Uji kedalaman tingkat resolusi sistem zona dan sistem jaringan terhadap akurasi MAT

8.18.3 Uji kedalaman tingkat resolusi sistem zona dan sistem jaringan terhadap akurasi MAT

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam subbab ini adalah bahwa tingkat akurasi MAT yang dihasilkan dari data arus lalulintas sangat dipengaruhi oleh resolusi sistem zona dan sistem jaringan jalan di daerah kajian. Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) telah melakukan beberapa uji mengenai hal ini sebagai berikut:

penentuan tata cara penomoran titik simpul, kodefikasi zona dan penghubung

pusat zona sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi sistem zona dan sistem jaringan di daerah kajian;

analisis pengaruh perubahan sistem zona terhadap tingkat akurasi MAT yang dihasilkan dari data arus lalulintas di mana sistem jaringan dianggap tidak

berubah. analisis pengaruh perubahan sistem jaringan terhadap tingkat akurasi MAT

yang dihasilkan dari data arus lalulintas di mana sistem zona dianggap tidak berubah.

analisis pengaruh akibat adanya perubahan sistem zona dan sistem jaringan terhadap tingkat akurasi MAT yang dihasilkan dari data arus lalulintas.

8.18.3.1 Penomoran titik simpul, kodefikasi zona dan penghubung pusat zona

Tata cara penomoran titik simpul, kodefikasi zona dan penghubung pusat zona perlu diseragamkan untuk memudahkan dalam melakukan analisis sistem zona dan sistem jaringan pada setiap skenario yang akan diterapkan. Untuk itu dibutuhkan suatu acuan atau arahan dalam penetapan penomoran titik simpul dan kodefikasi sistem yang meliputi sistem jaringan arteri, kolektor, dan lokal serta sistem zona kelurahan, kecamatan, dan wilayah.

a Sistem penomoran dan kodefikasi Penomoran titik simpul dan kodefikasi dirasakan sangat penting dilakukan secara terstruktur untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan pada saat pengolahan data baik sistem zona maupun sistem jaringan jalan. Adapun penomoran titik simpul dan kodefikasi yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut:

442 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

• penomoran titik simpul, menggunakan tiga angka di mana angka pertama menunjukkan jenis pertemuan jaringan jalan yang membentuk simpul kemudian diikuti dua angka berikutnya yang merupakan urutan dari nomor simpul tersebut. Penomoran tersebut dapat dilihat pada tabel

8.3 berikut ini:

Tabel 8.3 Penomoran titik simpul No

Pertemuan

Pertemuan Contoh jaringan

jaringan penomoran

1 arteri x arteri

101, 102, 103, 104, …….dst

4 kolektor x kolektor 401, 402, 403, 404, ..……dst

2 arteri x kolektor

5 kolektor x lokal 601,602,...700,

701, …..…dst 3 Arteri x lokal

204, ……..dst

301, 302, 303, 304, ……...dst

6 lokal x lokal 901, 902, 903, 904, …..…dst

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Pada hal khusus sistem penomoran titik simpul tidak berlaku sesuai

dengan contoh di atas, hal ini disebabkan karena kekonsistenan penomoran yang didasarkan pada urutan hierarki sistem jaringan jalan.

• kodefikasi zona, pembagian zona diurut berdasarkan kode pembagian wilayah, kecamatan, dan kelurahan dengan menggunakan angka awal 8 untuk Kotamadya Bandung dan angka awal 9 untuk Kabupaten Bandung. Sebagai contoh 8111, 8224, 8335 untuk Kotamadya Bandung dan 9111, 9261, 9331 untuk Kabupaten Bandung.

• Kodefikasi penghubung pusat zona, menggunakan angka pertama 1 yang diikuti dengan tiga angka berikutnya di mana angka tersebut menyatakan urutan dari pusat penghubung zona yang digunakan, seperti 1001, 1099, 1130, dan seterusnya.

b Prosedur penomoran titik simpul dan kodefikasi Prosedur penomoran dan kodefikasi tersebut telah disusun dalam bentuk tahapan sebagai berikut:

1 menyiapkan peta dasar yang memuat sistem jaringan jalan dan batas daerah menurut administrasi (wilayah, kecamatan, kelurahan) yang meliputi seluruh daerah kajian;

