Model sintetis

6.6 Model sintetis

6.6.1 Model kombinasi sebaran pergerakan − pemilihan moda

Pendekatan entropi-maksimum dapat digunakan untuk mendapatkan model kombinasi sebaran pergerakan dan pemilihan moda secara simultan. Untuk itu harus dibentuk pendekatan masalah entropi-maksimum dalam bentuk dua buah moda seperti berikut:

{} T id = − ∑∑∑ ( T id log e T id − T id )

memaksimumkan k log W

dengan batasan: k ∑∑ T

id − O i = 0 (6.4)

∑∑ k T

id − D d = 0 (6.5)

∑∑∑ k T

id C id − C = 0 (6.6)

Dengan mudah dapat dilihat bahwa permasalahan tersebut mempunyai solusi:

exp( − β C id )

adalah proporsi pergerakan dari zona asal i ke zona tujuan d dengan menggunakan moda 1. Bentuk fungsi seperti persamaan (6.8) dikenal dengan

id

bentuk logit yang akan didiskusikan lebih rinci pada subbab 6.8. Beberapa perilaku model tersebut adalah:

• menghasilkan kurva berbentuk S, mirip dengan kurva diversi empiris pada gambar 6.1;

jika C 1 =C 2 , maka P 1 =P 2 = 0,5;

jika C 2 >> C 1 , maka P 1 menjadi 1,0;

• dapat dikembangkan untuk berbagai moda dengan:

1 exp( − β C id )

P id =

exp ( − β C id )

238 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Sudah jelas, rumus β berperan ganda − sebagai parameter yang mengontrol dispersi pemilihan moda, dan pemilihan zona tujuan dari beberapa zona yang mempunyai jarak yang berbeda-beda dari zona asal.

Oleh karena itu, model yang lebih praktis yang mengkombinasikan sebaran pergerakan dengan pemilihan moda telah digunakan dalam beberapa kajian dengan bentuk:

exp ( − λ m C id )

id adalah biaya pergerakan gabungan dari zona asal i ke zona tujuan d yang diperkirakan oleh individu berjenis n. Secara prinsip, biaya gabungan bisa didapat dengan beberapa cara; contohnya, dari nilai minimal dari kedua biaya tersebut, atau rata-ratanya:

K = ∑ P k C k (i, d, n dihilangkan untuk penyederhanaan)

Akan tetapi, penting diketahui bahwa hampir semua persamaan yang digunakan oleh beberapa kajian sampai dengan akhir tahun 1970-an pada dasarnya tidak sesuai.

Contoh 6.1 Pertimbangkan bentuk rata-rata di atas dan pelajari apa yang terjadi jika moda transportasi baru (C 2 > C 1 ) ditambahkan pada sistem yang telah ada. Pada

tahap awal, kita mempunyai:

dan pada tahap akhir (setelah ada moda 2):

Akan tetapi, dengan menganggap P

1 +P 2 = 1, maka:

Sekarang, karena nilai P

2 dan (C 2 − C 1 ) lebih besar dari nol, dapat disimpulkan bahwa K * > K yang tidak masuk akal karena adanya pilihan baru, meskipun lebih

mahal, tidak akan meningkatkan biaya gabungan; paling-paling hanya akan mempunyai nilai yang sama.

William (1977) menunjukkan bahwa satu-satunya spesifikasi yang benar yaitu yang konsisten dengan teori yang mendasari perilaku pemilihan, adalah:

K id =

log e ∑ exp ( − λ k C id )

dan batasan berikut ini harus dipenuhi:

Model pemilihan moda 239

(6.12) Kita akan kembali ke masalah ini pada subbab 6.8. Ukuran biaya gabungan

[persamaan (6.11)] mempunyai perilaku sebagai berikut: •

K ≤ min k { C k } •

lim K = min { }

Persamaan (6.10) − (6.12) mewakili suatu kondisi praktis dalam pemodelan agregat kombinasi sebaran pergerakan dan pemilihan moda, khususnya di daerah perkotaan. Walaupun banyak model berjenis sama yang telah digunakan secara praktis, model tersebut telah mulai digantikan dengan model tidak-agregat yang lebih baik menanggapi unsur kunci dalam pemilihan moda dan efisien dalam pengumpulan data (hal ini dibahas pada subbab 6.8).

