruang

Makin tinggi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin tinggi pula tingkat kemampuannya dalam menarik lalulintas. Contohnya, pasar swalayan menarik arus pergerakan lalulintas lebih banyak dibandingkan dengan rumah sakit untuk luas lahan yang sama (lihat tabel 2.6) karena aktivitas di pasar swalayan lebih tinggi per satuan luas lahan dibandingkan dengan di rumah sakit.

2.5.2.3 Intensitas tata guna lahan

Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan lalulintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalulintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang berjarak pendek daripada yang berjarak jauh. Interaksi antardaerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak antara kedua daerah tersebut dapat dilihat pada tabel 2.8.

2.5.2.4 Pemisahan ruang dan intensitas tata guna lahan

Tabel 2.8 Interaksi antardaerah

Jauh

Interaksi dapat

Interaksi rendah Interaksi

diabaikan

menengah

Jarak Dekat

Interaksi rendah

Interaksi Interaksi sangat menengah

tinggi

Intensitas tata guna lahan antara dua zona

Kecil − Kecil Kecil − Besar Besar − Besar

Sumber: Black (1981)

Pendekatan perencanaan transportasi

Jaringan transportasi dapat menyediakan sarana untuk memecahkan masalah jarak tersebut (misalnya perbaikan sistem jaringan transportasi akan mengurangi waktu tempuh dan biaya sehingga membuat seakan-akan jarak antara kedua tata guna lahan atau aktivitas tersebut menjadi semakin dekat).

Sistem transportasi dapat mengurangi hambatan pergerakan dalam ruang, tetapi tidak mengurangi jarak. Jarak hanya bisa diatasi dengan memperbaiki sistem jaringan transportasi. Oleh karena itu, jumlah pergerakan lalulintas antara dua buah tata guna lahan tergantung dari intensitas kedua tata guna lahan dan pemisahan ruang (jarak, waktu, dan biaya) antara kedua zonanya. Sehingga, arus lalulintas antara dua buah tata guna lahan mempunyai korelasi positif dengan intensitas tata guna lahan dan korelasi negatif dengan jarak.

2.5.3 Bangkitan dan sebaran pergerakan

Telah dijelaskan bahwa jenis dan intensitas tata guna lahan berpengaruh pada jumlah bangkitan lalulintas sehingga jelaslah bahwa bangkitan pergerakan sangat berkaitan dengan sebaran pergerakan. Bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalulintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran pergerakan menunjukkan ke mana dan dari mana lalulintas tersebut. Ilustrasinya terlihat pada gambar 2.5 −

2.6 (Wells, 1975).

Bangkitan pergerakan menghasilkan pergerakan lalulintas yang masuk dan keluar dari suatu zona

200 pergerakan berasal 150 pergerakan menuju

Gambar 2.5

dari zona i ke zona d Bangkitan pergerakan Sumber: Wells (1975)

Sebaran pergerakan menghasilkan jumlah arus lalulintas yang bergerak dari suatu zona ke zona lainnya

pergerakan

antara zona i dan d

Gambar 2.6

Sebaran pergerakan antar dua buah zona Sumber: Wells (1975)

2.5.4 Pemilihan moda transportasi dan rute

Jika interaksi terjadi antara dua tata guna lahan di suatu kota, seseorang akan memutuskan bagaimana interaksi tersebut harus dilakukan. Dalam kebanyakan kasus, pilihan pertama adalah dengan menggunakan

2.5.4.1 Pemilihan moda transportasi

44 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi 44 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Dalam beberapa kasus, mungkin terdapat sedikit pilihan atau tidak ada pilihan sama sekali. Orang miskin mungkin tidak mampu membeli sepeda atau membayar biaya transportasi sehingga mereka biasanya berjalan kaki. Sementara itu, keluarga berpenghasilan kecil yang tidak mempunyai mobil atau sepeda motor biasanya menggunakan angkutan umum. Selanjutnya, seandainya keluarga tersebut mempunyai sepeda, jika harus berpergian jauh tentu menggunakan angkutan umum.