2 mengidentifikasi sistem jaringan jalan arteri dan melakukan penomoran terhadap pertemuan jalan tersebut sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan sebelumnya;

3 ulangi langkah 2) di atas terhadap pertemuan sistem jaringan jalan lainnya dan lakukan penomoran terhadap pertemuan tersebut sesuai sistem yang telah ditetapkan. Lakukan untuk seluruh pertemuan ruas jalan yang ada;

4 langkah selanjutnya adalah kodefikasi sistem zona dengan membagi daerah kajian dalam batas wilayah, kemudian setiap wilayah dibagi menjadi zona kecamatan, dan selanjutnya kecamatan dibagi lagi menjadi zona terkecil yaitu zona kelurahan;

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

5 tentukan kodefikasi dari setiap zona berdasarkan langkah 4) dengan mengikuti petunjuk pada penjelasan kodefikasi zona. Lakukan untuk semua zona yang ada dalam daerah kajian;

6 menetapkan kodefikasi penguhubung pusat zona yang menghubungkan pusat zona ke ruas jalan dengan mengikuti petunjuk di atas;

7 mengukur panjang setiap ruas jalan antara dua titik simpul yang berdekatan, hal ini dilakukan untuk semua ruas jalan yang ada dalam daerah kajian sehingga membentuk sistem jaringan yang tertutup.

Tata cara penomoran titik simpul, kodefikasi zona dan penghubung pusat zona dapat dilihat pada gambar 8.10.

Gambar 8.10 Kodefikasi dan penomoran titik simpul Keterangan gambar:

jalan arteri ▲ pusat zona jalan kolektor ● titik simpul jalan lokal 1081 penghubung pusat zona

Data arus lalulintas yang diperoleh dari survei lapangan (data primer) dan data sekunder dari instansi terkait diolah sesuai kebutuhan.

8.18.3.2 Pengolahan data

a Sistem zona Sistem pembagian zona didasarkan pada sistem tata guna tanah di mana satu satuan tata guna tanah didapat dengan membagi wilayah kajian menjadi bagian yang lebih kecil (zona) yang dianggap mempunyai

444 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi 444 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Sistem pembagian zona di Kotamadya Bandung dilakukan berdasarkan basis kelurahan; akan tetapi untuk kelurahan yang memiliki jaringan jalan terbatas khususnya pada daerah pinggiran kota digabungkan dengan kelurahan terdekat sehingga jumlah kelurahan menjadi 100 zona. Untuk Kabupaten Bandung, sistem pembagian zona dilakukan berdasarkan kelurahan sebanyak 39 zona yang diutamakan di lokasi pengambilan data arus lalulintas; sedangkan untuk daerah yang agak jauh dari lokasi pengambilan data dilakukan penggabungan baik kelurahan maupun kecamatan. Dalam kajian ini, sistem zona dibagi seperti tabel 8.4 berikut. Untuk lebih rinci, resolusi sistem zona berdasarkan

wilayah (Z 1 ) dan kelurahan (Z 4 ) dapat dilihat pada gambar 8.11 − 8.12.

Tabel 8.4 Sistem zona berdasarkan skenario

No

Sistem zona berdasarkan

Notasi

1 Kelurahan Z 4

2 Gabungan antar kelurahan

3 Kecamatan

4 Wilayah

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Penggabungan zona dilakukan secara bertahap berdasarkan hierarki pembagian zona (kelurahan, kecamatan, dan wilayah). Kriteria yang digunakan dalam proses penggabungan zona adalah:

• keseragaman tata guna lahan •

jaringan jalan yang ada dalam suatu zona terbatas •

lokasi zona berdekatan Hasil pengolahan data resolusi sistem zona yang digunakan pada daerah kajian

ini dapat dilihat pada tabel 8.5 dan gambar 8.13. Tabel 8.5 Jumlah zona yang digunakan pada daerah kajian berdasarkan perubahan

sistem zona.