6.6.2 Model pemilihan multimoda

Masalah multimoda merupakan hal penting yang harus sangat diperhatikan di Indonesia di masa mendatang karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Waktu dan proses pertukaran moda di terminal merupakan faktor paling kritis yang perlu mendapat perhatian dan penanganan dalam pengembangan kebijakan transportasi multimoda.

Survei Asal − Tujuan Nasional yang dilakukan pada tahun 1996 menunjukkan persentase pergerakan regional multimoda cukup tinggi baik untuk angkutan penumpang maupun angkutan barang. Hal ini berarti pentingnya pengetahuan pemodelan pergerakan multimoda untuk masa mendatang di Indonesia.

Gambar 6.9 memperlihatkan struktur model pemilihan moda yang lebih dari dua (multimoda). Struktur N-way yang sangat populer dalam pemodelan tidak-agregat, seperti yang akan kita lihat pada subbab 6.8, adalah struktur yang paling sederhana. Tetapi, karena diasumsikan bahwa semua alternatif mempunyai bobot yang sama, maka muncul masalah − beberapa pilihan mirip dengan pilihan lain, seperti ditunjukkan oleh Mayberry (1983) dengan contoh bus biru − bus merah.

Contoh 6.2 Pertimbangkan suatu kota yang 50% pergerakannya memilih mobil (C) dan 50% memilih bus (B). Dengan persamaan (6.7) yang menggunakan struktur N-

way dihasilkan C C = C B . Sekarang asumsikan seorang manajer perusahaan bus mengubah warna bus menjadi 50% warna merah (BM) dan 50% warna biru (BB) dan mempertahankan tingkat pelayanan yang sama dengan sebelumnya. Ini berarti

C BM = C BB , sedangkan biaya moda mobil tidak berubah, tetap sama dengan C C . Sangat menarik karena sekarang persamaan (6.7) menghasilkan:

240 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Seseorang memperkirakan P C tetap bernilai 0,5 sedangkan bus mempunyai proporsi yang sama dengan sisa yang ada (masing-masing 0,25). Contoh ini memperlihatkan kelemahan struktur N-way dalam mencerminkan pilihan yang berkorelasi satu sama lain. Kita akan kembali lagi pada masalah ini pada subbab 6.8.

Gambar 6.9 Struktur multimoda: (a) Struktur N-way, (b) Struktur pertambahan-moda, (c) Struktur berhierarki

Struktur moda tambahan, seperti terlihat pada gambar 6.9b, banyak digunakan orang pada akhir tahun 1960-an dan pada awal 1970-an. Akan tetapi, ternyata hasilnya berbeda-beda tergantung pada moda yang diambil sebagai moda tambahan (Langdon, 1976). Juga, uji dengan simulasi Monte Carlo memperlihatkan bahwa struktur moda tambahan yang mempunyai kinerja terbaik pada saat sekarang belum

Model pemilihan moda 241 Model pemilihan moda 241

Kemungkinan ketiga, seperti terlihat pada gambar 6.9c, adalah model struktur berhierarki. Dalam hal ini, pilihan yang mempunyai unsur umum yang kira-kira sama digabung dalam proses pemilihan utama (misalnya angkutan umum). Setelah terpisah, mereka dipecah kembali pada proses pemilihan sekunder.

Contoh 6.3 Model struktur berhierarki pada contoh 6.2 mempunyai hasil sebagai berikut:

1 + exp { − λ 1 ( C B − C C ) }

P RB =

1 + exp { − λ 2 ( C BB − C RB ) }

P BB = 1 − P RB

dengan

log [exp ( − λ 2 C RB ) + exp ( − λ 2 C BB )

P C adalah peluang memilih mobil, (1 − P C )P RB adalah peluang memilih bus merah, dan (1 − P C )P BB adalah peluang memilih bus biru; λ adalah parameter pemilihan

primer dan sekunder. Dengan mudah dapat dilihat, jika C B = C C , model ini secara tepat memberi peluang sebesar 0,5 untuk mobil dan 0,25 untuk masing-masing bus merah dan bus biru.