Orang yang hanya mempunyai satu pilihan moda saja disebut dengan captive terhadap moda tersebut. Jika terdapat lebih dari satu moda, moda yang dipilih biasanya yang mempunyai rute terpendek, tercepat, atau termurah, atau kombinasi dari ketiganya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah ketidaknyamanan dan keselamatan. Hal seperti ini harus dipertimbangkan dalam pemilihan moda.

Semua yang telah diterangkan dalam pemilihan moda juga dapat digunakan untuk pemilihan rute. Untuk angkutan umum, rute ditentukan berdasarkan moda transportasi (bus dan kereta api mempunyai rute yang tetap). Dalam kasus ini, pemilihan moda dan rute dilakukan bersama-sama. Untuk kendaraan pribadi, diasumsikan bahwa orang akan memilih moda transportasinya dulu, baru rutenya.

2.5.4.2 Pemilihan rute

Seperti pemilihan moda, pemilihan rute tergantung pada alternatif terpendek, tercepat, dan termurah, dan juga diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga mereka dapat menentukan rute yang terbaik.

2.5.5 Arus lalulintas dinamis (arus pada jaringan jalan)

Arus lalulintas berinteraksi dengan sistem jaringan transportasi. Jika arus lalulintas meningkat pada ruas jalan tertentu, waktu tempuh pasti bertambah (karena kecepatan menurun). Arus maksimum yang dapat melewati suatu ruas jalan biasa disebut kapasitas ruas jalan tersebut. Arus maksimum yang dapat melewati suatu titik (biasanya pada persimpangan dengan lampu lalulintas biasa disebut arus jenuh.

Kapasitas suatu jalan dapat didefinisikan dengan beberapa cara. Salah satunya (Highway Capacity Manual [HRB, 1965]) adalah:

‘... the maximum number of vehicles that can pass in a given period of time…’

(‘... jumlah kendaraan maksimum yang dapat bergerak dalam periode waktu tertentu …’)

Pendekatan perencanaan transportasi

Kapasitas ruas jalan perkotaan biasanya dinyatakan dengan kendaraan (atau dalam Satuan Mobil Penumpang/SMP) per jam. Hubungan antara arus dengan waktu tempuh (atau kecepatan) tidaklah linear. Penambahan kendaraan tertentu pada saat arus rendah akan menyebabkan penambahan waktu tempuh yang kecil jika dibandingkan dengan penambahan kendaraan pada saat arus tinggi. Hal ini menyebabkan fungsi arus mempunyai bentuk umum seperti gambar 2.7 (Black, 1981).

Gambar 2.7

Hubungan antara nilai nisbah Nisbah volume per kapasitas

volume per kapasitas dengan waktu tempuh

Terlihat bahwa kurva mempunyai asimtot pada saat arus mencapai kapasitas (atau nilai Nisbah Volume per Kapasitas/NVK mendekati satu). Secara sederhana, kapasitas tak akan pernah tercapai dan waktu tempuh akan meningkat pesat pada saat arus lalulintas mendekati kapasitas. Secara realita, arus tidak akan beroperasi dengan kondisi sesederhana ini.

Oleh sebab itu, modifikasi terhadap teori dasar harus dilakukan. Jika arus lalulintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai terjadi. Kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu besarnya sehingga kendaraan sangat berdekatan satu sama lain. Kemacetan total terjadi apabila kendaraan harus berhenti atau bergerak sangat lambat.

2.5.6 Tingkat pelayanan

Terdapat dua buah definisi tentang tingkat pelayanan suatu ruas jalan yang perlu dipahami.

