Pengaruh tingkat resolusi sistem jaringan pada pembebanan lalulintas
7.7.3 Pengaruh tingkat resolusi sistem jaringan pada pembebanan lalulintas
7.7.3.1 Pendahuluan Sistem transportasi yang terdiri dari sistem zona dan sistem jaringan sangat kompleks. Secara umum, analisis sistem transportasi tersebut selalu membutuhkan proses penyederhanaan karena terbatasnya waktu dan biaya. Sistem transportasi yang telah disederhanakan tersebut disebut model jaringan. Beberapa model jaringan dapat dibuat dari suatu sistem transportasi tertentu tergantung dari tingkat kerincian atau tingkat resolusinya.
Dapat diasumsikan bahwa tingkat resolusi suatu model jaringan akan sangat mempengaruhi besarnya biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam proses analisis. Tambahan lagi, diperkirakan bahwa tingkat resolusi akan mempunyai efek pada setiap keluaran yang dihasilkan. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat resolusi suatu model jaringan, maka akan semakin besar biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam proses analisisnya, akan tetapi, semakin tinggi tingkat akurasi keluaran yang dihasilkannya.
Setiap peningkatan tingkat resolusi suatu model jaringan akan menghasilkan peningkatan akurasi dari keluaran yang dihasilkan dengan konsekuensi adanya tambahan biaya dan waktu. Oleh karena itu, perlu diketahui tingkat resolusi yang optimal dengan membandingkan tingkat keluaran yang diinginkan dengan besarnya biaya dan waktu yang dimiliki. Secara praktis, tingkat resolusi optimal tersebut sulit ditentukan karena penelitian yang berkaitan dengan masalah ini sangat jarang dilakukan khususnya di negara Indonesia.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Jansen and Bovy (1982) di kota Eindhoven (Belanda) menemukan bahwa tingkat kerincian suatu sistem jaringan mempunyai pengaruh yang cukup nyata terhadap kualitas keluaran pembebanan arus lalulintas. Disimpulkan juga bahwa pada keadaan tertentu, terdapat suatu sistem jaringan optimal relatif terhadap upaya penambahan (data dan waktu). Melewati tingkat tersebut, sistem jaringan yang lebih rinci hanya akan menghasilkan perbaikan yang marjinal.
330 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi
Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999) mencoba mengkaji pengaruh tingkat resolusi sistem jaringan terhadap kinerja hasil pembebanan di Kotamadya/Kabupaten Bandung dengan menganalisis berbagai variasi sistem jaringan, mulai dari yang paling halus (resolusi tinggi) sampai dengan sistem jaringan dengan resolusi rendah. Proses perbandingan dilakukan pada besaran nilai volume arus lalulintas dan waktu tempuh yang dihasilkan.
Selanjutnya, dari hasil perbandingan tersebut, tingkat resolusi sistem jaringan optimal dapat ditentukan. Proses penyederhanaan model jaringan dilakukan dengan cara menurunkan tingkat resolusi sistem jaringan. Ruang lingkup kajian meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a Penyusunan berbagai variasi sistem jaringan di wilayah Kotamadya/Kabupaten Bandung dengan kriteria untuk setiap tingkat resolusi adalah berdasarkan hierarki jalan.
b Pembebanan Matriks Asal − Tujuan (MAT) menggunakan model Keseimbangan-Wardrop dengan bantuan program komputer SATURN. Pembebanan dilakukan dengan beberapa variasi besarnya MAT, yaitu 25%, 50%, 75%, dan 100% MAT.
c Mengukur kinerja setiap tingkat resolusi yang disajikan dalam bentuk besar arus rata-rata dan kecepatan rata-rata pada setiap ruas yang ditinjau (ruas arteri pimer yang ada pada setiap tingkat resolusi).
d Mengukur tingkat akurasi setiap tingkat resolusi dan menentukan tingkat
resolusi optimal.