6.6.3 Model logit-biner

Pada dasarnya perilaku agregat individu dalam memilih jasa transportasi sepenuhnya merupakan hasil keputusan setiap individu. Pelaku perjalanan dihadapkan pada berbagai alternatif baik berupa alternatif tujuan perjalanan, moda angkutan, maupun rute perjalanan. Sehubungan dengan proses pemilihan perjalanan ini, dalam diri individu pelaku perjalanan terdapat hierarki pemilihan, seperti terlihat pada gambar 6.10.

Aspirasi gaya hidup

Pola aktivitas yang diinginkan

Pemilihan lokasi

Gambar 6.10

Penentuan pergerakan

Hierarki keputusan perjalanan individu Sumber: Manheim (1979)

242 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Hierarki pemilihan tertinggi adalah aspirasi gaya hidup yang tercermin pada pola kegiatan yang diinginkan. Selanjutnya untuk melakukan aktivitas tertentu, setiap individu harus berada pada tempat tertentu dan pada suatu waktu tertentu. Selanjutnya, hal ini akan mengarahkan individu untuk berada pada lokasi tertentu. Pada tingkat terendah, keputusan diambil berkenaan dengan dimana, kapan, dan bagaimana perjalanan akan dilakukan.

Menurut Manheim (1979), tahapan proses yang dilakukan seseorang dalam menentukan perjalanannya adalah:

• formulasi preferensi konsumen secara eksplisit; •

identifikasi semua alternatif yang mungkin terjadi; •

karakteristik semua alternatif berdasarkan atribut; •

penggunaan informasi preferensi untuk memilih alternatif. Sedangkan untuk suatu pilihan dapat dipandang sebagai hasil dari proses

pengambilan keputusan yang melibatkan tahap berikut ini: •

pendefinisian masalah pilihan •

penentuan alternatif •

evaluasi atribut alternatif •

pengambilan keputusan •

implementasi keputusan yang diambil Model logit-biner dibangun atas dasar asumsi ε n = ε jn − ε in akan bersifat bebas dan tersebar secara identik (IID) menurut fungsi sebaran logistik Gumbel seperti

pada persamaan (6.13).

F () ε n =

− µε n ; µ 〉 0 ; − ∞〈 ε n 〈∞

Pada kasus dua alternatif moda, peluang terpilihnya moda i dapat didekati dengan persamaan (6.14) berikut.

exp { − β () V in }

P n () i =

exp { − β () V in } + exp { − β () V jn } ]

Dengan mengasumsikan V in dan V jn linear dalam parameternya, maka persamaan (6.14) dapat ditulis kembali dalam bentuk persamaan (6.15) berikut.

P n () i =

Z = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X 2 + ... + β K X K

Untuk memecahkan persamaan (6.15), berikut ini akan diterangkan penggunaan metode penaksiran

6.6.3.1 Metode penaksiran kemiripan-maksimum (KM)

Model pemilihan moda 243 Model pemilihan moda 243

muncul. Apabila sampel diambil secara acak, bebas, dan memiliki sebaran pengamatan X 1 ,

X 2 , …, X N yang identik, maka fungsi kemiripan dapat dituliskan sebagai fungsi parameternya, seperti terlihat pada persamaan (6.16).

L () θ = f ()()( X 1 θ . f X 2 θ ... f X N θ )

(6.16) Persamaan (6.16) kemudian dipecahkan untuk mencari parameter yang

memaksimumkan fungsi kemiripan. Fungsi kemiripan adalah fungsi perkalian, maka semakin besar jumlahnya semakin besar pula nilai logaritmanya. Dengan menggunakan fungsi logaritma natural, maka fungsi perkalian dapat diubah menjadi fungsi penjumlahan.

L 1 = log e L () θ = ∑ log e f () X 1 θ

Dengan asumsi sampel berjumlah N diambil secara acak dari populasi, maka fungsi kemiripan sampel adalah perkalian dari seluruh hasil pengamatan.