Hal ini berkaitan dengan kece- patan operasi atau fasilitas jalan, yang tergantung pada perbandingan antara arus terhadap kapasitas. Oleh karena itu, tingkat pelayanan pada suatu jalan tergantung pada arus lalulintas. Definisi ini digunakan oleh Highway Capacity Manual, diilustrasikan dengan gambar 2.8 yang mempunyai enam buah tingkat pelayanan, yaitu:

2.5.6.1 Tingkat pelayanan (tergantung-arus)

46 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

• Tingkat pelayanan A −

arus bebas

• Tingkat pelayanan B − arus stabil (untuk merancang jalan antarkota) •

Tingkat pelayanan C − arus stabil (untuk merancang jalan perkotaan) •

Tingkat pelayanan D −

arus mulai tidak stabil

Tingkat pelayanan E − arus tidak stabil (tersendat-sendat)

• Tingkat pelayanan F

arus terhambat (berhenti, antrian, macet) Konsep Amerika sudah sangat umum digunakan untuk menyatakan tingkat

pelayanan.

Gambar 2.8

Tingkat pelayanan

Hal ini sangat tergantung pada jenis fasilitas, bukan arusnya. Jalan bebas hambatan mempunyai tingkat pelayanan yang tinggi, sedangkan jalan yang sempit mempunyai tingkat pelayanan yang rendah. Hal ini diilustrasikan pada gambar 2.9 (Black, 1981).

2.5.6.2 Tingkat pelayanan (tergantung-fasilitas)

4 tingkat pelayanan buruk

Gambar 2.9

2 Hubungan antara nisbah waktu perjalanan (kondisi aktual/arus

1 tingkat pelayanan baik

bebas) dengan nisbah volume/kapasitas Catatan: sumbu y menunjukkan nisbah 0 antara waktu tempuh dengan waktu pada

kondisi arus bebas, sedangkan sumbu x Nisbah volume dengan kapasitas

menyatakan nisbah antara arus dengan kapasitas.

Pendekatan perencanaan transportasi

Konsep ini dikembangkan oleh Blunden (1971), Wardrop (1952), dan Davidson (1966). Blunden (1971) menunjukkan bahwa hasil eksperimen menghasilkan karakteristik tertentu sebagai berikut:

• Pada saat arus mendekati nol (0), titik potong pada sumbu y terlihat dengan jelas (T 0 ).

• Kurva mempunyai asimtot pada saat arus mendekati kapasitas. •

Kurva meningkat secara monoton.

2.5.7 Hubungan arus lalulintas dengan waktu tempuh

Besarnya waktu tempuh pada suatu ruas jalan sangat tergantung dari besarnya arus dan kapasitas ruas jalan tersebut. Hubungan antara arus dengan waktu tempuh dapat dinyatakan sebagai suatu fungsi dimana jika arus bertambah maka waktu tempuh akan juga bertambah. Menurut Davidson (1966), hal ini sebenarnya merupakan konsep dasar dalam teori antrian yang menyatakan bahwa tundaan yang terjadi pada tingkat kedatangan dan tingkat pelayanan yang tersebar secara acak dapat dinyatakan sebagai persamaan (2.2) berikut.

W Q = tundaan per kendaraan λ

= tingkat kedatangan ρ

= λ / µ µ = tingkat pelayanan

Berdasarkan teori antrian stokastik untuk satu tempat pelayanan dengan sebaran pelayanan acak, besarnya waktu tunggu yang dialami oleh setiap kendaraan dengan sebaran kedatangan acak dapat dinyatakan dengan persamaan (2.3) berikut.

Karena µ = λ / ρ maka sebenarnya persamaan (2.3) adalah sama dengan persamaan (2.2).

