Aspek permasalahan

9.6 Aspek permasalahan

Laju pertumbuhan penduduk perkotaan dalam dasawarsa 1990-an adalah sekitar 4,3% per tahun akibat terpusatnya kegiatan perekonomian di daerah perkotaan. Seiring dengan itu, pertumbuhan sektor transportasi perkotaan mencapai sekitar 7,9% per tahun dan diperkirakan meningkat mendekati 10% per tahun untuk dasawarsa berikutnya.

Meningkatnya pertumbuhan sektor transportasi perkotaan ini menyebabkan permasalahan transportasi perkotaan menjadi bertambah kompleks sehingga keputusan penanganannya harus dapat dilakukan sesegera mungkin. Permasalahan transportasi perkotaan tersebut antara lain berupa penentuan jenis dan moda

510 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi 510 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Akibat situasi yang demikian dan serta dilandasi oleh jiwa dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok pemerintahan di daerah, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 1990 mengenai pelimpahan sebagian tugas Departemen Perhubungan mengenai lalulintas angkutan jalan raya kepada Pemerintah Daerah.

Atas dasar PP Nomor 22 Tahun 1990 tersebut, Dinas Lalulintas Angkutan Jalan (DLLAJ) yang tadinya berada dalam naungan Departemen Perhubungan kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah.

Dengan pelimpahan ini diharapkan sistem pengelolaan transportasi perkotaan akan menjadi lebih baik dan memberikan kontribusi bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri. Di lain pihak, pelimpahan ini juga berarti bertambahnya beban tugas administrasi dan keuangan Pemerintah Daerah. Dari beberapa hasil kajian (Tamin, 1995k) teridentifikasi secara umum bahwa kelemahan sistem pengelolaan transportasi perkotaan di beberapa kota disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:

• belum terbentuknya Dinas Lalulintas Angkutan Jalan Tingkat II pada setiap kota di Indonesia;

• lemahnya mekanisme hubungan kerja atau koordinasi antarinstansi yang terkait dalam masalah transportasi perkotaan;

• tidak jelasnya wewenang dan tanggung jawab setiap instansi dalam penanganan masalah transportasi perkotaan;

kurangnya sumber daya manusia, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas;

• kurang lengkapnya peraturan pelaksanaan yang ada dan tidak tersedianya arahan mengenai bagaimana sebaiknya sistem pengelolaan transportasi perkotaan dilakukan dengan melihat tingkat kompleksitas permasalahan transportasi perkotaan yang ada, tipologi kota, dan lain-lain.

9.6.1 Kondisi sistem transportasi di perkotaan

Pada saat ini sebagian besar pemakai angkutan umum masih mengalami beberapa aspek negatif sistem angkutan umum jalan raya, yaitu:

• tidak adanya jadwal yang tetap; •

pola rute yang memaksa terjadinya transfer; •

kelebihan penumpang pada saat jam sibuk; •

cara mengemudikan kendaraan yang sembarangan dan membahayakan keselamatan;

• kondisi internal dan eksternal yang buruk.

Masalah transportasi di negara sedang berkembang

Terdapat berbagai masalah lain yang menunjukkan bahwa sistem angkutan umum perkotaan belum menyediakan kondisi pelayanan yang memuaskan. Di antaranya adalah kondisi angkutan umum perkotaan yang tergambarkan dalam bentuk pola pengoperasian trayek pada jaringan jalan yang tidak dikategorikan menurut jenis kendaraannya dan pola operasinya. Secara keseluruhan trayek angkutan umum membentuk sistem angkutan umum perkotaan yang mempunyai pola pelayanan yang sesuai dengan jaringan jalan yang ada.

Kondisi sistem angkutan umum tersebut dapat dianalisis dari sisi penyediaannya (kapasitas, frekuensi, dan pola pelayanan) dan juga caranya dalam melayani permintaan (Tamin, 1993d, 1994d, 1995ai; Tamin et al, 1993b). Secara umum permasalahan transportasi di perkotaan dipengaruhi oleh beberapa kondisi berikut (sebagai ilustrasi diambil permasalahan transportasi di Jakarta).

Sarana dan prasarana lalulintas masih terbatas

o Tidak seimbangnya persentase pertambahan jumlah kendaraan sebesar 11,47% per tahun dengan persentase pertambahan prasarana jaringan jalan yang hanya 4% per tahun;

o Sarana pejalan kaki (trotoar) belum memadai dan masih sangat kurang; o

Kapasitas persimpangan masih terbatas; o Sarana penyeberangan jalan belum memadai.