Jumlah zona

Pembagian zona No berdasarkan

39 6 145 2 Gabungan kelurahan

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

CIMAHI UTARA

CIMAHI TENGAH

8100

JATINANGOR

9201 CIMAHI SELATAN

8500

MARGA ASIH 8300

Gambar 8.11 Resolusi sistem zona berdasarkan wilayah (Z 1 )

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Keterangan :

PADALARANG NGAMPRAH

CIMAHI UTARA

CIMAHI TENGAH

CIMAHI SELATAN

MARGA ASIH 9221

Gambar 8.12 Resolusi sistem zona berdasarkan kelurahan (Z 4 )

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

446 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Gambar 8.13a − d. Skenario I (sistem zona berubah, sistem jaringan tetap) Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Keterangan gambar:

Jalan arteri 1020

penghubung pusat zona

batas zona

Jalan kolektor

Jalan lokal ▲ pusat zona

b Sistem jaringan Jaringan jalan di Kotamadya Bandung dan sekitarnya merupakan prasana yang sangat menunjang dalam melakukan aktifitas sehari- hari. Sesuai dengan fungsinya, sistem jaringan jalan dibagi atas 3 kelompok yaitu jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal. Dalam kajian ini, sistem jaringan jalan dibagi berdasarkan skenario pada tabel 8.6 berikut. Untuk lebih

rinci, resolusi sistem jaringan berdasarkan arteri + sebagian kolektor (J 1 ) dan arteri + kolektor + lokal (J 4 ) dapat dilihat pada gambar 8.14 − 8.15. Tabel 8.6 Sistem pembagian jaringan berdasarkan skenario

No

Jaringan jalan berdasarkan

Notasi

1 Arteri + Kolektor + Lokal J 4 2 Arteri + Kolektor + sebagian Lokal

J 3 3 Arteri + Kolektor

J 2 4 Arteri + sebagian Kolektor

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Keterangan :

Jalan arteri Jalan kolektor Jalan lokal

Gambar 8.14 Resolusi sistem jaringan berdasarkan arteri + sebagian kolektor (J 1 )

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Keterangan :

Jalan arteri Jalan kolektor Jalan lokal

Gambar 8.15 Resolusi sistem jaringan berdasarkan arteri + kolektor + lokal (J 4 )

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

c Gabungan sistem zona dan jaringan Analisis dilakukan berdasarkan 3 (tiga) skenario yang dikembangkan dari berbagai sistem pembagian zona dan jaringan jalan seperti tabel 8.7 berikut.

448 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Tabel 8.7a Skenario I (sistem zona tetap, Tabel 8.7b Skenario II (sistem zona tetap, sistem jaringan berubah)

berubah, sistem jaringan tetap)

Sistem No jaringan

Sistem Sistem

Sistem

zona Kombinasi berubah

zona

Kombinasi No jaringan

Tabel 8.7c Skenario III (sistem zona dan jaringan berubah)

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Pangkalan data untuk sistem zona dan jaringan terhalus (Z 4 J 4 ) akan dijadikan

sebagai acuan dalam melakukan perubahan sistem zona dan sistem jaringan berdasarkan skenario yang telah ditetapkan.

d Resolusi sistem jaringan Resolusi sistem jaringan yang digunakan pada skenario II dan III dilakukan terhadap sistem zona dan jaringan terhalus (Z 4 J 4 ). Pelepasan jaringan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan hierarki jaringan jalan yaitu jalan arteri, kolektor, dan lokal. Dalam melakukan pelepasan jaringan, terdapat beberapa hal tertentu yang harus diperhatikan seperti yang terlihat pada gambar 8.16.

No Alasan Sketsa

653 1 pengambilan data volume arus lalulintas

Ruas tersebut merupakan lokasi tempat 421

2 Bertemunya arus searah dan dua arah pada

suatu titik simpul 467

3 Berpisahnya arus searah pada satu titik simpul 428 yang berasal dari arus searah

4 Bertemunya arus searah pada satu titik simpul dimana arus tersebut akan berpencar 20 21

Gambar 8.16 Hal khusus yang harus diperhatikan pada saat melakukan penyederhanaan sistem jaringan. Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Terlihat bahwa terdapat ruas jalan yang harus dipertahankan sampai keseluruhan perubahan dilakukan tetapi terdapat juga ruas jalan yang pada tahap pelepasan jaringan hierarki tertentu telah dapat dihilangkan. Persyaratan tersebut digunakan sebagai acuan dalam melakukan pelepasan jaringan pada daerah kajian. Resolusi sistem jaringan pada skenario II dapat dilihat pada gambar 8.17 berikut.