Konsep antrian dalam waktu pelayanan merujuk pada waktu minimum yang dibutuhkan kendaraan untuk melalui suatu ruas jalan sesuai dengan tingkat pelayanan jalan yang ada. Waktu pelayanan adalah waktu tempuh yang dibutuhkan ketika tidak ada kendaraan lain pada jalan tersebut (kondisi arus bebas). Sehingga, tundaan antrian dapat dipertimbangkan sebagai pertambahan waktu tempuh akibat adanya kendaraan lain yang dapat dinyatakan sebagai berikut.

waktu tempuh = waktu pelayanan + tundaan (2.4) Nilai nisbah tundaan antrian dengan waktu pelayanan dapat diturunkan dengan

urutan persamaan (2.5) − (2.6) sebagai berikut:

48 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Jika waktu pelayanan adalah waktu tempuh pada kondisi arus bebas (T 0 ) maka persamaan (2.6) dapat dinyatakan dengan bentuk lain seperti persamaan (2.7) − (2.8) berikut.

Tundaan yang terjadi disebabkan oleh satu rangkaian antrian sehingga variasi pada waktu tempuh tergantung pada tundaan antrian. Oleh karena itu, persamaan (2.8) harus dimodifikasi dengan memasukkan suatu faktor ‘a’ (indeks tingkat pelayanan) yang besarnya tergantung dari karakteristik ruas jalan dan tundaan akibat adanya kendaraan lain pada ruas jalan tersebut sehingga dihasilkan persamaan (2.9) berikut.

Selanjutnya, dengan memasukkan persamaan (2.9) ke persamaan (2.4), maka dihasilkan urutan persamaan (2.10) − (2.13) berikut ini.

Dengan mengasumsikan ρ =Q/C maka persamaan (2.13) dapat ditulis kembali sebagai persamaan (2.14) berikut yang biasa disebut persamaan Davidson. Secara matematis, ciri tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

Pendekatan perencanaan transportasi Pendekatan perencanaan transportasi

T 0 = waktu tempuh pada saat arus = 0 Q = arus lalulintas

kapasitas C =

a = indeks tingkat pelayanan/ITP (fungsi faktor yang menyebabkan keragaman dalam arus, seperti parkir dan penyeberang jalan)

2.5.8 Penentuan indeks tingkat pelayanan (ITP)

Nilai ‘a’ (indeks tingkat pelayanan) untuk suatu ruas jalan dapat dihitung dengan beberapa pendekatan berikut ini.

Persamaan (2.14) dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan seperti tertulis pada persamaan (2.15) − (2.17).

2.5.8.1 Pendekatan linear

1 + a (2.16)

T Q = T 0 + a T 0 ( (2.17)

Dengan melakukan transformasi linear, persamaan (2.17) dapat disederhanakan dan ditulis kembali sebagai persamaan linear Y i = A + B X i dengan mengasumsikan

Q = Y i dan

= X i . Dengan mengetahui beberapa set data T dan Q Q i ( yang

bisa didapat dari survei waktu tempuh dan volume lalulintas, maka dengan menggunakan analisis regresi-linear (lihat persamaan 2.18 dan 2.19), parameter A

dan B dapat dihitung dan dihasilkan beberapa nilai berikut: A = T 0 dan B = a T 0 sehingga nilai indeks tingkat pelayanan (ITP) adalah a=B/A.

 N ∑ () X i −  ∑ X i 

A = Y − B X (2.19) Y dan X adalah nilai rata-rata Y i dan X i .

50 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Persamaan (2.14) dapat disederhanakan dan ditulis kembali sebagai persamaan (2.20).

2.5.8.2 Pendekatan tidak-linear

Dengan mengasumsikan

= Y i dan

= X i maka persamaan (2.20) dapat

ditulis kembali sebagai persamaan (2.21) yang merupakan persamaan tidak-linear.

1 − X i 

Dengan mengetahui beberapa set data i T dan Q

i yang bisa didapat dari survei waktu tempuh dan volume lalulintas, akan didapat beberapa set pasangan data Y i

dan X i . Nilai ‘a’ dapat ditentukan dengan menggunakan metode penaksiran kuadrat-terkecil

yang mencoba meminimumkan jumlah perbedaan kuadrat antara nilai Y i hasil penaksiran dan hasil pengamatan seperti pada persamaan (2.22) berikut.