Manajemen lalulintas belum berfungsi secara optimal

o Kendaraan berpenumpang kurang dari 2 orang masih terlalu banyak; o Fungsi jalan belum terpisah secara nyata (fungsi jalan arteri masih

bercampur dengan fungsi jalan lokal); o Jalan dan trotoar digunakan oleh pedagang kaki lima dan usaha lainnya

seperti bengkel, dan parkir liar. o

Lalulintas satu arah masih terbatas pada jalan tertentu; o Lajur Khusus Bus (LKB) baru diterapkan pada beberapa jalan untuk jam

tertentu saja; o Penerapan Kawasan Pembatasan Lalulintas (KPL) masih terbatas pada

jam tertentu saja; o

Sistem kontrol lampu lalulintas sudah terlalu tua dan tidak memadai dalam kondisi lalulintas sekarang.

Pelayanan angkutan umum penumpang belum memadai

o Dari sekitar 2 juta kendaraan bermotor, tercatat jumlah angkutan pribadi 86%, angkutan umum 2,51%, dan sisanya sebesar 11,49% adalah angkutan barang. Selain itu, diketahui bahwa 57% perjalanan orang mempergunakan angkutan pribadi. Dengan demikian, proporsi angkutan penumpang menjadi tidak seimbang, yaitu 2,51% angkutan umum harus

512 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi 512 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

o Tidak seimbangnya jumlah angkutan umum dengan jumlah perjalanan orang yang harus dilayani menyebabkan muatan angkutan umum melebihi kapasitasnya, terutama pada jam sibuk;

Penataan angkutan umum belum mengacu kepada hierarki jalan;

o Belum tersedianya Sistem Angkutan Umum Massa (SAUM). •

Disiplin pemakai jalan masih rendah

o Disiplin pengendara, penumpang, maupun pejalan kaki masih kurang; o

Perubahan peraturan menyebabkan perlunya waktu untuk penyesuaian; o

Pendidikan mengenai lalulintas belum masuk dalam pendidikan formal.

9.6.2 Kebutuhan akan transportasi di perkotaan

Kecenderungan perjalanan orang dengan angkutan pribadi di daerah perkotaan akan meningkat terus bila kondisi sistem transportasi tidak diperbaiki secara lebih mendasar. Berarti akan lebih banyak lagi kendaraan pribadi yang digunakan karena pelayanan angkutan umum seperti saat ini tidak dapat diharapkan lagi. Peningkatan kecenderungan perjalanan dengan angkutan pribadi adalah dampak fenomena pertumbuhan daerah perkotaan.

• Meningkatnya aktivitas ekonomi kurang terlayani oleh angkutan umum yang memadai;

• Semakin meningkatnya daya beli dan tingkat privacy yang tidak bisa dilayani oleh angkutan umum.

• Meningkatnya harga tanah di pusat kota mengakibatkan tersebarnya lokasi permukiman jauh dari pusat kota atau bahkan sampai ke luar kota yang tidak tercakup oleh jaringan layanan angkutan umum;

• Dibukanya jalan baru semakin merangsang penggunaan angkutan pribadi karena biasanya di jalan baru tersebut belum terdapat jaringan layanan angkutan umum pada saat itu;

• Tidak tersedianya angkutan lingkungan atau angkutan pengumpan yang menjembatani perjalanan sampai ke jalur utama layanan angkutan umum;

• Kurang terjaminnya kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan tepat waktu, kebutuhan akan lama perjalanan yang diderita dalam pelayanan angkutan umum;

Selain itu, untuk Kotamadya Bandung, hal yang perlu diperhatikan adalah semakin bergesernya daerah perumahan dari pusat kota ke daerah pinggiran yang disebabkan karena harga lahan di daerah pusat kota yang semakin mahal. Rata-rata jarak perjalanan berubah dari 13 km pada tahun 1995 menjadi 16.2 km pada tahun 2030. Persentase pergerakan di atas 20 km berubah dari 23% pada tahun 1995 menjadi

Masalah transportasi di negara sedang berkembang

31% pada tahun 2030. Sedangkan jarak antara 10 − 20 km berubah dari 17% pada tahun 1995 menjadi 25% pada tahun 2030.