Gambar 8.17a − d Skenario II (sistem zona tetap, sistem jaringan berubah

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Keterangan gambar:

jalan arteri 1020 penghubung pusat zona

jalan kolektor

batas zona

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan sistem zona dan jaringan di daerah kajian terhadap tingkat akurasi MAT yang dihasilkan dari data arus lalulintas. Dalam kajian ini, MAT akan dihasilkan dari informasi 74 buah data arus lalulintas hasil pengamatan dengan menggunakan pendekatan model kebutuhan akan transportasi. Analisis yang dilakukan dibagi dalam 3 tahap sebagai berikut:

8.18.3.3 Hasil analisis

• pengujian skenario I (sistem zona tetap, sistem jaringan berubah) • pengujian skenario II (sistem zona berubah, sistem jaringan tetap)

450 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

• Pengujian skenario III (sistem zona dan jaringan berubah) Bagan alir dari prosedur pengujian dapat dilihat seperti gambar 8.18.

Skenario perubahan:

1. Sistem zona tetap, sistem jaringan berubah

2. Sistem zona berubah, sistem jaringan tetap

3. Sistem zona dan jaringan berubah •

74 data arus lalulintas hasil pengamatan

Pembebanan

• Model gravity-opportunity

keseimbangan

Kalibrasi parameter model GO

dengan metoda KTTL

MAT hasil proses estimasi

MAT Z 4 J 4 (sebagai MAT pembanding)

Uji statistik RMSE, R 2 , NMAE

Kesimpulan

Gambar 8.18 Diagram alir pengujian berdasarkan informasi data arus lalulintas Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

a Penerapan model dan kalibrasi parameter Tahap awal yang dilakukan dalam penggunaan model gravity-opportunity (GO) adalah menentukan parameter ε dan µ . Parameter tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum melakukan penaksiran terhadap parameter lainnya. Dengan menetapkan beberapa variasi kombinasi nilai ε =0–1,0 dan µ =0–1,0 dengan interval 0,1; setiap kombinasi akan menghasilkan nilai fungsi tujuan S.

Dari hasil uji yang dilakukan terhadap ( ε , µ , dan S) maka nilai minimum S terjadi pada titik ε =1,0 dan µ =0. Nilai ε dan µ tersebut kemudian digunakan selanjutnya untuk menghitung nilai parameter lainnya yang belum diketahui ( α dan β ) dengan menggunakan metoda penaksiran Kuadrat-Terkecil-Tidak- Linear (KTTL). Nilai parameter yang didapat akan digunakan selanjutnya untuk menaksir MAT dengan menggunakan model GO.

Hasil nilai ε =1,0 dan µ =0 menunjukkan bahwa pada titik tersebut model GO akan menghasilkan MAT yang paling mendekati MAT hasil observasi. Selain itu, nilai tersebut menunjukkan bahwa pergerakan kendaraan pada daerah kajian memberikan bobot yang lebih besar pada komponen opportunity dibandingkan dengan komponen gravity.

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Data yang digunakan adalah data hasil survei antara jam 7.00 −

8.00 pagi sehingga pergerakan pada saat itu sebagian besar adalah pergerakan untuk tujuan bekerja. Untuk pergerakan untuk tujuan bekerja di daerah perkotaan, efek opportunity diperkirakan lebih dominan dibandingkan dengan efek gravity (biaya).

Hal ini disebabkan karena semakin bergesernya daerah perumahan ke daerah pinggiran kota sedangkan lokasi pekerjaan tetap berada di pusat kota (terdapat kecenderungan semakin besarnya rata-rata jarak antara tempat tinggal dengan tempat bekerja). Dengan kata lain, seseorang dengan tujuan bekerja akan melakukan pergerakan ke tempat bekerja (efek opportunity) tanpa memperhatikan berapa besar biaya yang dibutuhkan ke tempat bekerja tersebut (efek gravity).

b Pengujian skenario I (sistem zona tetap, sistem jaringan berubah) Uji ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan sistem jaringan terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran dari data arus lalulintas dengan menggunakan pendekatan model GO. Kuantifikasi yang digunakan untuk melihat perubahan sistem jaringan pada uji skenario I terlihat pada tabel 8.8. Uji ini dilakukan dengan

menggunakan 3 indikator uji statistik RMSE, R 2 , dan NMAE seperti terlihat pada tabel 8.9, sedangkan hasil uji dengan indikator RMSE dan NMAE dapat

dilihat pada gambar 8.19. Tabel 8.8 Kuantifikasi perubahan sistem jaringan skenario I