Y L jn ( β

1 , β 2 ,..., β K ) = ∏ P n () i . P n () j

= peubah indikator bila responden ke-n memilih alternatif moda i K = jumlah parameter N = jumlah responden Dengan menggunakan transformasi logaritma natural, maka fungsi kemiripan (6.18)

dapat diubah menjadi:

log e L ( β 1 , β 2 ,..., β K ) = ∑ [ Y in . log e P n () i + Y jn . log e P n () j ]

Untuk kasus linear, maka Y in =1 − Y jn d an P n (j) = 1 − P n (i) sehingga:

L 1 = log e L ( β 1 , β 2 ,..., β K ) = ∑ [ Y in . log e P n ()( i + 1 − Y in ) . log e ( 1 − P n () i ) ] (6.20)

Untuk dapat memecahkan persamaan (6.20), maka diperlukan turunan pertama persamaan (6.21) sama dengan nol.

∂β k

Untuk kasus model logit-biner, maka:

244 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

P n () i =

P n () j =

Untuk memudahkan manipulasi matematisnya, maka perlu didefinisikan hal berikut ini, yaitu X n =X in − X jn . Jadi, untuk setiap elemen k didefinisikan hal sebagai berikut,

X nk = X ink − X jnk untuk k = 1, 2, …, K. Dengan demikian, persamaan (6.21) dapat

ditulis kembali dan disederhanakan dengan urutan penyederhanaan sebagai persamaan (6.22) − (6.24), untuk k = 1, 2, …, K.

= ∑ [ Y in . P n () j . X nk + Y jn . P n () i . X nk ] = 0 (6.22)

= ∑ [ Y in . ( 1 − P n () i )( − 1 − Y in )() . P n i ] . X nk = 0 (6.23)

Y in − P n () i ] . X nk = 0 (6.24)

Persamaan (6.24) adalah sistem K persamaan simultan dengan K buah parameter β k yang tidak diketahui yang dapat diselesaikan dengan metode Newton − Raphson. Pembaca yang ingin mempelajari secara lebih rinci mengenai metode Newton − Raphson disarankan membaca subbab 8.15.3.

Model logit-biner digunakan untuk memodel pemilihan moda yang terdiri dari dua alternatif moda saja. Terdapat dua jenis model yang sering digunakan, yaitu model selisih dan model nisbah yang dapat diselesaikan dengan menggunakan metode penasiran regresi-linear. Parameter kuantitatif yang sering digunakan sebagai penentu utama dalam pemilihan moda adalah biaya perjalanan atau waktu tempuh. Pemilihan antara model logit-biner- selisih dan model logit-biner-nisbah dalam pemilihan moda sangat ditentukan oleh persepsi seseorang membandingkan biaya perjalanan atau waktu tempuh dalam memilih moda yang akan digunakannya.

6.6.3.2 Metode penaksiran regresi-linear

Berikut ini akan diberikan contoh kejadian yang dapat menjelaskan perbedaan kedua model logit-biner tersebut. Terdapat dua kejadian pergerakan yang dilayani oleh dua jenis moda; satu berjarak jauh dan satu berjarak dekat. Waktu tempuh kedua pergerakan tersebut dapat dilihat pada tabel 6.1.

Tabel 6.1 Waktu tempuh kejadian dua pergerakan Waktu tempuh pergerakan jarak

Waktu tempuh pergerakan jarak

dekat (menit)

jauh (menit)

Moda A

Moda B

Selisih (A − B)

Nisbah (A − B)

Model pemilihan moda 245

Terlihat pada tabel 6.1 bahwa pada kedua kejadian pergerakan tersebut ternyata moda A bergerak 20 menit lebih lama daripada moda B (baik pergerakan jarak dekat maupun jarak jauh). Akan tetapi, pada pergerakan jarak dekat, moda A bergerak 1,5 kali lebih lama daripada moda B, sedangkan pada pergerakan jarak jauh, moda bergerak A hanya 1,03 kali lebih lama daripada moda B.