Dengan memasukkan persamaan (2.21) ke persamaan (2.22), fungsi objektif (2.22) berubah menjadi persamaan (2.23) dengan parameter tidak diketahui adalah ‘a’.

Persamaan (2.23) dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan seperti tertulis pada persamaan (2.24) − (2.26).

meminimumkan S = ∑  Y ˆ i − 2 Y i − 2 Y i

 1 − X i   1 − X  i    (2.25)

 1 − X i 

meminimumkan S = ∑  Y ˆ i − 2 Y i − 2 ( 1 − Y i ) + 1 +

 1 −  X i    Pendekatan perencanaan transportasi

 1 − X i 

Untuk mendapatkan nilai ‘a’ yang meminimumkan persamaan (2.26), persamaan (2.27) berikut dibutuhkan:

Persamaan (2.27) dapat ditulis kembali dalam bentuk lain dengan urutan seperti pada persamaan (2.28) − (2.30).

( 1 − Y i ) + 2  = 0 (2.28)

 1 − X i   1 − X i    ∂ 2

i    1 − X i 

( 1 − Y i ) + 2 a  = 0 (2.29)

Persamaan (2.30) dapat disederhanakan menjadi persamaan (2.31) tanpa mengubah sedikitpun permasalahan pada persamaan (2.30).

Untuk mendapatkan nilai ‘a’, persamaan (2.31) dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan seperti tertulis pada persamaan (2.32) − (2.33).

Dengan menggunakan nilai Y i =

dan X i =

maka nilai ‘a’ bisa didapat

dengan menggunakan persamaan (2.34) berikut.

52 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Persamaan (2.14) dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan seperti tertulis pada persamaan (2.35) − (2.37).

2.5.8.3 Pendekatan rata-rata

(2.37) Jadi, nilai indeks tingkat pelayanan (a) bisa didapatkan dari persamaan (2.38)

berikut.

Untuk setiap pasangan data T dan Q yang didapatkan dari hasil survei waktu Q

tempuh dan volume arus lalulintas akan dihasilkan satu nilai a. Jadi, nilai indeks tingkat pelayanan (a) merupakan nilai rata-rata dari beberapa nilai a.

Blunden (1971) menghasilkan tabel 2.9 untuk beberapa jenis jalan. Pada tabel 2.9 terlihat bahwa Blunden menggunakan istilah arus jenuh. Waktu ( T 0 ) didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk melewati suatu ruas jalan jika terdapat tidak ada hambatan pada ruas jalan tersebut (atau kecepatan arus bebas). Hubungan antara waktu tempuh pada suatu ruas jalan tergantung dari arus lalulintas, kapasitas, waktu tempuh pada kondisi arus jenuh dan indeks tingkat pelayanan (a).

Tabel 2.9 Parameter untuk beberapa jenis jalan Kondisi

Arus jenuh Q (menit/mil) a (kendaraan/hari)

Jalan bebas hambatan

Jalan perkotaan (banyak lajur)

Jalan kolektor dan pengumpan

1.800 / total lebar

Dalam banyak kajian transportasi, beberapa pendekatan sederhana digunakan; hubungan kecepatan dan arus didapat untuk beberapa jenis jalan dan diterapkan untuk setiap jalan.

2.5.9 Penentuan nilai T 0

Nilai T 0 (waktu tempuh pada kondisi arus bebas) untuk suatu ruas jalan dapat dihitung dengan membagi panjang ruas jalan tersebut dengan kecepatan arus

Pendekatan perencanaan transportasi Pendekatan perencanaan transportasi

FV = ( FV 0 + FV W ) x FFV SF x FFV CS (km/jam) (2.39)

FV : kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan (km/jam) FV 0 : kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan ringan (km/jam)

FV W : faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat lebar jalan FFV SF : faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat kondisi gangguan samping FFV CS : faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat ukuran kota (jumlah penduduk)

Kecepatan arus bebas dasar FV 0 ditentukan berdasarkan tipe jalan dan jenis kendaraan seperti terlihat pada tabel 2.10.