Data yang digunakan dalam kajian ini diambil dari studi ‘Sistem Transportasi Terpadu di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung’
7.7.3.2 Kebutuhan data
(LP − ITB, 1998b) dan studi ‘Penyusunan Rencana Pengembangan Transportasi Kabupaten Bandung’ (LPM − ITB, 1998b). Batas wilayah studi meliputi Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Bandung dengan 41 kecamatannya mempunyai interaksi kegiatan sosial ekonomi yang relatif tinggi dengan Kotamadya Bandung.
Jika dilihat dari sudut pandang geografis, Kabupaten Bandung terletak mengelilingi wilayah Kotamadya Bandung sehingga akan didapatkan suatu analisis sistem transportasi yang terpadu. Kabupaten Bandung terdiri atas 41 kecamatan dengan sistem zona yang berbasiskan pada kecamatan. Sedangkan, Kotamadya Bandung berbasiskan kelurahan dengan jumlah zona sebesar 139.
Untuk memperhitungkan pergerakan yang berasal dari luar wilayah kajian, maka dibuat zona eksternal yang terdiri dari kabupaten di sekitar Bandung Raya, yaitu: Kabupaten Sumedang, Garut, Cianjur, Subang, dan Purwakarta, yang semuanya membentuk 6 buah zona. Sehingga jumlah keseluruhan zona adalah 146 di mana 100 zona berada di wilayah Kotamadya Bandung, 40 zona di Kabupaten Bandung, dan 6 buah zona eksternal.
MAT yang digunakan diperoleh dari hasil survei lalulintas pada tahun 1998 yang dilakukan di wilayah Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung. Perubahan
Model pemilihan rute 331 Model pemilihan rute 331
7.7.3.3 Tingkat resolusi Secara teoritis, semakin mirip suatu model dengan realitanya, semakin baik pula tingkat akurasinya. Jadi ketepatan yang semakin tinggi hanya bisa diperoleh dengan model yang menggunakan definisi sistem zona yang mempunyai resolusi tinggi, demikian pula dengan resolusi sistem jaringannya. Namun keterbatasan sumber daya yang tersedia, menyebabkan model tersebut harus diagregasi sampai pada tingkat tertentu. Permasalahan ini mempunyai banyak dimensi yang meliputi tujuan studi yang akan dicapai, jenis peubah perilaku yang akan digunakan, dimensi waktu, dan lain-lain.
Memasukkan seluruh informasi jaringan yang ada ke dalam model tidaklah disarankan, tetapi resolusi jaringan tersebut haruslah cukup untuk mencerminkan kelayakan dari rute yang dilalui oleh sebagian besar pergerakan. Dalam hal ini tingkat hierarki jalan akan sangat menentukan yang juga tergantung pada jenis serta tujuan studi. Semakin banyak jalan yang ditetapkan, semakin baik pula pencerminan model tersebut terhadap realitanya. Tapi ini juga mempunyai konsekuensi berupa tambahan biaya pengumpulan data dan waktu. Kedua biaya inilah yang menyebabkan model tersebut harus dibatasi tingkat resolusinya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Perubahan tingkat resolusi sistem jaringan didasarkan pada hierarki jalan secara bertahap yaitu: arteri primer, kolektor primer, arteri sekunder, kolektor sekunder, dan lokal. Lima tingkat resolusi sistem jaringan beserta karakteristik kuantitatifnya dijabarkan dengan urutan seperti terlihat pada tabel 7.10 − 7.11.
Terlihat pada tabel 7.10 −
7.11 bahwa jalan lokal yang mempunyai panjang sekitar 184,3 km (52,4%) menyumbang hampir sekitar 52% (nilai panjang x kapasitas) dalam kontribusinya mengalirkan arus lalulintas dalam sistem jaringan jalan di Kotamadya/Kabupaten Bandung. Sedangkan jalan arteri primer yang mempunyai panjang sekitar 104,4 km (29,7%) menyumbang hanya sekitar 17% (nilai panjang x kapasitas) dalam sistem jaringan jalan di Kotamadya/Kabupaten Bandung.