Kuantifikasi perubahan jaringan

No Panjang x Kapasitas Panjang/Luas daerah PanjangxKapasitas/Luas (smp.km/jam)

(Km/Km 2 )

daerah (smp.km/jam)/Km 2

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Tabel 8.9 Indikator uji statistik RMSE dan NMAE perbandingan antara MAT terhalus

(J 4 Z 4 ) terhadap MAT (J 3 Z 4 − J 1 Z 4 ) dengan menggunakan 74 data arus lalulintas

No Jenis pengujian

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Dari tabel 8.9 dan gambar 8.19 terlihat bahwa tingkat kesalahan antara MAT

terhalus (Z 4 J 4 ) dengan MAT (Z 4 J 4 − Z 4 J 1 ) dengan indikator uji statistik RMSE menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak perubahan sistem jaringan cukup signifikan terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran.

452 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

E E S AK M 3,00

Panjang x Kapasitas (x 10 3 )

145 Zona

Panjang x Kapasitas (x 10 3 )

R M 3,00

Panjang / Luas daerah

145 Zona

Panjang / Luas daerah

S E 3,00

Panjang x Kapasitas

145 Zona

Panjang x Kapasitas Luas daerah 145 Zona Luas daerah

Gambar 8.19 Uji statistik RMSE dan NMAE perbandingan antara MAT terhalus (J 4 Z 4 )

terhadap MAT (J 3 Z 4 − J 1 Z 4 ) akibat perubahan sistem jaringan

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Gambar 8.19 memperlihatkan bahwa perubahan sistem jaringan yang

dilakukan pada skenario I memberikan MAT hasil penaksiran dengan tingkat kesalahan yang bervariasi seperti ditunjukkan oleh pertemuan titik-titik antara indikator uji statistik terhadap kuantifikasi dari perubahan sistem jaringan. Titik pertemuan antara RMSE terhadap kuantifikasi perubahan sistem jaringan mencapai titik optimum pada saat penggunaan jaringan AK. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan hasil yang cukup besar dibandingkan dengan titik lainnya.

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Penggunaan sistem jaringan AK merupakan pemodelan sistem jaringan optimum bagi daerah kajian yang dapat digunakan patokan bagi pelaksanaan pemodelan selanjutnya. Selain itu, perubahan sistem jaringan pada skenario I (AKL, AKL*, AK, AK*) seperti terlihat pada gambar 8.19 dengan jumlah zona tetap (145 buah) memperlihatkan tingkat kesalahan yang cukup besar terhadap MAT pembanding.

b Pengujian skenario II (sistem zona berubah, sistem jaringan tetap) Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan sistem zona terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran dari data arus lalulintas dengan menggunakan pendekatan model GO. Kuantifikasi yang digunakan untuk melihat perubahan sistem zona pada uji skenario II terlihat pada tabel 8.10. Uji ini dilakukan dengan menggunakan 3 indikator uji statistik RMSE, R 2 , dan NMAE seperti

terlihat pada tabel 8.11, sedangkan hasil uji dengan indikator RMSE dan NMAE dapat dilihat pada gambar 8.20.

Tabel 8.10 Kuantifikasi yang digunakan untuk menggambarkan perubahan sistem zona skenario II (sistem zona berubah, sistem jaringan tetap)

Kuantifikasi perubahan sistem zona

No Jumlah zona

Jumlah zona x penghubung (buah)

Jumlah penghubung

pusat zona (buah)

pusat zona

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Tabel 8.11 Indikator uji statistik RMSE dan NMAE perbandingan antara MAT terhalus

(J 4 Z 4 ) terhadap MAT (J 4 Z 3 s/d J 4 Z 1 ) dengan menggunakan 74 data arus lalulintas

No Jenis pengujian

1 RMSE 0,0000 16,0154 68,2895 102,9655 2 R 2 1,0000 0,5056 0,2805 0,0167 3 NMAE 0,0000 59,4445 70,6668 115,7805

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Dari tabel 8.11 dan gambar 8.20 terlihat bahwa perubahan jumlah zona, jumlah

penghubung pusat zona, dan perkalian antara jumlah zona x penghubung pusat zona terhadap tingkat kesalahan dengan uji statistik RMSE meningkat seiring dengan berkurangnya kuantifikasi perubahan sistem zona yang dilakukan.