Tabel 2.10 Kecepatan arus bebas dasar (FV 0 )

Kecepatan arus bebas dasar (FV 0 ) Tipe jalan

Kendaraan

Kendaraan

Sepeda Semua jenis

ringan

berat

motor kendaraan (rata-rata)

Jalan 6 lajur berpembatas median (6/2D) atau jalan 3 lajur satu arah

Jalan 4 lajur berpembatas median (4/2D) atau jalan 2 lajur satu arah

Jalan 4 lajur tanpa pembatas median (4/2UD)

Jalan 2 lajur tanpa pembatas median (2/2UD)

Sumber: IHCM (1997) Secara umum kendaraan ringan memiliki kecepatan arus bebas dasar lebih tinggi

daripada kendaraan berat dan sepeda motor. Jalan berpembatas median memiliki kecepatan arus bebas dasar lebih tinggi daripada jalan tanpa pembatas median.

Untuk jalan berlajur lebih dari 8, kecepatan arus bebas dasarnya sama dengan jalan berlajur 6. Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat lebar jalan (FV W ) ditentukan

berdasarkan tipe jalan dan lebar jalan efektif (W e ) (lihat tabel 2.11).

54 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Tabel 2.11 Faktor koreksi kapasitas arus bebas akibat lebar jalan (FV W )

Tipe jalan Lebar jalan efektif (W e ) (meter)

FV W

Per lajur

4 lajur berpembatas median atau

jalan satu arah

Per lajur

4 lajur tanpa pembatas median

dua arah

2 lajur tanpa pembatas median

Sumber: IHCM (1997) Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat hambatan samping ditentukan

berdasarkan tipe jalan, tingkat gangguan samping, lebar bahu jalan efektif (W S ) atau jarak kereb ke penghalang (lihat tabel 2.12 untuk jalan yang mempunyai bahu jalan dan tabel 2.13 untuk jalan yang mempunyai kereb).

Tabel 2.12 Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat gangguan samping FV SF untuk jalan yang mempunyai bahu jalan

Faktor koreksi akibat gangguan samping

dan lebar bahu jalan efektif (W S ) Tipe jalan

Lebar bahu jalan efektif (m)

Sangat rendah

4-lajur 2-arah berpembatas median (4/2D)

Sangat tinggi

Sangat rendah

4-lajur 2-arah tanpa

pembatas median (4/2UD)

Sangat tinggi

Sangat rendah

2-lajur 2-arah tanpa

pembatas median (2/2UD)

atau jalan satu arah

Sangat tinggi

Sumber: IHCM (1997)

Pendekatan perencanaan transportasi

Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat gangguan samping (FV SF ) untuk ruas jalan yang mempunyai kereb didasarkan pada jarak antara kereb dengan gangguan pada sisi jalan (W K ) serta tingkat gangguan samping (lihat tabel 2.13).

Tabel 2.13 Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat gangguan samping FV SF untuk jalan yang mempunyai kereb

Faktor koreksi akibat gangguan samping dan jarak kereb − gangguan (W K )

Kelas

Tipe jalan

gangguan

Jarak kereb − gangguan (m)

Sangat rendah

4-lajur 2-arah berpembatas

Sedang

median (4/2 D)

Sangat tinggi

Sangat rendah

4-lajur 2-arah tanpa pembatas median

Sangat tinggi

Sangat rendah

2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2UD)

atau jalan satu arah

Sangat tinggi

Sumber: IHCM (1997) Faktor koreksi kecepatan arus bebas untuk jalan 6 lajur dapat dihitung dengan

menggunakan faktor koreksi kecepatan arus bebas untuk jalan 4 lajur dengan menggunakan persamaan (2.40) sebagai berikut:

FFV 6, SF = 1 − 0 , 8 × ( 1 − FFV 4, SF )

(2.40) FFV 6,SF : faktor koreksi kecepatan arus bebas untuk jalan 6 lajur

FFV 4,SF : faktor koreksi kecepatan arus bebas untuk jalan 4 lajur

56 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat ukuran kota (FFV CS ) dapat dilihat pada tabel 2.14 dimana faktor koreksi tersebut merupakan fungsi dari jumlah penduduk kota.

Tabel 2.14 Faktor koreksi kecepatan arus bebas akibat ukuran kota (FFV CS ) untuk jalan perkotaan

Ukuran kota (juta

Faktor koreksi penduduk)

Faktor koreksi untuk Ukuran kota (juta

ukuran kota

penduduk)

untuk ukuran kota

Sumber: IHCM (1997) Kecepatan arus bebas yang didapat dari persamaan (2.38) hanya berlaku untuk

kendaraan ringan. Untuk jenis kendaraan lain (misalnya kendaraan berat), kecepatan arus bebas dapat dihitung dengan prosedur berikut.

• Hitung total nilai faktor koreksi kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan dengan persamaan (2.41) berikut.

FFV = FV 0 − FV (km/jam) (2.41) FFV : total nilai faktor koreksi kecepatan arus bebas (km/jam)

FV 0 : kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan ringan (km/jam)

FV : kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan (km/jam)

• Hitung kecepatan arus bebas untuk jenis kendaraan berat dengan persamaan (2.42) berikut.

FV HV = FV HV,0 − FFV x FV HV,0 /FV 0 (km/jam) (2.42) FV HV : kecepatan arus bebas untuk kendaraan berat (km/jam) FV HV,0 : kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan berat (km/jam)

2.5.10 Ringkasan konsep dasar

Sistem adalah seperangkat objek yang berhubungan satu sama lain. Sistem tata guna lahan dan transportasi mempunyai tiga komponen utama, yaitu tata guna lahan, sistem prasarana transportasi, dan lalulintas. Hubungan antara ketiga komponen utama ini terlihat dalam 6 konsep analitis, yaitu:

• aksesibilitas; •

bangkitan pergerakan; •

sebaran pergerakan;

Pendekatan perencanaan transportasi

• pemilihan moda; •

pemilihan rute; •

arus lalulintas pada jaringan jalan (arus lalulintas dinamis). Tabel 2.15 memperlihatkan hubungan antarkomponen yang saling tergantung pada

setiap konsep analitis tersebut. Tabel 2.15 Konsep analitis dan komponen yang saling tergantung

Konsep analitis Tergantung dari komponen

1 Aksesibilitas

tata guna lahan & sistem prasarana transportasi

2 Bangkitan pergerakan

tata guna lahan & sistem prasarana transportasi

3 Sebaran pergerakan

tata guna lahan & sistem prasarana transportasi

4 Pemilihan moda

sistem prasarana transportasi & arus lalulintas

5 Pemilihan rute

sistem prasarana transportasi & arus lalulintas

6 Arus pada jaringan transportasi

sistem prasarana transportasi & arus lalulintas

Aksesibilitas (konsep 1) kadang-kadang bukan merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem, akan tetapi konsep ini dapat juga digunakan sebagai proses utama dalam kajian transportasi. Konsep ini digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan menolong mengevaluasi alternatif perencanaan transportasi yang diusulkan.

Arus lalulintas pada jaringan jalan (konsep 6) adalah konsep yang termasuk pada beberapa tahapan yang berbeda. Konsep 2 sampai dengan konsep 5 (bangkitan pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda dan rute) merupakan bagian utama model tersebut, yang harus dilakukan secara berurutan.

