sebesar Rp 35.78 miliar 2011-2014 dan Rp 103.40 miliar 2015-2020. Namun, secara keseluruhan dengan adanya redistribusi pendapatan kebijakan ini masih
memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat net surplus sebesar Rp 1.305 triliun dan Rp 435.70 miliar.
Simulasi 19 S19 yang merupakan kombinasi dari empat kebijakan yang meliputi tarif, harga gula petani, luas areal, dan perubahan faktor eksternal berupa
penurunan impor gula China memberikan dampak peningkatan surplus produsen yang cukup besar yaitu sebesar Rp 1.937 triliun pada 2011-2014 dan Rp 1.712
triliun pada 2015-2020. Peningkatan tersebut diberikan oleh peningkatan surplus produsen pada perkebunan rakyat yang meningkat sebesar Rp 1.989 triliun 2011-
2014 dan Rp 1.777 triliun 2015-2020. Peningkatan surplus produsen perkebunan rakyat ini dikarenakan adanya kebijakan peningkatan harga gula
tingkat petani 30 persen sehingga menyebabkan peningkatan produksi gula kristal putih petani perkebunan rakyat sebesar 11.296 persen 2011-2014 dan 12.417
persen 2015-2020. Pada kebijakan ini juga terjadi trade off antara perkebunan besar besar negara dan swasta dengan perkebunan rakyat. Surplus perkebunan
besar negara menurun sebesar Rp 15.73 miliar 2011-2014 dan Rp 17.67 miliar 2015-2020 sedangkan perkebunan besar swasta menurun sebesar Rp 36.21
miliar pada 2011-2014 dan Rp 47.61 miliar pada 2015-2020. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 0.726
persen 2011-2014 dan 0.718 persen 2015-2020 yang menyebabkan produksi perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan.
Pada kebijakan ini, konsumen juga memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 230.37 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 257.77 miliar pada periode
2015-2020. Tambahan surplus terjadi karena adanya tambahan surplus yang diterima oleh konsumen rumah tangga dan industri. Penurunan harga gula eceran
sebesar 0.744 persen 2011-2014 dan 0.736 persen 2015-2020 akibat peningkatan penawaran gula meningkatkan permintaan gula rumah tangga
sehingga konsumen rumah tangga memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 117.35 miliar 2011-2014 dan Rp 133.06 miliar 2015-2020. Penurunan harga
pedagang besar menyebabkan peningkatan permintaan industri sebesar 0.021
persen 2011-2014 dan 0.029 persen 2015-2020 sehingga surplus konsumen industri mengalami peningkatan sebesar Rp 113.02 miliar dan Rp 124.71 miliar.
Penerimaan pemerintah dari tarif dan devisa impor juga mengalami penurunan akibat adanya penurunan tarif impor. Penerimaan pemerintah menurun
sebesar Rp 1.240 triliun 2011-2014 dan Rp 1.910 triliun 2015-2020. Devisa impor masih mengalami peningkatan karena peningkatan impor gula Indonesia
yaitu sebesar Rp 369.92 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 539.10 miliar pada periode 2015-2020. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini juga masih
memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat net surplus sebesar Rp 927.27 miliar 2011-2014 dan Rp 60.17 miliar 2015-2020.
Simulasi 20 S20 merupakan simulasi yang juga menggunakan empat simulasi yang meliputi penurunan tarif, harga gula tingkat petani, luas areal dan
stok gula. Simulasi ini memberikan peningkatan surplus produsen yang besar yaitu Rp 2.153 triliun pada 2011-2014 dan Rp 1.895 triliun pada 2015-2020.
Peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 30 persen dan peningkatan luas areal 30 persen yang menyebabkan produksi gula Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 25.348 persen pada periode 2011-2014 dan 28.987 persen pada periode 2015-2020. Pada kebijakan ini juga terjadi trade off pada
perkebunan besar negara dan swasta karena tidak merasakan dampak peningkatan harga gula tingkat petani. Perkebunan besar negara menurun sebesar Rp 39.50
miliar 2011-2014 dan Rp 45.87 miliar 2015-2020 sedangkan perkebunan besar swasta menurun lebih besar yaitu Rp 95.04 miliar pada 2011-2014 dan Rp 128.47
miliar pada 2015-2020. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.520 persen 2011-2014 dan 1.540 persen 2015-
2020 yang menyebabkan produksi perkebunan besar negara dan swasta mengalami penurunan.
Pada simulasi ini, konsumen juga memperoleh tambahan surplus yang paling besar diantara simulasi lainnya, yaitu sebesar Rp 482.16 miliar pada
periode 2011-2014 dan Rp 553.61 miliar pada periode 2015-2020. Tambahan surplus terjadi karena adanya tambahan surplus yang diterima oleh konsumen
rumah tangga dan industri. Penurunan harga gula eceran sebesar 1.554 persen 2011-2014 dan 1.579 persen 2015-2020 akibat peningkatan penawaran gula
meningkatkan permintaan gula rumah tangga sehingga konsumen rumah tangga memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 245.59 miliar 2011-2014 dan Rp
268.10 miliar 2015-2020. Penurunan harga pedagang besar menyebabkan peningkatan permintaan industri sebesar 0.048 persen 2011-2014 dan 0.068
persen 2015-2020 sehingga surplus konsumen industri mengalami peningkatan sebesar Rp 236.57 miliar dan Rp 267.50 miliar.
Penerimaan pemerintah dari tarif dan devisa impor juga mengalami penurunan akibat kebijakan ini. Penurunan ini dikarenakan adanya penurunan tarif
sebesar 50 persen pada kedua periode. Penerimaan pemerintah menurun sebesar Rp 1.309 triliun pada periode 2011-2014 dan Rp 2.003 triliun pada periode 2015-
2020. Devisa impor mengalami penurunan pada periode 2011-2014 Rp 81.13 miliar namun mengalami peningkatan pada periode 2015-2020 Rp 27.40 miliar
pada periode 2015-2020. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang paling besar diantara kebijakan
lainnya, yaitu meningkat sebesar Rp 1.325 triliun apabila kebijakan diterapkan sebelum periode liberalisasi gula ACFTA dan meningkat sebesar Rp 445.96
miliar apabila diterapkan pada periode liberalisasi gula ACFTA. Rendahnya net surplus
pada periode 2015-2020 disebabkan tingginya penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor pada periode ini dibanding periode 2011-2014.
Namun, dilihat dari surplus yang diterima oleh konsumen dan produsen pada simulasi kebijakan ini lebih tinggi dibanding pada simulasi yang lain, sehingga
kebijakan ini dapat menjadi alternatif kebijakan yang tepat untuk diterapkan dalam rangka implementasi perjanjian perdagangan bebas ACFTA 2015.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan
gula di pasar domestik dan dunia menunjukkan bahwa : a.
Pada luas areal perkebunan rakyat variabel harga gula tingkat petani berpengaruh secara tidak nyata terhadap peningkatan luas areal perkebunan.
Peningkatan harga gula tingkat petani sering kali diikuti dengan peningkatan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani selama masa tanam,
sedangkan respon produktivitas gula hablur baik negara, swasta, dan rakyat kurang responsif terhadap peningkatan luas areal perkebunannya.
b. Permintaan gula Indonesia merupakan penjumlahan dari permintaan gula
untuk konsumsi rumah tangga dan permintaan gula untuk kebutuhan industri. Permintaan gula rumah tangga dipengaruhi secara nyata oleh harga
riil gula eceran, pertumbuhan PDB riil Indonesia, populasi, dan permintaan gula rumah tangga tahun t-1, sedangkan permintaan gula oleh industri hanya
dipengaruhi secara nyata oleh PDB riil sektor makanan dan minuman t-2 serta permintaan gula industri tahun t-1.
c. Perilaku harga riil impor gula Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga
riil gula dunia tahun t-1. Harga riil impor gula Indonesia ini juga berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula eceran. Harga riil gula
eceran kemudian berpengaruh secara nyata terhadap harga riil gula tingkat pedagang besar dan harga riil gula tingkat pedagang besar berpengaruh pula
secara nyata terhadap harga riil gula tingkat petani. d.
Pada perilaku impor gula Indonesia dari kedua negara eksportir diketahui bahwa impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor
gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula, tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa
impor gula dari China sehingga kebijakan penurunan tarif impor yang sama akan meningkatkan impor gula yang lebih besar dari Thailand. Indonesia
mempunyai ketergantungan yang lebih besar terhadap impor gula dari Thailand dibanding impor gula dari China.
e. Pada perilaku ekspor gula pada negara eksportir terbesar yaitu Brazil dan
Thailand diketahui bahwa produksi gula berpengaruh secara nyata terhadap ekspor gula di kedua negara tersebut. Respon perubahan ekspor terhadap
perubahan produksi gula pada kedua negara eksportir bersifat elastis. Namun, ekspor gula Brazil terhadap perubahan produksinya lebih responsif
daripada ekspor gula Thailand terhadap perubahan produksinya. f.
Pada perilaku impor gula negara importir gula terbesar di dunia yaitu India, Amerika, dan China terdapat variabel yang berpengaruh secara nyata yaitu
harga riil gula dunia. Impor gula India, Amerika Serikat, dan China masing- masing sangat responsif terhadap perubahan produksi gulanya. Peningkatan
produksi gula sebesar 1 persen pada negara importir akan menurunkan lebih dari 1 persen impor gulanya. Peningkatan pertumbuhan penduduk baik di
China maupun di India berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan impor gulanya.
2. Kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang meliputi skenario peningkatan
harga gula sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat net surplus,
sedangkan skenario penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal 20 persen, dan penurunan kuota impor 50 persen berdampak pada
penurunan kesejahteraan masyarakat net surplus. Alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik dalam mendukung usaha perkebunan rakyat
adalah kebijakan peningkatan harga gula 25 persen karena memberikan peningkatan surplus bagi produsen perkebunan paling besar terutama bagi
perkebunan rakyat. 3.
Peramalan dampak kebijakan penghapusan tarif impor sesuai skema ACFTA akan menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat net surplus yang
sangat tinggi. Kombinasi penurunan tarif impor 50 persen, peningkatan harga gula 30 persen, peningkatan luas areal 30 persen, dan peningkatan stok gula 20
persen yang merepresentasikan penguatan peran BULOG dapat menjadi alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik bagi industri gula
Indonesia karena tidak memberikan dampak negatif bagi pelaku ekonomi gula, memberikan net surplus yang besar dan mampu mendorong peningkatan
produksi gula kristal putih sehingga mengurangi ketergantungan Indonesia akan impor gula.
9.2. Saran
9.2.1. Saran Kebijakan
1. Kebijakan penghapusan tarif impor gula belum tepat untuk diterapkan di
Indonesia pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA karena memberikan dampak negatif bagi produsen gula terutama petani perkebunan rakyat dan
menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat yang besar. Pemerintah sebaiknya memilih opsi menurunkan tarif sampai dengan 50 persen sesuai
dengan ketentuan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. 2.
Peningkatan produksi gula China dan penurunan tarif impor gula 50 persen yang menyebabkan penurunan surplus produsen sebaiknya diantisipasi oleh
pemerintah dengan kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 30 persen dan peningkatan stok gula sebagai representasi dari penguatan kembali peran
BULOG. Kebijakan kombinasi ini mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi produsen dan konsumen serta secara menyeluruh
memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat net surplus yang besar. 3.
Kebijakan swasembada absolut gula tanpa adanya impor juga masih belum dapat dilakukan dalam kondisi industri gula Indonesia saat ini. Impor
sebaiknya tetap dilakukan untuk mengurangi kerugian konsumen akibat berkurangnya kesejahteraan. Kebijakan impor yang diikuti dengan penurunan
tarif impor dalam era liberalisasi ACFTA sebaiknya dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani. Peningkatan harga gula akan
menjadi insentif bagi petani tebu rakyat sebagai produsen terbesar sehingga mampu mendorong peningkatan produksi.
4. Kebijakan ekstensifikasi lahan pertanian akan menyebabkan penurunan
kesejahteraan yang besar bagi produsen karena peningkatan produksi gula menyebabkan harga yang diterima petani menjadi lebih rendah. Kebijakan
ekstensifikasi lahan akan efektif apabila diikuti dengan kebijakan lain yang
memacu peningkatan produksi, yaitu melalui peningkatan harga gula dan adanya lembaga yang mengatur pasokan gula dipasaran ketika harga gula
konsumen meningkat sehingga stabilitas harga tetap terjaga. 5.
Dalam rangka menghadapi pasar bebas ASEAN-China dan target swasembada gula, pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan penurunan
tarif 50 persen sesuai dengan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. Namun, untuk mengurangi peningkatan impor penguatan industri
gula domestik perlu dilakukan dengan menerapkan kebijakan peningkatan harga gula petani 30 persen, mewujudkan peningkatan luas areal 30 persen,
dan peningkatan stok gula 20 persen yang merepresentasikan penguatan kembali peran BULOG. Selain memberikan peningkatan kesejahteraan
masyarakat net surplus yang besar, kebijakan kombinasi ini juga mampu meningkatkan produksi gula Indonesia. Wacana penguatan kembali peran
BULOG sebaiknya segera direalisasikan oleh pemerintah. Dengan demikian, diharapkan Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri
tetapi juga mampu mengekspor gula.
9.2.2. Saran Penelitian Lanjutan
1. Penelitian ini tidak melakukan disagregasi wilayah kajian. Pembedaan
wilayah kajian ini penting untuk dilakukan sebab selama ini sentra produksi berada pada wilayah barat dan non sentra produksi adalah wilayah timur
Indonesia. Hal ini sangat terkait dengan perilaku impor dan ketersediaan stok pada kedua wilayah tersebut yang berbeda, sehingga diharapkan dapat
disusun suatu kebijakan pengembangan industri gula yang spesifik pada tingkat kewilayahan.
2. Pada penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan pula penyusunan model
perdagangan gula yang dibedakan berdasarkan jenisnya gula. Gula kristal putih, gula mentah dan gula kristal rafinasi mempunyai perilaku yang berbeda
sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang lebih spesifik berdasarkan jenis gulanya.
3. Penelitian ini belum menggambarkan dampak kebijakan perdagangan
terhadap kesejahteraan konsumen industri makanan dan minuman yang
menggunakan gula kristal putih dan gula kristal rafinasi, serta industri farmasi dan industri MSG untuk konsumen langsung gula mentah. Sehingga pada
penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian yang juga mengkaji kesejahteraan konsumen pada pelaku industri gula tersebut.
4. Dalam penelitian selanjutnya dapat dimasukan kebijakan yang diterapkan
oleh masing-masing negara eksportir ke Indonesia, sehingga akan lebih komprehensif dalam menggambarkan kondisi perdagangan gula dunia.