9.6.3 Organisasi dan kelembagaan

Masalah kelembagaan menyangkut pula masalah kewenangan lembaga yang mengelola masalah transportasi perkotaan. Masalah kewenangan kelembagaan ini selanjutnya sangat terkait pada masalah yang ditimbulkannya sebagai akibat dari:

• terjadinya tumpang tindih kegiatan beberapa lembaga tertentu dalam menangani permasalahan transportasi perkotaan. Hal ini semakin menjadi rumit apabila tidak terdapat koordinasi yang baik antarlembaga terkait. Untuk itu sangat dirasakan perlu penjabaran hak, tanggung jawab, dan wewenang setiap lembaga dalam penanganan masalah transportasi perkotaan ini.

• terjadinya kekosongan dalam kelembagaan akibat tidak adanya badan yang bertanggung jawab terhadap permasalahan transportasi perkotaan. Hal ini jelas sangat berdampak negatif terhadap transportasi perkotaan.

9.6.4 Peraturan pelaksanaan

Setiap kota mempunyai jumlah peraturan pelaksanaan yang berbeda-beda, baik dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur, atau Walikota, Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, dan lain-lain. Bila dikaji lebih jauh ternyata permasalahan pengelolaan transportasi perkotaan yang paling kompleks saat ini adalah yang berkaitan pada aspek pengelolaan pelaksanaan kegiatan. Hal ini berkaitan dengan perilaku pengguna yang memanfaatkan fasilitas yang disediakan pemerintah. Dikeluarkannya Surat Keterangan (SK) umumnya karena terjadi pelanggaran, penyalahgunaan, dan perusakan fasilitas tersebut.

Sementara itu dikeluarkan juga beberapa Instruksi Kepala Daerah (Gubernur) yang umumnya berkaitan dengan upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam bentuk anjuran, pengarahan, penjelasan, dan himbauan.

Bila dikaji lebih jauh dapat disimpulkan bahwa aspek pengelolaan harus didukung oleh sistem perundangan yang jelas kekuatan hukumnya. Bentuk perundangan yang mungkin diterapkan di tingkat daerah adalah Peraturan Daerah (Perda), Surat Keputusan, Instruksi, dan Pengumuman. Semua perangkat perundangan ini ditujukan untuk mengatur perilaku pengguna sarana transportasi. Pelanggar ketentuan biasanya dikenakan sangsi hukum oleh Pemerintah Daerah, sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan.

Dilihat dari aspek hukum, sebenarnya pelanggaran terhadap ketentuan Pemerintah Daerah yang belum diresmikan belum memiliki kekuatan hukum yang mutlak. Oleh sebab itu, pelanggar ketentuan Pemerintah Daerah baru ditegur dengan imbauan dan anjuran. Peraturan yang lebih rendah, seperti Instruksi Gubernur, atau bahkan Pengumuman Gubernur, tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali sehingga pelanggarnya tidak dapat ditindak di pengadilan.

514 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Dalam prosesnya, suatu Keputusan Daerah mempunyai ketentuan hukum yang sah apabila telah diresmikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Peraturan yang telah diresmikan dapat diartikan telah disetujui oleh masyarakat melalui wakilnya (DPRD). Oleh sebab itu, pelanggarnya dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mekanisme ini masih belum dimasyarakatkan dalam kehidupan perkotaan. Bahkan di kota metropolitan (DKI-Jakarta), mekanisme ini baru disadari oleh sebagian kelompok lapisan masyarakat tertentu yang mengerti masalah hukum.

Disadari bahwa proses pembentukan perda saat ini sangat rumit dan memerlukan waktu lama serta membutuhkan sumber daya manusia yang lebih besar. Namun, langkah tersebut harus ditempuh. Salah satu alternatif adalah mempelajari kemungkinan disederhanakannya proses pembentukan perda.

9.6.5 Undang-undang dan peraturan

Sistem perundangan merupakan pelengkap pembahasan permasalahan, meliputi identifikasi hierarki perundangan yang tertinggi hingga perundangan yang dijadikan landasan hukum bagi pengelolaan sistem transportasi di daerah. Sistem perundangan harus dibicarakan dengan membahas semua perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem transportasi perkotaan dari tingkat nasional hingga perundangan daerah. Urutan pokok bahasannya adalah:

• Undang-Undang •

Keputusan Presiden •

Instruksi Presiden •

Peraturan Pemerintah dan petunjuk pelaksanaannya •

Keputusan Menteri dan petunjuk pelaksanaannya •

Keputusan Dirjen dan petunjuk pelaksanaannya •

Peraturan Daerah Tingkat I dan petunjuk pelaksanaannya •

Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I dan petunjuk pelaksanaannya

• Instruksi Gubernur Daerah Tingkat I dan petunjuk pelaksanaannya •

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II dan petunjuk pelaksanaannya

• Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II dan petunjuk pelaksana- annya

9.6.6 Analisis permasalahan

DKI-Jakarta merupakan ibukota negara dengan jumlah penduduk pada tahun 1996 hampir 8 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 4% per tahun. Semakin besar jumlah penduduk, pergerakanpun semakin tinggi sehingga dibutuhkan prasarana dan sarana yang memadai agar mobilitas kegiatan penduduk kota

berlangsung efisien. Dengan lahan seluas hanya 650 km 2 ini, proses aktivitas ekonomi berjalan tanpa henti.