Urutan tersebut beragam, yang penggunaannya sangat tergantung pada kondisi di lapangan, ketersediaan data (kuantitas dan kualitas), waktu perencanaan, dan lain- lain. Beberapa alternatif urutan pemodelan dapat dilihat pada gambar 2.10 (Black, 1981) dengan G = Bangkitan pergerakan, D = Sebaran pergerakan, MS = Pemilihan moda dan A = Pemilihan rute.

Jika dilihat, ternyata keempat alternatif ini berbeda-beda, tergantung pada letak tahapan pemilihan moda. Penggunaan dari setiap alternatif sangat tergantung pada data yang tersedia, tujuan kajian, waktu kajian, dan lain-lain. Urutan yang paling sering digunakan adalah jenis iv, akan tetapi beberapa tahun belakangan ini sering digunakan jenis iii.

58 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

G-MS

JENIS I

JENIS II

JENIS III

JENIS IV

MS

D D D-MS

MS

Gambar 2.10

A A A A Empat variasi urutan konsep utama Sumber: (Black, 1981)

Konsep tersebut bisa diilustrasikan seperti terlihat pada gambar 2.11, tergantung pada urutannya (Wells, 1975).

1 Aksesibilitas

Aksesibilitas zona i tergantung pada intensitas tata guna lahan zona d

2 Bangkitan pergerakan

Arus meninggalkan zona i Arus memasuki zona d

3 Sebaran pergerakan

Untuk setiap pasangan zona (i,d), berapa arus dari zona i ke zona d ?

Pendekatan perencanaan transportasi

4 Pemilihan moda

angkutan pribadi angkutan umum

Dari jumlah lalulintas dari i ke d, berapa yang menggunakan kendaraan

pribadi dan berapa yang menggunakan angkutan umum?

5 Pemilihan rute

a. Kendaraan pribadi

Kendaraan pribadi akan mengikuti rute tersingkat ABCD

b. Angkutan umum

Angkutan umum akan memilih rute terpendek atau tersingkat (ABC).

6 Arus lalulintas pada jaringan Jalan

Gambar 2.11

Ringkasan urutan

Jika arus lalulintas berubah, rute tercepat untuk mobil dari zona i ke zona

konsep

d akan berubah juga. Rute tercepat akan berubah dari ABCD menjadi

perencanaan ABED. Hal yang sama berlaku juga untuk angkutan umum. transportasi

Sejauh ini, konsep tersebut baru dijelaskan di atas kertas. Tahapan berikutnya dalam usaha untuk memahami cara kerja sistem adalah menjelaskannya dengan cara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan model matematis.

60 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Gambar 2.12 memperlihatkan garis besar semua proses yang terdapat dalam konsep perencanaan transportasi. Karena model ini merupakan proses pemodelan yang berurutan sering disebut Model Perencanaan Transportasi Empat Tahap (MPTEP). Jenis pemodelan seperti ini sangat kompleks, membutuhkan banyak data dan waktu yang lama dalam proses pengembangan dan pengkalibrasiannya. Akan tetapi, model ini dapat disederhanakan agar dapat memenuhi kebutuhan perencanaan transportasi di daerah yang mempunyai keterbatasan waktu dan biaya.

Data perencanaan

Pemodelan

MODEL BANGKITAN

zona

PERGERAKAN

Asal dan tujuan

Survei inventarisasi

jaringan

Survei perjalanan

MODEL

pada masa sekarang

SEBARAN PERGERAKAN

Total

Jaringan

matriks asal-tujuan

transportasi

MODEL PEMILIHAN MODA

Biaya

perjalanan MAT penumpang

MAT penumpang

angkutan umum

angkutan pribadi

MODEL PEMILIHAN RUTE

Arus pada jaringan

Gambar 2.12 Model perencanaan transportasi empat tahap (MPTEP)

(Sumber: IHT and DTp, 1987)

Pendekatan perencanaan transportasi