Tabel 7.10 Tingkat resolusi sistem jaringan Tingkat
Kolektor resolusi
sekunder Lokal
3 √ √ √ xx 4 √ √ xxx 5 √ Xxx x
Keterangan: √ = ada x = dihilangkan Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
332 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi
Tabel 7.11 Karakteristik setiap tingkat resolusi sistem jaringan Tingkat
PanjangxKapasitas resolusi
ruas satu panjang ruas arah
(km)
(smp.km/jam) (%)
Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Kinerja setiap tingkat resolusi jaringan akan dianalisa melalui pembebanan MAT pada beberapa tingkat sistem jaringan yang telah dibentuk. Model pembebanan yang digunakan adalah model Keseimbangan- Wardrop dengan bantuan program komputer SATURN. Pembebanan dilakukan dengan beberapa variasi MAT, yaitu: 25%, 50%, 75%, dan 100% MAT.
7.7.3.4 Prosedur analisis
Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh besarnya pengaruh variasi pembebanan terhadap hasil pembebanan pada setiap tingkat resolusi. Ruas yang ditinjau adalah ruas arteri primer yang ada pada setiap tingkat resolusi. Volume arus lalulintas hasil pembebanan pada setiap tingkat resolusi kemudian dibandingkan dengan hasil pembebanan pada tingkat resolusi 1 untuk melihat tingkat penyimpangannya. Tingkat penyimpangan volume relatif terhadap tingkat resolusi 1 (sistem jaringan paling halus) adalah besarnya perbedaan volume arus lalulintas yang dinyatakan dalam persen (%).
Dalam hal ini, tingkat penyimpangan 0% diartikan bahwa hasilnya persis sama dengan tingkat yang dibandingkan; sedangkan penyimpangan 100% berarti besarnya penyimpangan mencapai dua kali lipat. Tingkat penyimpangan 200% memberikan hasil perbandingan 3 kali lipat, dan seterusnya. Tingkat akurasi diartikan sebagai kebalikan dari tingkat penyimpangan.
Penyimpangan 0% berarti akurasi sebesar 100% yang merupakan akurasi terbaik, penyimpangan 30% berarti akurasi sebesar 70%, dan penyimpangan 100% berarti akurasi 0%. Tingkat penyimpangan di atas 100% akan memberikan akurasi yang negatif, yang berarti bahwa hasil tersebut sangat tidak akurat, dengan perbandingan yang terlalu besar. Volume arus lalulintas dipakai sebagai parameter untuk melihat tingkat akurasi karena parameter lainnya yaitu kecepatan merupakan fungsi dari arus lalulintas.
Hasil pembebanan pada setiap tingkat resolusi dibandingkan dengan tingkat resolusi
1 karena estimasi arus pada tingkat resolusi tersebut dianggap paling akurat. Hal ini disebabkan karena MAT yang dibebankan dibentuk berdasarkan informasi arus lalulintas pada jaringan tingkat 1. Kemudian untuk memperlihatkan pengaruh model pembebanan terhadap hasil pembebanan, dilakukan pembebanan metode all-or- nothing pada pembebanan 100% MAT, dan dibandingkan tingkat akurasinya dengan tingkat akurasi pada pembebanan Keseimbangan-Wardrop.
Model pemilihan rute 333
Sedangkan untuk mengetahui pengaruh dari ruas-ruas satu arah, dilakukan pembebanan Keseimbangan-Wardrop pada setiap tingkat resolusi jaringan yang semua ruas satu arahnya dibuat menjadi dua arah, serta diperiksa tingkat akurasinya. Setelah dibobotkan terhadap jarak ruas, hasil pemeriksaan disajikan dalam bentuk:
• Arus lalulintas rata-rata pada setiap tingkat resolusi jaringan. • Kecepatan rata-rata pada setiap tingkat resolusi. • Tingkat akurasi terhadap volume arus lalulintas pada setiap tingkat resolusi
relatif terhadap; dimana dari hubungan tersebut dapat ditentukan suatu tingkat resolusi optimum.