Hasil uji ini menunjukkan bahwa nilai RMSE dan R 2 yang didapat dengan menggunakan model GO semakin besar bersamaan dengan berkurangnya

jumlah zona yang digunakan pada daerah kajian. Hasil ini menggambarkan bahwa perubahan jumlah zona sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi MAT yang dihasilkan. Jika hal ini dibandingkan dengan hasil skenario I (sistem zona tetap, sistem jaringan berubah), lihat gambar 8.19, ternyata dapat disimpulkan bahwa perubahan sistem zona mempunyai dampak yang lebih besar terhadap akurasi MAT hasil penaksiran dibandingkan dengan perubahan sistem jaringan.

454 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Jumlah zona

Jar. AKL Jumlah zona Jar. AKL

Jumlah penghubung zona

Jar. AKL Jumlah penghubung zona Jar. AKL

Zona x Penghubung zona

Jar. AKL Zona x Penghubung zona Jar. AKL Gambar 8.20 Uji statistik RMSE dan NMAE perbandingan antara MAT terhalus (J 4 Z 4 )

terhadap MAT (J 4 Z 3 − J 4 Z 1 ) akibat perubahan sistem zona

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Hasil uji statistik RMSE pada tabel 8.11 yang diperlihatkan pada gambar 8.20

menunjukkan bahwa perubahan jumlah zona pada daerah kajian sangat berpengaruh besar terhadap tingkat akurasi MAT. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kesalahan yang semakin meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah zona yang digunakan pada daerah kajian. Tingkat kesalahan ini dimungkinkan karena pergerakan intrazona pada MAT pembanding semakin membesar dengan berkurangnya jumlah zona yang digunakan.

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Gambar 8.20 memperlihatkan bahwa perubahan sistem zona yang dilakukan pada skenario II memberikan MAT hasil penaksiran dengan tingkat kesalahan yang bervariasi seperti ditunjukkan oleh pertemuan titik-titik antara indikator uji statistik terhadap kuantifikasi dari perubahan sistem zona. Titik pertemuan antara RMSE terhadap kuantifikasi perubahan sistem jaringan mencapai titik optimum pada saat perubahan dari sistem 95 zona ke 49 zona. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan hasil yang cukup besar dibandingkan dengan titik lainnya. Penggunaan sistem 95 zona merupakan pemodelan sistem zona optimum bagi daerah kajian yang dapat digunakan patokan bagi pelaksanaan pemodelan selanjutnya.

c Pengujian skenario III (sistem zona dan jaringan berubah) Pengujian ini dilakukan untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan sistem zona dan jaringan pada daerah kajian. Data kuantifikasi untuk menggambarkan pengaruh perubahan sistem zona dan jaringan terlihat pada tabel 8.12; sedangkan hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel 8.13.

Tabel 8.12 Kuantifikasi yang digunakan untuk menggambarkan perubahan sistem zona dan sistem jaringan skenario III (sistem zona dan sistem jaringan berubah)

Kuantifikasi perubahan sistem zona dan Perubahan

jaringan

sistem Jumlah No jaringan dan zona

(smp.km/jam) Panjang x

{(Panjang x

Kapasitas)/ (Luas zona

(buah)

Kapasitas x

Jumlah zona

total)} xJumlah zona

(smp.km/jam)

(smp.km/jam)/km 2

Jaringan A+K+L

713.795 Gab.kelurahan 95 2.137.948

Jaringan A+K+L*

659.231 2 Gab.kelurahan 95 1.974.517

Jaringan A+K

593.845 Gab.kelurahan 95 1.778.676

Jaringan A+K*

568.943 Gab.kelurahan 95 1.704.089

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

456 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Tabel 8.13 Indikator uji statistik perbandingan antara MAT terhalus (J 4 Z 4 ) terhadap MAT setelah perubahan sistem zona dan jaringan

Perubahan Indikator pengujian No

Jaringan Zona RMSE R 2 NMAE

A+K+L

Kelurahan

Sebagai Pembanding (Z 4 J 4 )

Gabungan kelurahan

Kecamatan 49 68,2895 0,2805 70,6668 Wilayah 18 102,9655 0,0167 115,7805

A+K+L*

145 1,6296 0,9874 11,3285 Gabungan kelurahan

Kecamatan 49 68,9097 0,2748 71,3542 Wilayah 18 104,6629 0,0122 117,0648

A+K

145 2,7529 0,9642 19,1883 Gabungan kelurahan

Kecamatan 49 69,0859 0,2635 72,5668 Wilayah 18 108,7215 0,0059 119,2671

A+K*

145 6,1573 0,8208 46,5160 Gabungan kelurahan

Kecamatan 49 69,9809 0,2445 73,9892 Wilayah 18 109,7215 0,0041 119,9865

Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999) Tabel 8.13 menunjukkan nilai uji statistik dengan melakukan perbandingan

16) dari data arus lalulintas dengan menggunakan pendekatan model GO. Hasil uji dari skenario III (perubahan sistem zona dan jaringan) terlihat pada gambar 8.21.

antara MAT terhalus (J 4 Z 4 ) terhadap MAT hasil penaksiran (MAT 2 −

Hipotesa awal tentang perubahan sistem zona dan jaringan pada skenario III adalah semakin sedikit jumlah zona yang diikuti dengan pengurangan jumlah jaringan akan menghasilkan MAT hasil penaksiran yang semakin tidak akurat. Tingkat kesalahan yang besar pada skenario III terjadi karena pergerakan intrazona cukup besar pada MAT pembanding. Hal ini terlihat pada tabel 8.13

dari indikator uji statistik RMSE, R 2 , dan NMAE yang memperlihatkan tingkat kesalahan yang semakin besar seiring dengan pengurangan jumlah zona dan

jaringan jalan pada daerah kajian. Hal ini juga dapat dibuktikan dari hasil yang diperlihatkan gambar 8.21. Terlihat bahwa pengurangan jumlah zona dan pengurangan aksesibilitas pergerakan akibat perubahan sistem jaringan akan mencapai titik optimum pada saat zona berjumlah 95 buah untuk setiap sistem jaringan yang digunakan.

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

18 Zona

18 Zona

49 Zona

49 Zona 95 Zona

E 60 E

95 Zona 60 A 145 Zona

R 40 M N 40

145 Zona

Panjang x Kapasitas x Jumlah zona (x10 6 )

Panjang x Kapasitas x Jumlah zona (x10 6 )

A+K+L A+K+L A+K A+K* A+K+L A+K+L* A+K A+K*

18 Zona

18 Zona

100 100 49 Zona

80 80 95 Zona

S E 60 E 60 49 Zona A

R M 40 95 Zona

N 40

145 Zona

145 Zona

(Panjang x Kapasitas) (Panjang x Kapasitas)

x Jumlah zona (x10 3 Luas daerah

Luas daerah

x Jumlah zona (x10 )

A+K+L A+K+L* A+K A+K* A+K+L A+K+L* A+K A+K*

Gambar 8.21 Uji statistik perbandingan antara MAT resolusi terhalus (J 4 Z 4 ) terhadap MAT (1 −

16) akibat perubahan sistem zona dan jaringan. Sumber: Patunrangi, Tamin, Sjafruddin (1999)

Gambar 8.21 memperlihatkan bahwa perubahan sistem zona dan jaringan yang dilakukan pada skenario III memberikan MAT hasil penaksiran dengan tingkat kesalahan yang bervariasi seperti ditunjukkan oleh pertemuan titik-titik antara indikator uji statistik terhadap kuantifikasi dari perubahan sistem zona dan jaringan. Titik pertemuan antara RMSE terhadap kuantifikasi perubahan sistem zona dan jaringan mencapai titik optimum pada saat perubahan dari sistem 95 zona ke 49 zona.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan hasil yang cukup besar dibandingkan dengan titik lainnya. Sekali lagi dapat disimpulkan bahwa penggunaan sistem 95 zona merupakan pemodelan sistem zona optimum bagi daerah kajian yang dapat digunakan patokan bagi pelaksanaan pemodelan selanjutnya. Keuntungan utama dari temuan ini adalah adanya efisiensi dari sisi biaya dan waktu pengumpulan data serta efisiensi biaya dan waktu analisis dan pengolahan data. Hal penting lainnya yang dapat disimpulkan dari gambar 8.21 adalah dampak perubahan sistem zona mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dari perubahan sistem jaringan terhadap akurasi MAT hasil penaksiran.

