RUPTL 2010 - 2019 11
BAB II KEBIJAKAN UMUM PENGEMBANGAN SARANA
Pengembangan sarana kelistrikan dalam RUPTL 2010 - 2019 ini dibuat dengan memperhatikan kebijakan perusahaan dalam merencanakan pertumbuhan
penjualan, pengembangan pembangkit, transmisi dan distribusi. Bab II ini menjelaskan kebijakan dimaksud.
2.1 KEBIJAKAN PERTUMBUHAN PENJUALAN DAN BEBAN
Pada tahun-tahun dimana kemampuan PLN dalam menyediakan listrik masih terbatas, pertumbuhan penjualan yang dapat dilayani dibatasi oleh sarana
penyediaan tenaga listrik yang ada. Pada tahun-tahun berikutnya dimana penambahan kapasitas pembangkit dan
transmisi diharapkan telah selesai
1
dan reserve margin telah mencukupi, maka penjualan akan dipacu untuk mengoptimalkan pemanfaatan pembangkit yang
ada, sekaligus untuk memperoleh revenue yang diperlukan untuk debt repayment dan pembayaran kepada listrik swasta.
Untuk mengantisipasi terjadinya kelebihan pasokan pada sistem kelistrikan tertentu yang reserve marginnya direncanakan sangat besar, PLN akan
memonitor implementasi proyek pembangkit dari tahun ke tahun, dan apabila progres fisik proyek berjalan baik, maka PLN akan mengimbanginya dengan
pemasaran listrik yang agresif untuk menyeimbangkan penjualan dengan pasokan, dan menunda proyek-proyek pembangkitan berikutnya.
RUPTL ini juga disusun untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dengan menyambung konsumen residensial baru dalam jumlah yang cukup tinggi
setiap tahun. Kebijakan lain yang dianut dalam RUPTL 2010-2019 ini adalah belum
diperhitungkannya dampak program demand side management DSM dan program energy efficiency dalam membuat prakiraan demand hingga lima
1
Proyek-proyek percepatan pembangkit tahap 1 dan 2, proyek pembangkit PLN dan IPP lainnya
12 RUPTL 2010 - 2019
tahun ke depan. Untuk lima tahun berikutnya kedua program tersebut diperkirakan mulai memberi dampak pada kebutuhan tenaga listrik, dalam
bentuk penurunan nilai elastisitas
2
. Kebijakan ini diambil untuk memperoleh perencanaan pembangkitan yang lebih aman, disamping karena implementasi
kedua program tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi efektif.
2.2 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
KAPASITAS PEMBANGKIT
Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik diarahkan untuk memenuhi pertumbuhan beban yang direncanakan, dan pada beberapa wilayah tertentu
diutamakan untuk menyelesaikan krisis penyediaan tenaga listrik. Pengembangan kapasitas pembangkit juga dimaksudkan untuk meningkatkan
reserve margin yang diinginkan, dengan mengutamakan pemanfaatan sumber energi setempat, termasuk energi terbarukan.
Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik dilakukan secara optimal dengan prinsip biaya penyediaan listrik terendah least cost, dengan tetap
memenuhi tingkat keandalan yang diinginkan. Biaya penyediaan terendah dicapai dengan meminimalkan net present value semua biaya penyediaan
listrik, yaitu biaya kapitalinvestasi, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan, dan biaya energy not served
3
. Tingkat keandalan sistem pembangkitan diukur dengan kriteria Loss of Load Probability LOLP dan daya
cadangan reserve margin
4
. Pembangkit sewa dan excess power tidak diperhitungkan dalam membuat rencana pengembangan kapasitas jangka
panjang, namun dalam jangka pendek diperhitungkan untuk mengatasi kondisi krisis.
Namun demikian, sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk lebih banyak mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan, pada wilayah-wilayah
yang mempunyai potensi energi terbarukan, utamanya panas bumi dan hidro, kriteria least cost tidak sepenuhnya diterapkan. Pada wilayah tersebut
beberapa proyek panas bumi dan hidro direncanakan untuk dibangun dalam RUPTL ini, walaupun biaya pengembangannya lebih tinggi daripada
2
Elastisitas akan dijelaskan lebih lanjut pada butir 4.2.2.
3
Biaya energy not served adalah nilai penalti yang dikenakan pada objective function untuk setiap kWh yang tidak dapat dinikmati konsumen akibat padam listrik
RUPTL 2010 - 2019 13
pembangkit termal konvensional. Namun demikian perencanaan pembangkit panas bumi tetap memperhatikan besar cadangan yang tidak berlebihan dan
status kesiapan pengembangannya. Pada beberapa daerah yang merupakan sumber utama energi primer nasional
namun telah lama menderita kekurangan pasokan tenaga listrik, yaitu Sumatra dan Kalimantan, PLN mempunyai kebijakan untuk membolehkan rencana
reserve margin yang sangat besar, yaitu hingga 80. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan proyek-proyek pembangkit seringkali
mengalami keterlambatan, pembangkit existing telah mengalami derating yang cukup besar dan adanya keyakinan bahwa tersedianya tenaga listrik yang
banyak akan memicu tumbuhnya demand listrik yang jauh lebih cepat. Pemilihan lokasi kandidat pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumber energi primer setempat dan prinsip regional balance untuk meminimumkan investasi transmisi.
Pembangkit berbahan bakar minyak hanya direncanakan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit beban puncak, namun apabila mungkin tetap
mengutamakan pembangkit non BBM seperti pumped storage, PLTA dengan reservoir atau PLTG gas.
Implementasi proyek-proyek pembangkitan yang direncanakan dalam RUPTL disesuaikan dengan kemampuan pendanaan PLN. Mengingat kebutuhan
investasi sektor ketenagalistrikan yang sangat besar, maka PLN tidak dapat secara sendiri membangun seluruh kebutuhan sarana tersebut. Dengan
demikian Pemerintah diharapkan dapat berperan dalam pendanaan sebagian dari proyek-proyek pembangkit baru, dan sebagian lagi akan dilakukan oleh
listrik swasta sebagai independent power producer IPP. Berikut ini kebijakan PLN dalam mengalokasikan ownership proyek kelistrikan :
− PLTU batubara: Direncanakan sebagai proyek PLN apabila PLN telah mendapat indikasi pendanaan dari lender, atau ditugaskan oleh
pemerintah sebagai proyek PLN. Untuk proyek-proyek yang jadwalnya masih cukup lama dan belum ditetapkan ownership-nya untuk sementara
dianggap sebagai proyek PLN.
4
LOLP dan reserve margin akan dijelaskan pada Bab IV
14 RUPTL 2010 - 2019
− PLTA dan
pumped storage diupayakan menjadi proyek PLN. − PLTP: Sesuai dengan regulasi di sektor panas bumi, proses pengadaan
dilakukan melalui tender oleh Pemda sebagai total project
5
, kecuali untuk panas bumi yang WKPnya dimiliki oleh Pertamina dimana dapat
dilakukan negosiasi langsung antara Pertamina dan PLN baik dalam bentuk ESC energy service contract untuk supply uap maupun PPA
power purchase agreement untuk supply listrik. Beberapa lokasi di Indonesia Timur yang WKP-nya telah menjadi milik PLN PLTP skala
kecil akan dikembangkan sebagai proyek PLN. − PLTG direncanakan sebagai proyek PLN.
− PLTGU gas direncanakan sebagai proyek PLN apabila telah ada indikasi pendanaan atau proyek PLTGU merupakan pengembangan dari PLTG
open cycle milik PLN. Perencanaan proyek PLTGU gas sebagai pembangkit pemikul beban medium
dilakukan berdasarkan simulasi optimasi pengembangan pembangkit tanpa melihat ketersediaan pasokan gas. Munculnya PLTGU gas dalam RUPTL
mengindikasikan adanya kebutuhan pembangkit medium di sistem kelistrikan. Namun demikian pelaksanaan proyek PLTGU gas hanya dilakukan apabila
terdapat kepastian pasokan gas. Dalam hal pasokan gas tidak diperoleh, maka pembangkit pemikul beban
menengah PLTGU menjadi tidak dapat dikembangkan. Konsekuensinya sebagian pembangkit beban dasar, yaitu PLTU batubara, akan juga
dioperasikan sebagai pemikul beban menengah dengan capacity factor yang relatif rendah namun perlu dibantu oleh pembangkit jenis lain yang mempunyai
ramping rate tinggi. Pengembangan PLTU batubara skala kecil merupakan program untuk
menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar minyak pada sistem isolated skala kecil yang selama ini dilayani dengan PLTD BBM. PLTU
tersebut dapat dikembangkan baik oleh PLN maupun swasta.
5
Sisi hulu dan hilir dikerjakan oleh pengembang dan PLN hanya membeli listrik dengan PPA.