7.7.3.5 Analisis jaringan Pola sistem jaringan jalan yang ada di Kotamadya Bandung adalah gabungan antara sistem grid dan radial. Di pusat kota khususnya di lokasi yang baru dibangun, terlihat sistem grid lebih dominan. Dengan hadirnya jalan lingkar Bandung, Soekarno − Hatta dan jalan tol Padaleunyi terlihat bahwa sistem radial mulai terbentuk. Pola jaringan jalan radial dan jalan lingkar membentuk sistem jaringan jalan primer yang melayani lalulintas antar kota.
Untuk keperluan pengujian, dilakukan perubahan resolusi pada sistem jaringan jalan tersebut berdasarkan tingkat hierarkinya, yaitu: arteri primer, kolektor primer, arteri sekunder, kolektor sekunder, dan lokal. Jadi terbentuk lima buah tingkat resolusi sistem jaringan jalan seperti telah diterangkan pada tabel 7.10 −
7.11. Gambar
7.17 −
7.18 memperlihatkan sistem jaringan jalan dengan tingkat resolusi 1 dan 5.
Gambar 7.17 Sistem jaringan transportasi (tingkat resolusi 1) Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
334 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi
Gambar 7.18 Sistem jaringan transportasi (tingkat resolusi 5) Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Pembebanan MAT dengan menggunakan model Keseimbangan-Wardrop dilakukan pada setiap tingkat resolusi jaringan dengan beberapa variasi pembebanan MAT (25%, 50%, 75%, dan 100%). Untuk setiap pembebanan dihitung besarnya arus lalulintas rata-rata dan kecepatan rata-rata. Sumbu ‘tingkat resolusi’ didasarkan pada nilai karakteristik ‘panjang x kapasitas’ untuk setiap tingkat resolusi (lihat tabel 7.11) yang menunjukkan adanya proses penyederhanaan. Semakin ke kanan, tingkat resolusi semakin rendah.
7.7.3.6 Hasil analisis
a. Perbandingan arus lalulintas rata-rata Besar arus lalulintas rata-rata untuk setiap tingkat resolusi didapatkan dengan mengalikan besarnya arus lalulintas di setiap ruas tinjauan yang diperoleh dari hasil pembebanan dengan panjang ruasnya seperti terlihat pada persamaan (7.48) berikut.
∑ ( Vol a xL a )
Vol a
rata-rata =
Vol a = volume arus lalulintas pada ruas a (smp/jam) L a = panjang ruas a (km) Besarnya arus lalulintas rata-rata untuk setiap resolusi dan variasi pembebanan
termasuk sensitifitasnya dapat dilihat pada tabel 7.12 dan gambar 7.19.
Model pemilihan rute 335
Tabel 7.12 Arus lalulintas rata-rata (smp/jam)
Tingkat
Tingkat resolusi
Sensitifitas
pembebanan (%)
12345 (10 -3 /km)
2076 2423 2800 3935 5883 7,02 Catatan: Sensitifitas adalah gradien garis yang dibentuk oleh tingkat resolusi 3 dan 5
Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
75% Res. 5 7.000 )
100% ja m
m 6.000 p/ (s a
Res. 4
5.000 at -r Res. 2 25% Res. 1 4.000 ta ra
Res. 3
s 3.000 ru A 2.000 1.000
panjang x kapasitas (smp.km/jam) Gambar 7.19 Perbandingan arus lalulintas rata-rata pada setiap variasi pembebanan
dan tingkat resolusi Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Dari tabel 7.12 dan gambar 7.19 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai arus rata-rata seiring dengan semakin sederhananya sistem jaringan. Kenaikan arus rata-rata untuk setiap tingkat pembebanan mempunyai pola yang sama dan cenderung menajam setelah melewati tingkat resolusi 3. Hal ini menunjukkan bahwa besar arus rata-rata tidak begitu terpengaruh oleh adanya penyederhanaan sistem jaringan sampai dengan tingkat resolusi 3, sedangkan penyederhanaan lebih lanjut akan menyebabkan perubahan nilai arus rata-rata yang cukup signifikan.