Dari kejadian ini terlihat bahwa model logit-biner-selisih tidak dapat menunjukkan perbedaan adanya perbedaan karakteristik dari kedua kejadian pergerakan ini (pada kedua kejadian pergerakan, moda A bergerak 20 menit lebih lama daripada moda B). Padahal, pada kenyataannya, pada pergerakan berjarak dekat persentase orang memilih moda B pasti akan lebih besar daripada moda A, sedangkan pada pergerakan berjarak jauh, persentase orang memilih moda A akan kira-kira sama dengan moda B. Inilah kelemahan model logit-biner-selisih dan sekaligus merupakan kelebihan model logit-biner-nisbah.

Jadi, dalam pemodelan pemilihan data dapat disimpulkan bahwa jika data waktu tempuh antar pasangan zona sangat bervariasi, maka lebih baik digunakan model logit-biner-nisbah, sedangkan jika waktu tempuh tidak begitu bervariasi, dapat digunakan model logit-biner-selisih.

id dan C id merupakan bagi-an yang diketahui dari biaya gabungan setiap moda dan pasangan asal − tujuan. Jika kita juga mempunyai informasi mengenai proporsi pemilihan setiap moda

1 6.6.3.3 Model logit-biner-selisih 2 Asumsikan bahwa C

untuk setiap pasangan (i * ,d), P

idk , kita dapat menghitung nilai α dan β dengan menggunakan analisis regresi-linear sebagai berikut. Setelah indikator (i ,d)

dihilangkan, untuk alasan penyederhanaan, proporsi P 1 setiap pasangan (i ,d) untuk moda 1 adalah:

1 + exp ( α + β ( C 2 − C 1 ) )

P 1 = (6.25)

Dengan mengasumsikan ∆ C = C 2 − C 1 dan melakukan beberapa penyederhanaan (persamaan 6.26 − 6.28), persamaan (6.25) dapat ditulis kembali menjadi persamaan (6.29).

P 1 ( 1 + exp ( α + β ∆ C ) ) = 1 (6.26) P 1 + P 1 exp ( α + β ∆ C ) = 1 (6.27)

P 1 exp ( α + β ∆ C ) = 1 − P 1 (6.28)

= exp ( α + β ∆ C )

Persamaan (6.29) selanjutnya dapat ditulis kembali dalam bentuk logaritma natural seperti pada persamaan (6.30).

− 1 P 1  log e = α + β ∆ C  (6.30)

P 1 

246 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Kita mempunyai data P 1 ,C 1 , dan C 2 sehingga parameter yang tidak diketahui adalah nilai α dan β . Nilai ini dapat dikalibrasi dengan analisis regresi-linear dengan sisi kiri persamaan (6.30) berperan sebagai peubah tidak bebas dan ∆ C = C 2 − C 1

sebagai peubah bebas sehingga β adalah kemiringan garis regresi dan α adalah intersepnya.

− i 1 P

Dengan asumsi i Y

i = log e i

dan X i = ∆ C , persamaan tidak-linear (6.30)

 P 1 

dapat ditulis kembali dalam bentuk persamaan linear (6.31).

(6.31) Dengan menggunakan analisis regresi-linear, bisa didapatkan nilai A dan B

sehingga nilai α dan β bisa didapat sebagai berikut: α = A dan β = B . Untuk lebih jelas, pembaca dapat mengacu pada persamaan (4.3) − (4.5).

Dengan model ini, proporsi P 1 untuk moda 1 dinyatakan dengan persamaan (6.32) berikut (lihat gambar 6.11).

6.6.3.4 Model logit-biner-nisbah

1 + a 

C 2 

Gambar 6.11 Model logit-biner-nisbah untuk beberapa nilai α dan β

Terlihat bahwa nilai α =1 selalu menjamin nilai P 1 =0,5 jika nilai C 1 /C 2 =1. Pada kenyataannya, hal ini tidak selalu harus terjadi karena ada faktor lain yang juga ikut mempengaruhi pemilihan moda.

Model pemilihan moda 247

Dengan melakukan beberapa penyederhanaan (persamaan 6.33 − 6.35), persamaan (6.32) dapat ditulis kembali menjadi persamaan (6.36).

Persamaan (6.36) selanjutnya dapat ditulis kembali dalam bentuk logaritma seperti pada persamaan (6.37).