Masalah transportasi di negara sedang berkembang

Perlu dicatat bahwa selama kurun 13 tahun sejak tahun 1972, 13% luas lahan telah berubah menjadi kawasan terbangun. Di samping itu, kelancaran lalulintas menurun seiring dengan laju pertumbuhan kendaraan yang tinggi, ±14% per tahun, sedangkan penyediaan fasilitas prasarana hanya sanggup tumbuh ±4% per tahun. Kesenjangan dalam penyediaan fasilitas prasarana jalan ditambah dengan terbatasnya fasilitas parkir di pusat kota juga menambah kerawanan lalulintas di pusat kota.

Dalam konteks pengembangannya, DKI-Jakarta dibagi menjadi beberapa Wilayah Pengembangan (WP) yang masing-masing mempunyai ciri tersendiri dalam mengembangkan potensinya. Dalam rangka pengembangan fisik kota, berdasarkan kondisi dan potensi wilayah pengembangan sampai dengan tahun 2005, pengembangan wilayah perkotaan dipusatkan pada wilayah pengembangan barat dan timur, sedangkan wilayah selatan dibatasi dan diawasi.

Untuk melaksanakan strategi pengembangan ditempuh beberapa kebijakan, yaitu program penyebaran pembangunan dengan menciptakan pusat kegiatan baru, khususnya di wilayah barat dan timur, untuk mengurangi intensitas di pusat kota di samping mewujudkan tujuan lain, yaitu peningkatan wilayah Botabek.

Sesuai dengan sifat kota metropolitan yang telah melekat pada Jakarta, kebutuhan daerah yang kompleks serta mendesak telah membentuknya menjadi kota yang sarat dengan organisasi untuk menjamin terlaksananya pemerintahan yang lancar. Boleh dikatakan semua bentuk organisasi yang menyangkut transportasi perkotaan telah ada.

9.6.6.1 Aspek organisasi

Untuk hal yang lebih mendesak, seperti masalah kemacetan yang sering melanda kota besar, dibentuk tim atau kelompok kerja (pokja). Contohnya, untuk mengatur manajemen dan sirkulasi lalulintas seperti pengaturan jalan searah, dibentuk tim yang bersifat teknis, yaitu Tim Pengendali Lalulintas dan Angkutan yang sedang digalakkan di DKI-Jakarta.

Mengingat masalah kemacetan menyangkut banyak pihak, penyelesaiannya melibatkan banyak pihak, meliputi DLLAJ, DTK, BPP, Polda, Bappeda, DPU, dan juga dari Departemen Perhubungan Darat.

9.6.6.2 Peraturan pelaksanaan

Untuk mengantisipasi pelaksanaan PP Nomor

22 Tahun 1990, Pemda DKI-Jakarta mempunyai peraturan pelaksanaan yang cukup banyak untuk melaksanakan pengelolaan aspek transportasi. Menurut tingkat keperluannya peraturan pelaksanaan dapat berupa Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, Instruksi Gubernur, dan Pengumuman Gubernur.

Selama kurun waktu 25 tahun sampai dengan tahun 1993, untuk berbagai hal yang menyangkut permasalahan transportasi perkotaan, DKI-Jakarta mempunyai 78 Surat Keputusan Gubernur, 9 Instruksi Gubernur, 3 Pengumuman Gubernur, dan 1 Peraturan Daerah mengenai retribusi daerah bidang ekonomi. Hampir semua peraturan itu menyangkut masalah manajemen transportasi perkotaan. SK Gubernur dikeluarkan umumnya untuk memecahkan permasalahan pelanggaran, penya- lahgunaan, dan perusakan sarana transportasi, sedangkan Instruksi Gubernur lebih mengarah kepada pembinaan masyarakat dalam bentuk anjuran dan imbauan.