Terlihat pula bahwa semakin besar MAT yang dibebankan maka arus rata-rata yang terjadi untuk setiap resolusi juga semakin besar. Besarnya tingkat sensitifitas (gradien perubahan arus rata-rata antara tingkat resolusi 3 dan 5) untuk setiap variasi pembebanan dapat dilihat pada tabel 7.12. Terlihat bahwa semakin besar pembebanannya, sensitifitas perubahan nilai arus rata-rata juga
336 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi 336 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi
Tabel 7.13 Peningkatan arus lalulintas rata-rata Tingkat
Kenaikan arus (smp/jam)
Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999) Terlihat bahwa pada setiap variasi pembebanan, peningkatan arus rata-rata
terbesar selalu terjadi pada penyederhanaan dari resolusi 3 ke 4. Dari hasil analisis perbandingan nilai arus rata-rata yang dapat dilihat dari gambar 7.19 dan tabel 7.12 −
7.13, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa tingkat resolusi optimal berada pada tingkat resolusi 3.
b. Perbandingan kecepatan rata-rata Besar kecepatan rata-rata untuk setiap tingkat resolusi didapatkan dengan mengalikan besarnya kecepatan pada setiap ruas tinjauan yang diperoleh dari hasil pembebanan dengan panjang ruasnya seperti terlihat pada persamaan (7.49) berikut.
∑ ( v a xL a )
rata-rata v =
= kecepatan pada ruas a (smp/jam) L a = panjang ruas a (km) Besarnya kecepatan rata-rata untuk setiap resolusi dan setiap variasi
pembebanan termasuk sensitifitasnya dapat dilihat pada tabel 7.14 dan gambar
Tabel 7.14 Kecepatan rata-rata (km/jam)
Sensitifitas Tingkat pembebanan (*) (%)
Tingkat resolusi
(10 -5 /smp)
5,38 Catatan: Sensitifitas adalah gradien garis yang dibentuk antara resolusi 3 dan 5
Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Model pemilihan rute 337
Res. 1
Res. 4 50 ) m /ja
Res. 5 m (k 40 a at
-R 25%
30 at a R
20 an at
50 % 50% ep
ec 100%
75% 10 K
panjang x kapasitas (smp.km/jam)
Gambar 7.20 Perbandingan kecepatan rata-rata pada setiap variasi pembebanan dan tingkat resolusi Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Dari gambar 7.20 dan tabel 7.14 terlihat bahwa terjadi penurunan nilai kecepatan rata-rata seiring dengan semakin sederhananya sistem jaringan. Penurunan kecepatan rata-rata untuk setiap tingkat pembebanan mempunyai pola yang sama dan cenderung menajam setelah melewati tingkat resolusi 3. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kecepatan rata-rata tidak begitu terpengaruh oleh adanya penyederhanaan sistem jaringan sampai dengan tingkat resolusi 3, sedangkan penyederhanaan lebih lanjut akan menyebabkan perubahan nilai kecepatan rata-rata yang cukup signifikan.
Terlihat pula bahwa semakin besar MAT yang dibebankan maka nilai kecepatan rata-rata yang terjadi untuk setiap resolusi juga semakin rendah. Besarnya tingkat sensitifitas (gradien perubahan kecepatan rata-rata antara tingkat resolusi 3 dan 5) untuk setiap variasi pembebanan dapat dilihat pada tabel 7.14.
Terlihat bahwa semakin besar pembebanannya, sensitifitas perubahan nilai kecepatan rata-rata juga semakin tinggi, tetapi melewati batas tertentu (yaitu 75% MAT), sensifitas kembali menurun, karena nilai kecepatannya mendekati nol. Dari hasil analisis perbandingan nilai kecepatan rata-rata yang dapat dilihat dari gambar 7.20 dan tabel 7.14, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa tingkat resolusi optimal berada pada tingkat resolusi 3.
c. Tingkat penyimpangan nilai arus rata-rata relatif terhadap tingkat
resolusi 1 Besarnya tingkat penyimpangan nilai arus rata-rata relatif terhadap tingkat resolusi 1 dapat dirumuskan dalam persamaan (7.50) berikut:
338 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi 338 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi
∆ = tingkat penyimpangan (%)
X i = nilai arus rata-rata pada resolusi i (smp/jam)
X 1 = nilai arus rata-rata pada resolusi 1 (smp/jam) Besar tingkat penyimpangan nilai arus rata-rata relatif terhadap tingkat resolusi
1 disajikan dalam tabel 7.15 dan gambar 7.21.
Tabel 7.15 Tingkat penyimpangan nilai arus rata (%) Tingkat
Sensitifitas (*) pembebanan (%)
Tingkat resolusi
12345 (%/smp.km/jam)
0 30 37 104 206 206.02 Catatan: Sensitifitas adalah gradien garis yang dibentuk antara resolusi 3 dan 5 Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
n e 100%
500.000 panjang x kapasitas (sm p.km /jam )
Gambar 7.21 Tingkat penyimpangan nilai arus rata-rata relatif terhadap tingkat 1 Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Dari gambar 7.21 dapat dilihat bahwa penyederhanaan sampai tingkat resolusi
3 masih memberikan tingkat penyimpangan yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Setelah melewati tingkat resolusi 3 terjadi peningkatan penyimpangan yang tajam; bahkan pada tingkat resolusi 5 memberikan penyimpangan yang melebihi 100%. Jadi bisa dikatakan bahwa optimasi sistem jaringan berada di sekitar tingkat resolusi 3 dengan penyimpangan sebesar 37%.
Model pemilihan rute 339
Sehingga, sesuai dengan hasil tersebut, tingkat resolusi jaringan yang masih memberikan akurasi optimal adalah pada tingkat resolusi 3 dengan tingkat akurasi sebesar 63%. Terlihat pula bahwa semakin rendahnya besar pembebanan menaikkan sensitifitas (sensitifitas pembebanan 25% MAT lebih besar daripada sensitifitas pembebanan 100% MAT). Hal ini terjadi karena adanya kondisi keseimbangan dan pengaruh batasan kapasitas pada jaringan.
Dengan melihat kinerja nilai arus rata-rata dan nilai kecepatan rata-rata beserta tingkat penyimpangannya (lihat gambar 7.19 − 7.21), dapat disimpulkan bahwa tingkat resolusi optimum untuk wilayah kotamadya/Kabupaten Bandung berada pada tingkat resolusi 3 yang meliputi jalan arteri primer, jalan kolektor primer, dan jalan arteri sekunder. Tabel 7.16 dan gambar 7.22 memperlihatkan tingkat penyimpangan nilai rata-rata relatif (terhadap tingkat resolusi 1) jika 100% MAT dibebankan dengan model all-or-nothing dan model Keseimbangan-Wardrop.