458 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Kajian yang dilakukan bertujuan untuk melihat dampak perubahan resolusi sistem zona dan jaringan terhadap akurasi MAT hasil penaksiran

8.18.3.4 Kesimpulan

seperti dinyatakan dalam skenario (I −

III) dengan menggunakan 74 buah data arus lalulintas di Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Metoda penaksiran model transportasi menggunakan model gravity-opportunity (GO) sebagai usaha memodel perilaku pergerakan yang terjadi pada daerah kajian, sedangkan untuk mengkalibrasi parameter model digunakan metoda Kuadrat-Terkecil-Tidak-Linear

(KTTL). Dari hasil uji skenario I −

III dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a Hasil uji statistik pada skenario I menunjukkan bahwa dampak perubahan sistem jaringan pada daerah kajian cukup signifikan terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran. Hal ini diperlihatkan pada gambar 8.19 di mana terdapat perubahan nilai uji statistik RMSE seiring dengan perubahan sistem jaringan.

b Hasil uji statistik RMSE terhadap skenario II seperti terlihat pada tabel 8.11 dan gambar 8.20 memperlihatkan adanya dampak perubahan sistem zona yang sangat signifikan terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran. Hal ini terlihat dari meningkatnya nilai uji statistik RMSE seiring dengan berkurangnya jumlah zona yang digunakan pada daerah kajian.

c Tingkat kesalahan yang besar pada saat melakukan perubahan sistem zona seperti pada tabel 8.11 dan gambar 8.20 menunjukkan bahwa perubahan sistem zona memberikan dampak yang jauh lebih besar terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran dibandingkan dengan perubahan sistem jaringan. Tingkat kesalahan ini disebabkan karena cukup besarnya pergerakan intrazona yang terbentuk pada saat perubahan jumlah zona.

d Hasil uji skenario III seperti terlihat pada gambar 8.21 menunjukkan bahwa dampak perubahan sistem zona dan jaringan terhadap tingkat akurasi MAT hasil penaksiran sangat signifikan. Hal ini diperlihatkan dari hasil uji yang dilakukan di mana semakin berkurang jumlah zona dan jaringan pada daerah kajian maka semain besar tingkat kesalahan yang terjadi. Tingkat kesalahan yang besar pada skenario III ini disebabkan karena besarnya pergerakan intrazona yang terjadi pada MAT pembanding.

e Hasil analisis dari ketiga skenario menghasilkan MAT optimum untuk setiap skenario adalah:

Skenario I (perubahan sistem zona), MAT optimum terjadi pada sistem 95 zona atau zona gabungan kelurahan.

Skenario II (perubahan sistem jaringan), MAT optimum terjadi pada sistem jaringan AK (arteri + kolektor).

Skenario III (perubahan sistem zona dan jaringan), MAT optimum terjadi pada sistem 95 zona atau zona gabungan kelurahan dengan sistem jaringan AK (arteri + kolektor).

Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Hasil pengujian perubahan sistem zona dan jaringan optimum dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemodelan di daerah kajian karena kebutuhan informasi mengenai sistem zona maupun jaringan jauh semakin berkurang sehingga waktu pengolahan datapun menjadi lebih singkat.

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, beberapa saran perlu dilakukan sebagai langkah pengembangan lanjut dalam upaya lebih meningkatkan kualitas kajian. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:

Semakin banyak jumlah data yang digunakan maka semakin akurat MAT yang

akan dihasilkan untuk setiap skenario perubahan sistem zona dan jaringan. Ruas jalan yang akan disurvai data arus lalulintasnya adalah ruas jalan yang banyak digunakan oleh setiap pasangan zona asal-tujuan.

Untuk kajian lanjut, pembagian sistem zona dapat dilakukan berdasarkan tata

guna tanah seperti permukiman, industri, perdagangan, dan perkantoran sehingga pola pergerakan yang terjadi pada setiap zona dapat lebih diketahui sehingga sistem penanganan sistem jaringan jalan dapat lebih optimal.