Kita mempunyai data P 1 ,C 1 , dan C 2 sehingga parameter yang tidak diketahui adalah nilai α dan β . Nilai ini dapat dikalibrasi dengan analisis regresi-linear dengan sisi

kiri persamaan (6.37) berperan sebagai peubah tidak bebas dan log(C 1 /C 2 ) sebagai peubah bebas sehingga β adalah kemiringan garis regresi dan log α adalah

intersepnya.

− i 1 P

Dengan asumsi Y i = log

dan X i = log i , persamaan tidak-linear

 P 1 

 C 2 

(6.37) dapat ditulis kembali dalam bentuk persamaan linear (6.31). Dengan menggunakan analisis regresi-linear, bisa didapatkan nilai A dan B sehingga nilai α

dan A β bisa didapat sebagai berikut: α = 10 dan β = B . Untuk lebih jelas, pembaca dapat mengacu pada persamaan (4.3) − (4.5). Pada subbab 6.10 akan diperlihatkan contoh penggunaan model logit-biner-selisih

dan model logit-biner-nisbah dalam memodel pemilihan moda antara kereta api dengan mobil.

6.6.4 Kalibrasi model pemilihan moda berhierarki

Hal ini biasanya dilakukan dengan pendekatan heuristik, dimulai dari pemilihan submoda (sekunder) dan diteruskan dengan pemilihan primer. Dengan pendekatan umum ini terdapat beberapa kemungkinan prosedur kalibrasi. Terlihat bahwa (lihat Domencich and McFadden, 1975) metode penaksiran kemiripan-maksimum menguntungkan untuk perkiraan kuadrat-terkecil, baik untuk masalah praktis dan teori, terutama untuk data yang sangat besar.

248 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi

Hartley and Ortuzar (1980) membandingkan beberapa prosedur dan menemukan bahwa metode penaksiran kemiripan-maksimum tidak saja menghasilkan kalibrasi terbaik, tetapi juga paling efisien dari sisi waktu komputer.

Pertimbangkan masalah pemilihan moda antara bus, mobil, dan kereta api. Asumsikan bahwa bus dan kereta api diperkirakan mempunyai korelasi karena keduanya moda angkutan umum. Proses kalibrasinya adalah sebagai berikut. Pertama, lakukan proses sekunder pemodelan pemilihan moda (antara bus dan kereta api); nilai yang didapat selanjutnya digunakan untuk menghitung biaya gabungan angkutan umum yang dibutuhkan untuk proses primer (seperti pada contoh 6.3).

Untuk pasangan zona yang memungkinkan adanya pemilihan moda, pergerakan dipisahkan menjadi kelompok yang didasarkan pada perbedaan biaya. Pergerakan tanpa proses pemilihan moda diabaikan dalam kalibrasi. Di antara kelompok tersebut pasti terdapat kelompok yang tidak mempunyai pergerakan, dan kelompok tersebut digabungkan menjadi kelompok yang lebih besar sampai setiap kelompok mempunyai pergerakan. Akhirnya, pembobotan biaya dapat dihitung untuk setiap kelompok.

Jika N adalah jumlah kelompok yang ada, n k adalah jumlah pergerakan hasil pengamatan untuk setiap selang perbedaan biaya k, r k adalah jumlah pergerakan

moda pertama hasil pengamatan dalam selang tersebut, dan P k = 1/[1 + exp( − Y k )]

adalah peluang memilih moda pertama dalam selang k, serta a dan b adalah parameter yang harus ditaksir, maka logaritma dari fungsi kemiripan dapat ditulis sebagai:

L = konstanta + ∑ [ ( n k − r k ) log ( 1 − P k ) + r k log P k ]

Prosedur maksimasi menggunakan turunan pertama dan kedua dari persamaan (6.38) terhadap parameter yang ada berupa:

Dengan mengetahui nilai turunan tersebut, algoritma analisis numerik akan menemukan titik maksimum dengan mudah. Proses pencarian titik maksimum membutuhkan nilai awal yang baik bagi setiap parameter dengan indikasi seberapa

Model pemilihan moda 249 Model pemilihan moda 249