Tabel 7.16 Tingkat penyimpangan nilai arus rata-rata relatif (%) dengan model pembebanan Keseimbangan-Wardrop dan All-or-Nothing
Tingkat resolusi
Sensitifitas (%/smp.km/jam)
Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
Res. 4 a 200 n g
Res. 2 50 Res. 1 25
panjang x kapasitas (smp.km/jam)
Gambar 7.22 Tingkat penyimpangan nilai arus rata-rata relatif (%) dengan model pembebanan Keseimbangan-Wardrop dan All-or-Nothing Sumber: Tamin, Lubis, Dalimunthe dan Irawan (1999)
340 Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan pemodelan transportasi
Tabel 7.16 dan gambar 7.22 memperlihatkan bahwa hasil pembebanan dengan model all-or-nothing memberikan sensitifitas yang lebih tinggi dan penyimpangan yang lebih besar dibandingkan dengan model Keseimbangan- Wardrop; dengan kata lain, memberikan tingkat akurasi yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena kondisi jaringan jalan yang padat.
Secara hipotesa, semakin rendah tingkat kepadatan jalan maka perbedaan hasil pembebanan antara model keseimbangan-Wardrop dengan model all-or- nothing semakin tidak terlihat. Sehingga, untuk wilayah Kotamadya/Kabupaten Bandung pada kondisi jaringan jalan padat (jam sibuk) dapat disimpulkan bahwa model pembebanan Keseimbangan-Wardrop memberikan hasil pembebanan yang lebih baik dibandingkan model all-or-nothing.
Setelah melihat hasil pengujian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
7.7.3.7 Kesimpulan
a Penyederhanaan sistem jaringan mengakibatkan berkurangnya tingkat akurasi hasil pembebanan pada setiap ruas jalan. Hal ini disebabkan karena pergerakan pada ruas yang diagregasi beralih ke ruas yang masih ada, sehingga pada umumnya arus lalulintas dan waktu tempuh pergerakan pada setiap ruas jalan akan mengalami peningkatan.
b Semakin sederhana suatu sistem jaringan model, semakin rendah pula tingkat akurasinya. Namun, terdapat suatu tingkat resolusi optimum dari sistem jaringan tersebut. Untuk wilayah Kotamadya/Kabupaten Bandung, tingkat resolusi optimum berada pada tingkat resolusi 3 yang meliputi jalan arteri primer, kolektor primer, dan arteri sekunder. Melewati tingkat resolusi optimum, penyederhanaan lebih lanjut akan menghasilkan penurunan tingkat akurasi yang tajam.
c Dalam menyederhanakan sistem jaringan harus diperhatikan adanya ruas-ruas jalan satu-arah. Pergerakan pada daerah di sekitar ruas tersebut akan menghasilkan kesalahan estimasi yang cukup serius. Kesalahan ini bisa berarti pembebanan yang terlalu berlebihan, atau malah sebaliknya. Oleh karena itu, arah pergerakan pada setiap ruas perlu diperhatikan sebaik-baiknya, terutama jalan-jalan sekunder (atau lokal) di sekitar ruas satu-arah tersebut agar arus kendaraan mempunyai rute pergerakan yang normal sesuai kondisi kenyataannya.
d Pada setiap tingkat resolusi, dalam jaringan jalan yang padat, metode pembebanan Keseimbangan-Wardrop memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode all-or-nothing. Secara hipotesa, semakin rendah tingkat kepadatan jalan, perbedaan hasil pembebanan antara model Keseimbangan-Wardrop dengan model all-or-nothing semakin tidak terlihat.
e Kedudukan penghubung pusat zona juga harus diperhatikan lebih seksama. Asumsi peletakan penghubung pusat zona pada suatu simpul sebagai jalur keluar dari pusat zona akan mempengaruhi besarnya estimasi arus pada setiap ruas jalan.
Model pemilihan rute 341 Model pemilihan rute 341
g Untuk penelitian lebih lanjut tentang masalah ini, beberapa aspek lain yang mempengaruhi perlu dimasukkan dalam ruang lingkup kajian, misalnya: pengaruh tingkat resolusi sistem zona dan asumsi penempatan penghubung pusat zona. Diperkirakan semakin tinggi tingkat resolusi sistem zona (semakin banyak zona) maka semakin tinggi tingkat akurasi hasil pembebanannya.