516 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Sesuai dengan yang telah digariskan dalam RUTR DKI-Jakarta, tujuan pengelolaan transportasi perkotaan akan disesuaikan. Selanjutnya, tujuan dan sasaran arah kebijakan pengembangan sektor transportasi perkotaan di dalam RUTR DKI-Jakarta 2005 ditetapkan sebagai berikut.

9.6.6.3 Aspek transportasi

• Menyediakan sistem transportasi perkotaan terpadu yang memadukan berbagai moda transportasi;

• Meningkatkan dan memperluas sistem jaringan prasarana untuk mempertinggi mobilitas dan pelayanan bagi kemudahan masyarakat seluruh wilayah DKI- Jakarta dan Botabek;

• Meningkatkan pengaturan lalulintas untuk mengurangi kemacetan dan memperpendek waktu perjalanan;

• Mendorong dan merangsang masyarakat untuk menggunakan jasa angkutan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di lingkungan padat;

Strategi pengembangan sektor transportasi perkotaan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut.

• Tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan pada tahun 2005 berdasarkan hasil proyeksi masih belum bisa dilayani dengan percepatan pembangunan prasarana jalan. Jadi untuk tercapainya kelancaran lalulintas diperkirakan 35% − 40% perjalanan dengan angkutan pribadi perlu dipindahkan ke angkutan umum, untuk selanjutnya dapat ditampung pada jaringan yang akan selesai pada tahun 2005.

• Kebutuhan akan angkutan umum, apabila hanya dipenuhi oleh angkutan bus, akan menimbulkan masalah dalam pengoperasian. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perlu peningkatan sistem angkutan bus yang terpadu dengan sistem angkutan massa lain. Pada jalur padat perlu disediakan lajur khusus bus atau angkutan massa yang terpadu dengan moda angkutan lainnya.

• Dalam rangka memindahkan penggunaan angkutan pribadi ke angkutan umum, perlu peraturan yang menghambat penggunaan kendaraan pribadi. Tetapi hal ini harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan angkutan umum; baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

• Salah satu cara menerapkan pembatasan lalulintas adalah melalui kebijakan perparkiran, yaitu memberlakukan tarif parkir yang tinggi, terutama di DKI- Jakarta. Demikian pula, parkir di badan jalan secara bertahap baru dihilangkan, terutama di jalan yang padat volume lalulintasnya.

• Kereta api dijadikan angkutan alternatif dengan meningkatkan perannya untuk mengangkut 15% perjalanan orang dalam kota.

• Peningkatan angkutan umum barang dalam kota dilakukan dengan memadukan kebijakan lokasi pergudangan, industri terminal angkutan barang, dan pelabuhan serta fasilitas angkutan kereta api antarkota.

Banyak hal yang menyangkut transportasi perkotaan, khususnya di daerah metropolitan, yang pelaksanaannya membingungkan pengelola lalulintas daerah,

Masalah transportasi di negara sedang berkembang

Di samping itu, masih terdapat permasalahan lain yang menjadi kendala dalam mengembangkan sistem transportasi perkotaan di wilayah DKI-Jakarta, yaitu hal yang timbul di daerah transisi antara wilayah DKI-Jakarta dan wilayah Botabek. Mengingat hal ini menyangkut 2 atau lebih pemerintah daerah, masalah transportasi perkotaan harus dirundingkan bersama, khususnya yang menyangkut angkutan antarkota dan angkutan pinggiran kota beserta trayeknya. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, diperlukan perancangan dan perencanaan yang baik.

Dari segi kelengkapan dan kesiapan organisasi dan instansi yang terlibat dalam pengelolaan aspek transportasi yang dilimpahkan dalam PP Nomor 22 Tahun 1990 kepada DLLAJ, organisasi di DKI- Jakarta dinilai paling lengkap dan paling siap. Mungkin karena masalah yang dihadapi DKI-Jakarta memang cukup kompleks dan sangat mendesak penyelesaiannya.

9.6.6.4 Undang-undang dan peraturan

Untuk mengantisipasi pelaksanaan UU-LLAJ Nomor 14 tahun 1992 yang tentu berkaitan dengan pelimpahan PP Nomor 22 tahun 1990, banyak Keputusan Menteri yang telah dan akan dikeluarkan untuk membantu proses pelaksanaannya, terutama yang menyangkut pengaturan, penyelenggaraan, pelaksanaan, dan pembinaan. Adapun Keputusan Menteri untuk menunjang pelaksanaan UU-LLAJ Nomor 14 tahun 1992 tersebut adalah:

• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1993 tentang Angkutan Jalan.

• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di jalan.

• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalulintas Jalan.

• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi.